Pasa Harau Art & Culture Festival #1



SEROMBONGAN pemain indang yang terdiri dari belasan orang datang jauh dari pedalaman Solok Selatan, Sumatera Barat, untuk memainkan Pertunjukan Musik Indang Tagak di tengah matahari pukul 5 yang tidak begitu panas. Mereka datang diantar sebuah bus yang memuat dua tambur besar dan tentu saja puluhan indang. Beberapa di antara seniman itu datang bersama anak dan bini—yang membawa rantang-nasi untuk menggelarkannya ketika lapar tiba, bagai tengah bertamasya. Lebih dari setengah pemain indang itu sudah melewati usia setengah baya. Ketika ditanya soal ‘bagaimana pewarisan berlangsung terhadap kalangan yang lebih muda’, mereka berkata, “kami membawa ‘pewaris’ ke sini. Sebenarnya ada 6 orang [anak-anak muda yang sudah dilatih], tetapi mereka tidak bisa ikut-serta. Hanya dua orang ini saja yang ikut, [mereka] masih sekolah dasar,” kata seorang punggawa kelompok itu, sembari menghadapkan dua pemain yang memang masih muda belia. 

Pertunjukan Musik Indang Tagak adalah salah satu pertunjukan seni tradisional Minangkabau yang meramaikan festival bertajuk Pasa Harau Art and Culture Festival. Di samping indang, ada setidak-tidaknya enam pertunjukan kesenian tradisional lainnya yang meramaikan festival yang dihelat pada 13-14 September 2016 di bawah tebing-tebing Harau, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Mulai dari Tari, Randai, dan Silek. Untuk pertunjukan randai, dipertunjukkan dua randai tradisi dan satu randai kreasi baru; dua yang pertama datang dari Solok Bio-bio (tetangga Harau) dan Koto Tuo, sementara yang satunya lagi adalah Randai Balega Grup dari Padangpanjang.

Berlangsung selama dua hari berturut-turut, sejak Selasa sore hingga Rabu tengah hari, festival ini juga menampilkan pertunjukan permainan anak nagari berupa lomba layang-layang, pacu anjing, dan pacu sayak (tempurung); serta ‘rekayasa’ budaya berupa prosesi batagak kudo-kudo  rumah dan maarak marapulai. Pada malam harinya, ada pertunjukan musik dari empat kelompok musik: Ranah Rasta, C_Coustic, Lapaloma & Orkes Taman Bunga. Pada dua yang disebutkan terakhir, musik-musik yang mereka mainkan merupakan perpaduan musik modern dan tradisional. Lapaloma, misalnya, memadukan keroncong dan instrumentalia etnik [Minangkabau]; Orkes Taman Bunga mencoba memadukan sebanyak mungkin genre musik termasuk dengan musik Minangkabau pula.

Sekalipun, kata anekdot, periuk bocor ditabuh dan dikasih mikrofon pun akan ramai disaksikan di tengah masyarakat yang haus hiburan, tetapi masyarakat toh memang terlihat antusias menghadapi festival ini. Masyarakat berbaur bersama turis-turis dari luar negeri untuk menyaksikan rangkaian acara, bahkan banyak dari mereka yang masih bertahan ketika telah lewat tengah malam demi menyaksikan randai. Pada besok harinya, anak-anak sekolah taman kanak-kanak hingga sekolah menengah berada di barisan terdepan penonton randai. Kelompok-kelompok seni tradisi mendapat tempat untuk mentas di tengah miskinnya ruang untuk mereka. Pemerintah dan rakyat juga punya ruang untuk bertemu dan berinteraksi karena fesitval itu dihadiri banyak sekali orang berseragam negara. Ada tampak turis-turis dari luar negeri lalu-lalang selama festival berlangsung, terpesona tidak hanya pada keindahan tebing-tebing batu tetapi juga pada pertunjukan-pertunjukan yang menarik hati. Reporter televisi dan pewarta suratkabar, para fotografer dan penikmat budaya, berdatangan ke sini, dan festival ini mendapat peliputan yang sangat memadai. Banyak lagi yang patut diapresiasi dari festival ini, termasuk partisipasi masyarakat Harau sendiri, “kami berharap festival ini menjadi agenda rutin Harau ke depan!” kata Walinagari Harau yang masih muda dan energik.   

Festival seni dan budaya di Lembah Harau memang baru kali ini dihelat. Di masa lalu, orang-orang lokal menjadikan Lembah Harau tempat mandi yang menyenangkan karena bukan saja terdapat tebing-tebing batu menjulang ratusan kaki, tetapi juga karena terdapat beberapa ‘walkun’ yang menampung air terjun. Kini tempat itu menjadi tempat tujuan pelancongan yang diunggulkan pemerintah setempat. Ketika Anda berteriak ke dinding-dinding batu itu, suara Anda akan lama bersipongang. Nyaris setiap orang terpesona, bagaimana Tuhan menciptakan dinding-dinding batu purba itu hingga berbentuk serupa tatahan-tatahan pada roti tawar?


Tidak ada yang meragukan keindahan Lembah Harau memang, tetapi dalam pariwisata modern, menjual keindahan alam saja tidak cukup. Mau tidak mau, pariwisata juga bertumpu pada perayaan demi perayaan, festival demi festival. Selama ini, Harau cantik, tapi hambar. Tanpa festival yang memadai, Harau tidak punya gairah; tebing-tebing batu itu diam-beku dalam keeksotikannya. Untuk itu, pada titik ini, keberadaan sebuah festival menjadi penting, apalagi festival seni dan budaya pula, yang mengeksplorasi nilai-nilai tradisional setempat. Hanya festival yang dapat menyelamatkan stagnasi pertumbuhan pariwisata yang selama ini tergantung pada kemurahan hati alam belaka. Tidak bisa hanya keindahan alam yang dijual, tetapi juga harus didukung berbagai peristiwa seni dan budaya yang tidak putus-putus dihadirkan; festival-festival yang berlangsung silih-berganti akan dapat memantik pertumbuhan pariwisata lebih kencang lagi.
***
Sekalipun festival ini terlihat mendapat sambutan hangat, berbagai kekurangan dengan bertelanjang mata dan telinga dapat kita saksikan dan dengar.

1. Seorang pelancong dari Jawa, misalnya, begitu terkesan selama dua hari mengikuti festival ini. Tetapi dia prihatin pada sampah. Sekalipun panitia telah menyediakan kantong-kantong sampah di banyak sudut, tetap saja sampah berserakan di areal festival. “Mungkin harus diberi edukasi sejak masih kanak-kanak,” katanya sembari memotret dengan ponsel pintarnya anak-anak sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar yang berbaris di pematang menuggu anjing-anjing berpacu di lintasan.

2. Pemimpin kelompok randai tampak kesal dan bermuka masam, sambil menggerutu, menyesali panitia, yang menyuruh mereka datang jam setengah delapan pagi, tetapi, bahkan ketika jarum jam di tangannya telah melewati angka sepuluh, kelompok randainya belum juga tampil. “Kami belum makan dan minum apa-apa agar tidak terlambat tiba!” katanya. Sementara anggota rombongannya yang lain telah terlihat melingkari rantang-nasi. “Kami bawa nasi dari rumah, [kami] belum sempat makan karena terkejar-kerja ke sini,” kata seorang perempuan setengah baya yang ikut dalam rombongan perandai itu. Seniman tradisi memang adalah yang paling sabar di antara kalangan seniman kita. Dan mereka akhirnya tampil juga, dengan mengagumkan, dengan keringat yang mengucur di badan karena sengatan matahari yang semakin tidak bersahabat. Kelompok randai ini terkenal karena mampu menghadirkan tepukan galembong yang lebih atraktif dan dinamik sekalipun tetap tidak mengubah randainya menjadi randai kreasi baru. Mereka mendapat sambutan meriah, beberapa turis luar negeri meminta berfoto dengan pemain randai ini. Dan tampaknya, mendapat sambutan begitu, mereka senang, lalu melupakan tentang molornya waktu yang telah mengesalkan mereka di awal.

3. Selain molornya beberapa item acara, ada beberapa hal lagi yang harus diakomodir di masa depan: ruang parkir yang tidak begitu tertata; kehadiran polisi di banyak sudut (seorang Eropa berkata: apa yang terjadi sehingga polisi begitu banyak? Padahal memang tidak sampai sepuluh jari, tetapi bagi orang luar yang tidak biasa dengan kehadiran aparat di ruang publik, hal itu tampaknya cukup mengganggu); dan pembawa acara yang lebih mirip pemandu sorak ketimpang pemandu acara sebuah festival seni dan budaya. Di luar semua itu, secara umum kehadiran festival ini sementara cukup berarti.

Pandai Sikek, 2016.
[DEDDY ARSYA]

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini