Dari Keriuhan Sastra Meneliti Penjara

Padang Ekspres, Minggu, 15/01/2012 

Barangkali, sedikit ditemui sastrawan atau penulis karya sastra yang mau berpikir lain untuk perkembangan intelektualitasnya. Artinya, berpikir mencari makanan sendiri untuk dimamah dan dikunyah-kunyah, tidak lagi makan dari apa yang telah dimuntahkan orang lain.

Sebagai penyair dan cerpenis, Deddy Arsya, justru menemukan makanan itu bukan di kancah sastra. Ia menemukannya pada sejarah penjara yang kini tengah ditelitinya.

Mengamati perkembangan sastra Indonesia saat ini, nyaris tidak ada kebaruan dalam berwacana. Ibaratnya, apa yang dimakan dan dimuntahkan generasi dulu, lalu dimakan dan dikunyah-kunyah pula oleh generasi sekarang, kemudian dimuntahkan untuk dimamah lagi oleh generasi berikutnya. Hampir-hampir tidak ada sastrawan generasi hari ini yang memiliki makanan sendiri untuk dikunyah, ditelan, dan dimuntahkan.

Pada siklus itu, wacana sastra menjadi stagnan dan mencapai titik jenuh. Bisa diperhatikan, sekarang banyak orang yang hilang akal mencari topik-topik diskusi sastra yang hangat, atau mencari ide menulis esai dan kritik-kritik sastra yang bernas. Sehingga kritik sastra tidak berkembang di daerah, karena sejalan dengan tidak berkembangnya wacana kesusastraan. Kalau wacana dan kritik sastra tidak berkembang, secara otomatis apa yang akan dilahirkan dari karya sastra.

Stagnasi wacana kesusastraan ini membuat para kritikus dan akademisi sastra “melarikan diri” ke wacana kebudayaan, atau wacana lain sebagai lahan garapan baru. Sejalan dengan itu, diskusi-diskusi sastra pun menjadi kurang menarik.

Di sisi lain, orang-orang terus membangun utopia, menyebarkan mimpi-mimpi semu, bahwa, dengan bersastra bisa hidup dan berpenghasilan dengan layak. Sementara kenyataannya, banyak penulis karya sastra yang hidup tidak berkecukupan dari pekerjaannya itu.

“Hanya utopia, omong kosong saja. Utopia yang mungkin menarik bagi yang baru masuk dalam dunia sastra. Ketika berada di dunia itu mereka akan menemukan dan merasakan sendiri bagaimana susahnya hidup sebagai pekerja sastra,” tutur penyair dan cerpenis, Deddy Arsya.

Dari itu, kata Deddy, kita tidak bisa menolak sastra menjadi dunia yang meriah, popular, dan selebrasi. Ketika itu terjadi, tendensi intelektualitasnya menjadi terpinggirkan. Pekerja sastra sama dengan  pekerja hiburan atau entertainer. Yang hidup dalam glamornya perayaan-perayaan sastra dengan karya-karya yang dibuatkan ivennya.

“Sastra sekarang terlalu ramai, riuh, dan gemerlap. Saya merasa agak letih mengkaji sastra karena terlalu ramai itu. Apalagi dilihat di media-media sosial. Setiap saat orang bersastra, bersilangan orang menerbitkan buku sastra, mengadakan seminar sastra, dan sebagainya. Namun tidak ada karya monumental yang lahir dari kemeriahan itu.

Walaupun, di satu sisi itu bagus sebenarnya, bukankah itu yang kita cita-citakan selama ini. Hanya saja, karena terlalu ramai, dia tak ubahnya seperti berita-berita di televisi yang tiap jam diganti. Peristiwa hari ini akan ditutupi oleh peristiwa sejam kemudian, lesap dan tidak berbekas,” ungkap penyair yang tinggal di Siteba ini.

Deddy mengamati karya-karya sastra yang lahir itu pun hanya proses “pemamahbiakan” saja. Hanya mengulang-mengulang yang telah dimuntahkan orang kemudian ditelan kembali. Kita dihadapkan pada kegagapan terhadap perkembangan teknologi dan sejarah kesusastraan. Kalau dikaji keterikatan dengan yang terdahulu, nampaknya, tidak ada lagi tonggak-tonggak kesusasteraan di Padang atau Sumbar.

“Meskipun terlalu dini untuk menilai demikian, karena pekerja sastra yang banyak itu masih dalam proses awal untuk mendapatkan makanan sendiri, namun, ini penting menjadi catatan kita semua, agar tonggak-tonggak kesusastraan itu tegak kembali,” ungkapnya.

Menurutnya, di tengah keriuhan perayaan sastra yang membuat stagnan wacana kesusastraan, orang harus membiarkan sastra itu sunyi sejenak. Sastra harus dikembalikan ke frame yang selama ini dikenal sebagai ruang sunyi. Sehingga muncul wacana-wacana baru dalam membahas persoalan-persoalan sastra dari berbagai perspektif yang lebih menarik.

“Biarkan sastra itu sunyi dulu. Tapi itu pun mustahil rasanya dan hanya sebatas utopia juga nantinya. Karena setiap generasi selalu ada yang merayakan keriuhan itu,” ucapnya.

“Lari” ke Penjara 

Deddy, mungkin, salah seorang sastrawan yang tidak mau terjebak dalam labirin persoalan sastra yang stagnan itu. Ia memilih persoalan lain yang lebih menarik sebagai pintu keluar dari labirin tersebut. Melanjutkan belajar pada program Ilmu Sejarah di Pascasarjana Unand, dia memilih penjara sebagai bahan kajian dari ruang lingkup ilmu yang digelutinya itu.

“Dulu, waktu di strata satu saya mengkaji sastra. Ada keinginan melanjutkan dengan kajian sastra dari perspektif yang lain. Namun, saya tidak menemukan pintu masuk yang benar. Kemudian saya memilih sejarah penjara di Padang sebagai tempat lari. Ini sebenarnya sejarah mentalitas yang cukup menarik.

Selama ini sejarah selalu bicara tentang tokoh-tokoh hebat, hero, dan baik. Jarang kita membaca atau mendengar sejarah tokoh-tokoh yang dianggap buruk, seperti sejarah orang gila, pelacur, perampok, dan sebagainya,” ungkapnya.

Begitu juga, lanjut Deddy, persoalan penjara ini. Yang berhubungan dengan persoalan desentralisasi hukum. Dimana dalam desentralisasi, orang-orang acap merujuk ke masa orde baru. Sementara, desentralisasi itu sudah dilakukan oleh Belanda berabad-abad lalu di Indonesia.

“Sebenarnya, apa yang terjadi hari ini hanya kalkulasi dari persoalan-persoalan masa lampau. Bertahun-tahun orang mewacanakan, termasuk ahli-ahli hukum Belanda untuk menjadikan penjara sebagai lembaga pemasyarakatan, tempat memulihkan akhlak, menciptakan orang yang lebih manusiawi. Tetapi kepentingan politik justru menjadi landasan kebijakan-kebijakan penjara tadi. Ketika orang berbicara tentang bagaimana memanusiakan orang-orang tahanan, kepentingan kekuasaan Belanda tidak menginginkan seperti itu,” katanya.

Kuatnya kepentingan politik dalam kebijakan-kebijakan di penjara itu, dicontohkannya, ketika tahun 1860 ada wacana dari ahli hukum Belanda dan anggota volksraad di Negara Belanda dan Hindia Belanda, untuk menghilangkan hukuman rotan karena dianggap tidak manusiawi. Wacana tersebut sampai tahun 1917 baru bisa dilaksanakan.

“Bayangkan, betapa lamanya, untuk menghilangkan hukuman rotan saja sampai 60 tahun. Walaupun kesadaran itu sudah ada sebelumnya, tapi karena rotan efektif untuk menjinakkan bumi putera, maka rotan tetap dipakai sampai bertahun-tahun,” ujarnya.

Wacana-wacana seperti itu terus berkembang sampai hari ini. Tetapi, ujarnya, ketika kepentingan politik tetap menginginkan orang-orang ini harus “dijinakkan” maka hanya menjadi wacana saja.

Unik dan Bermodal Besar 

Sementara itu, penyair dan kritikus sastra, Romi Zarman, mengamati Deddy sebagai sosok yang unik dan berani mengatakan yang berbeda dengan orang lain. Menurutnya, Deddy salah seorang penyair muda yang intens melakukan pencarian-pencarian dalam berkarya.

“Kalau disebut penyair muda yang paling potensial hari ini, ya Deddy Arsya. Ia mampu menghadirkan karya dengan pola yang tidak satu dua seperti kebanyakan. Namun, mencoba menciptakan banyak pola dalam karya-karyanya. Inilah yang membuatnya berbeda dengan kawan-kawan seangkatannya,” ujar Romi.

Cerpenis Zelfeni Wimra, melihat sosok Deddy Arsya sebagai penulis yang bermodal besar. Ilmu sejarah yang digelutinya sekarang menjadi modal penting yang membuatnya tampil dalam karya-karya yang berbeda dengan sastrawan atau penulis lainnya.

“Bahan mentahnya banyak. Ia memiliki intensitas yang tinggi di ilmu sejarah. Itu modal besar yang sangat penting dalam menulis sastra. Jarang kita temukan penulis yang memiliki kemampuan seperti itu. Sebab untuk masuk ke sastra harus punya modal,” kata penulis kumpulan cerpen Pengantin Subuh ini.

Selain itu, Wimo—demikian ia disapa—melihat Deddy dari filosofi keluarga. Sebagai anak tengah, Deddy menjadi sosok yang kritis dan memiliki kemampuan berdialektika.

Kata-kata yang tak dilupakan Wimo, pernah diucapkan Deddy, merantau itu gampang, tinggal di rumah yang sulit. Artinya, bagaimana pun sulitnya tinggal di rumah, tanpa harus merantau, ia bisa melakukan kerja kreatif yang tidak mungkin dilakukan oleh orang daerah, seperti anggapan orang pusat itu.

Dalam berkarya pun demikian, kata Wimo, Deddy telah melampaui usianya. Sebagai penulis yang masih muda, kreativitasnya dalam berkarya sangat bagus, ditunjang oleh modal pengetahuan historiografi tadi.

Deddy Arsya lahir di Bayang, Pesisir Selatan, 15 Desember 1987. Ia mendapatkan gelar sarjana di Jurusan Sejarah Peradaban Islam, IAIN Imam Bonjol Padang. Kemudian melanjutkan ke program Pascasarja Unand. Karya-karyanya banyak dipublikasikan di koran-koran lokal dan nasional, seperti Padang Ekspres, Singgalang, Kompas, Koran Tempo dan media lainnya.

Puisinya juga termaktub dalam antologi Dua Episode Pacar Merah (2005) dan Herbarium (2007). Selain itu, ia juga kerap menjadi pembicara dan pemakalah dalam diskusi-diskusi sastra di Padang.

Sembari menyelesaikan penelitiannya, saat ini ia aktif sebagai Koordinator Litbang dan Penerbitan di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kabarita serta Komunitas Padang Membaca. (***)

Comments