Reproduksi Kaba di Atas Panggung Siti Baheram

Tokoh-tokoh dalam kaba itu dilemparkan ke atas panggung masa kini. 

Syamsudin Dt. Rajo Endah menuliskannya pada tahun 1930an. Di masa kita kini, Raudal Tanjung Banua mereproduksinya menjadi sebuah naskah pertunjukan. Dan malam itu, Jumat, 15 Oktober 2012, Efyuhardi mementaskannya di ISI Padangpanjang, dalam rangkaian acara Pekan Apresiasi Teater 5. 

Gedung pertunjukan yang tidak begitu besar itu hampir sesak. Beberapa penonton terlihat berdiri karena tidak mendapat tempat duduk. Sementara di luar hujan kembali turun, setelah sempat reda sebentar, tetapi tentu pengedap suara dalam gedung pertunjukan itu membuat derunya tidak terdengar sampai ke dalam. Penonton duduk dan berdiri setengah melingkar. Di depannya, panggung. Belasan orang pemain duduk di atas panggung itu membentuk formasi setengah melingkar pula. Di belakanganya, tiga tapal-dinding berdiri sejajar. Di belakangnya lagi, cahaya merah bercampur warna kuning keemasan. Rebana kecil, indang, ditabuh para pemain, bersahut-sahutan, menyentak-nyentak seperti sakit kepala yang parah. Nyanyian dilantunkan dari arah yang lain. Indang, mendayu-dayu, kadang terpekik pada akhir lagu. 

Latar pertunjukan, latar kolonial. Masa rodi barangkali, ketika orang-orang dikerahkan untuk bekerja paksa. Masa belasting bisa jadi, ketika apa pun dari hidup manusia dipajak—bahkan kepemilikan atas kelapa dan beruk juga dikenai pajak. Opas dan komandan polisi kadang-kadang memainkan peran sentral, menjaga keamanan negeri sekaligus mengacaukannya. Pemungut belasting maupun angku palo memainkan peran yang lain, peran yang memaksa rakyat dengan kekuasaan untuk tunduk. Lalu ada tokoh lain, perempuan, Siti Baheram. Tokoh utama mungkin, tetapi bisa juga bukan. Narasi dalam pementasan itu mengatakan, “dia korban!” Dia korban dari kuasa patriarki yang memaksa. 

Tetapi saya ingin membicarakan tokoh yang lain: Juki. Dia hadir menghunus pisau panjang berkilat-kilat di atas panggung, pada pinggangnya terselempang kain, dan pada kepalanya ada deta. Dia parewa, jelas. Berjudi, madat, merampok, kadang membunuh. Dia pelaku beberapa ‘rampok-rampeh’ dalam bahasa hukum Minangkabau. Kadang-kadang dia juga dimanfaatkan opas-polisi dalam persaingan politik, kadang-kadang dia lepas tidak bisa dikendalikan tangan kekuasaan mana pun. Dia bukan orang macam Robinhood memang. Dia betul semata kriminalis. 

Tukang kaba, telah pada awalnya, menggariskannya begitu. Tidak ada sisi heroik pada sosok Juki, segalanya semata menjijikkan dalam perspektif kaum moralis. Pada awal-awal pementasan, ada upaya untuk melawan garis yang telah ditetapkan tukang kaba itu. Salah seorang pemain, entah siapa, mendebat tukang kaba, mengajukan protes, melakukan pembelaan atas diri Juki. Juki tidak sepenuhnya bersalah, begitu kata si pemrotes. Tukang kaba telah melenyapkan setengah narasi tentang Juki. Tukang kaba telah mengabaikan bagian ‘kenapa Juki bisa menjadi serupa itu’. Si tukang kritik seolah mengatakan: zaman, oh, zamanlah yang telah melahirkan Juki, zaman di mana datuk-datuk berkomplot me-mark up ‘wang’ pajak, iuran suku dan sebagainya, sementara mamak-mamak asyik menggadaikan apa yang menjadi hak kemenakannya, dan para penghulu sibuk mengejar kekuasaan sebagai angku palo. Korupsi mewabah, kesewanang-wenangan penguasa menjadi-jadi, keguncangan moral dirayakan. Dalam kondisi itu, kelahiran orang-orang seperti Juki adalah konsekuensi logisnya, maka tidak bisa disalahkan. Tidakkah seseorang adalah anak dari zamannya? 

Zaman yang dinarasikan pementasan ini memang suatu zaman yang galau-gebalau dalam sejarah kita. Pelabuhan Teluk Bayur dibuka. Jalur kereta api menjalar bagai ular ke pelosok-pelosok negeri. Jalan-jalan raya diperlebar. Kota-kota bermekaran. Ekonomi uang mengalahkan akal sehat. Elit-elit kekuasaan nagari terdegradasi dalam arus itu. Dan akibatnya, dalam laporan tahunan pemerintah kolonial, kejahatan tumbuh pesat pada periode ini. Pada 1916, enam orang perampok digantung di Padang. Angka-angka dari dinas reserse Belanda terus menunjukkan peningkatan jumlah kejahatan di tahun-tahun kemudian. Inilah masa di mana orang-orang besar bermula dilahirkan: Hatta kecil, Agus Salim remaja, Rasuna Said masih begitu belia. Tetapi juga inilah masa ketika bandit-bandit tumbuh mekar: Si Rancak, Si Patai, dan lain sebagainya. Dan dalam kaba, bandit itu bernama Juki. 

Tetapi kemudian, si pengkritik tukang kaba itu mengalah. Dia tidak ingin ngotot menyalahkan zaman. Dia menerima adigium tukang kaba: biar pendengar/penonton yang menilai. Dialektika dalam panggung pun berhenti. Pada saat itu, dekonstruksi (sebutlah begitu) atas kaba Siti Baheram yang telah coba dimulai di awal pementasan itu pun selesai dengan cepat. Narasi ‘si tukang dikie’ kemudian nyaris tanpa ‘perlawanan’ lagi. Tidak ada gugatan lagi atas alur kaba yang diuraikannya. Pertunjukan mengikut saja pada narasi kaba yang sebenarnya, pada garis narasi mainstream kaba yang kita kenal selama ini: Juki membunuh Siti Baheram secara tidak sengaja dalam sebuah adegan perampokan. Mengetahui itu, dia meraung-raung penuh penyesalan, menjadi banci dari sifat awalnya yang begitu maskulin. Lalu dialog-dialog penuh lambaian berletusan dari mulutnya, seperti berusaha untuk terdengar dramatik. Dia ditangkap opas polisi, menuju tiang gantungan, dan adegan mengharu-biru bersiduru di hadapan penonton. Dan seterusnya, adegan demi adegan menjadi klise. Juki mati. Lampu padam. 

Pementasan toh punya sisi yang jamak untuk dilihat. Saya ingin katakan, dari pementasan tersebut, teks kaba ternyata punya napas panjang. Dia bisa mereproduksi dirinya, berbiak semau kreatornya, menjadi naskah pertunjukan misalnya, lalu menjadi pertunjukan (dalam konsep yang lebih modern) itu sendiri seperti sekarang. Juga narasi yang dikandung oleh kaba itu (dan pertunjukan) toh juga mereproduksi dirinya. Narasi Juki telah berlalu hampir satu abad yang lewat, tetapi persoalannya seperti baru. Juki seperti turut berbiak, bertranformasi menjadi Jon Key, atau yang lain. Mereka, para bromocorah, tidak lahir sendiri, tetapi dilahirkan zaman. Penganut historisism akan sepakat bahwa Juki memang tidak sepatutnya dikutuk secara massif. Masyarakatlah yang melahirkan orang-orang sepertinya—masyarakat yang sakit. Seperti seorang penyair Baalbek Lebanon awal abad ke-20 pernah bilang: “Sebagian mengutuk Nero, tetapi aku mengutuk bangsa ... Setiap bangsa menciptakan Nero-nya sendiri pula.” Tetapi siapa yang berani mengutuk masyarakat, yang dengan kata lain, mengutuk dirinya sendiri? 

Pertunjukan itu terasa panjang. Dua jam, bahkan mungkin lebih. Seperti perjalanan mengendarai motor dari Padang ke Bukittingi. Kadang saya beberapa kali memiringkan ekor ke kiri dan ke kanan untuk menyiasati rasa penat karena duduk lama. Dan ketika pementasan itu selesai, saya melepaskan napas panjang.... 

Padang, Oktober 2012

Comments