Penerjamahan Karya Sastra Asing pada Zaman Belanda

Penerjamahan Karya Sastra Asing pada Zaman Belanda

Oleh Deddy Arsya

Penerjemahan novel-novel Eropa ke dalam bahasa Melayu telah dimulai kira-kira pada seperempat terakhir abad ke-19. Menurut Doris Jedamski, The Count of Monte Cristo karya Alexandre Dumas telah beredar luas dalam bahasa Melayu pada tahun 1894 sampai 1899. Penerjemahan ini mendapat sukses besar di kalayak pembaca bumiputra.

Beberapa dekade sebelum itu, novel-novel Eropa lainnya seperti Robinson Crusoe dan Sherlock Holmes juga telah diterjemahkan dan diterbitkan terjemahannya oleh penerbit-penerbit swasta. Robinson Crusoe diterjemahkan dalam bahasa Melayu dengan judul Hikajat Robinson Crusoe yang terbit pada tahun 1875 oleh seorang Belanda bernama Adolf von de Wall.

Perkembangan karya-karya terjemahan terus membaik. Masih menurut Doris Jedamski, pada seperempat pertama abad ke-20, pembaca-pembaca Indonesia sudah bisa membaca The Three Musketeers, Scralet Pimpernel, Ivanhoe, Tarzan, Sinbad, dan Gulliver, serta pahlawan-pahlawan Karl May dan Baron Munchhausen dalam bahasa Melayu. Segera saja karya-karya terjemahan ini dapat ditemukan hampir di seluruh kepulauan. Penerjemahan dan penerbitan karya-karya terjemahan pada awal abad ke-20 ini, berbeda dengan masa sebelumnya, dilakukan oleh orang-orang indo China dan orang-orang bumiputra sendiri di luar afiliasi pemerintah kolonial.

Pada awalnya, pemerintah Belanda, lewat Balai Pustaka-nya, menganggap novel-novel terjemahan dari kalangan indo China dan bumiputra rendah mutunya, karya populer “picisan” yang bisa merusakkan mental bumiputra. Namun, setelah maraknya penerjamahan karya asing pada perempat pertama abad ke-20 itu, Balai Pustaka mulai melakukan penerjemahan-penerjemahan novel-novel Eropa ke dalam bahasa Melayu. Karya-karya yang diterjemahkan Balai Pustaka berbeda dengan karya terjemahan penerbit-penerbit di luar kanon yang lebih banyak menerbitkan cerita-cerita detektif, kisah-kisah kepahlawanan, dan roman-roman populer lainnya.

Penerjemahan novel-novel asing ini berimbas kepada perkembangan kesastraan di tanah Hindia sendiri. Pada dekade tahun 1930-1940, muncul dengan semarak roman-roman picisan di berbagai kantong-kantong kesastraan di daerah. Menurut Soedarmoko, di Padang, Medan, Bukittingi, Gorontalo, Solo, muncul terbitan-terbitan berkala yang memuat roman-roman picisan. Roman-roman ini dianggap berada di luar kanon kesastraan Hindia Belanda.

Roman-roman ini pada umumnya memiliki kesamaan tema garapan dan plot atau alur narasi dengan kebanyakan novel-novel terjemahan di atas. Cerita-cerita kepahlawanan dan detektif adalah warna umum dari roman-roman picisan ini yang nampaknya diadopsi oleh karya-karya terjemahan. Dalam sebuah berkala yang terbit pada tahun1940, Moestika Alhambra: Berkala Roman Detectief Popualair, (No 8 tahun II, 25 April 1940), misalnya, menyebutkan bahwa roman yang mereka terbitkan sebagai “roman realistis”, “roman detektief loear biasa”, atau “roman detektief jang mengemparkan”, “makanan otak jang sehat”.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini