Water Break or Water Berak [?]

oleh Deddy Arsya

Selama Turnamen Piala Sudirman berlangsung, karena saya tidak punya TV di rumah, saya lebih sering ke kedai (lapau) daripada biasanya. Di sana, ada TV besar yang dapat Anda tatap berjam-jam bahkan jika yang Anda pesan hanya 'teh-sampah-tawar' seharga 500 perak--jika Anda betul-betul tidak dalam keadaan beruang, sebagai pelepas tanya pemilik kedai, itu lebih baik daripada Anda memesan air putih.

Kedai kopi adalah tempat segala ketakterdugaan bisa datang bagai kematian. Jangan Anda bertanya 'benarkah?', karena pertanyaan itu nyaris telah sama sekali tidak sopan di situ. Salah satu ketak-terdugaan itu, begini:

Selama Turnamen itu berlangsung, 'water break' adalah kata yang mengesalkan bagi penonton di kedai kopi. Sebab hal itu sering terjadi ketika saking seru-serunya pertandingan berlansung, wasit menghentikannya untuk 'water break'. Namun, yang juga penting adalah, bukan itu saja, kata itu tentu juga akan mengesalkan para pecinta bahasa nasional/pemerhati bahasa Indonesia/dst.

Entah kenapa 'water break' kata yang pilih. Para pecinta bahasa akan bilang "kenapa tidak 'rehat minum' saja atau ‘turun minum’ yang telah familiar juga? Bukanlah lebih ngengindonesaah...?" Mungkin ini karena stasiun TV-nya, yang ber-tagline ‘TV masa depan’ itu (dengan keterangan cahaya yang berlebih), sehingga merasa harus meng-Inggris-kan apa saja. Ah, bukan, kata seseorang, itu karena dari sononya (maksudnya peraturan FIFA kali ya) memang demikian bunyinya. Tetapi bukankah kita berhak untuk menerjemahkannya sesuai konteks spasialnya?

Tetapi penonton--yang tidak begitu peduli soal tetek-bengek politik bahasa--hanya akan berteriak: "Eh tumbuk aba, telah 'water berak' pula!"

‘Water berak' adalah cemooh yang menohok, terdengar udik memang, tetapi pahit melebihi kopi tanpa gula. Anda mungkin akan bilang 'ih, dasar jorok!' atau ungkapan-ungkapan urban lainya yang serupa dengan itu. Arti harfiah kata itu memang menjijikkan: 'berak air'. Kita bisa menerjemahkannya juga sebagai 'mancuru', 'mamboco[r]', 'mencret di atas mencret'; Anda ingin terus berak tapi ampas makanan yang ada dalam perut Anda telah Anda keluarkan seluruhnya, sampai pada akhirnya Anda hanya dapat 'berak air', ya, 'water berak' ....

Ini persoalan serius, tau, kata seorang linguis yang demikian amat peduli. Kita telah dijajah secara bahasa. Kita lebih senang menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa nasional kita yang dengan susah-payah diperjuangkan para nenek moyak kita. Di TV, di radio, di cafe-cafe, di restoran, di jalan raya, di mana-mana... [bahkan dalam tulisan ini mungkin juga kali ya]... bahasa asing lebih berkuasa atas mulut kita ketimbang bahasa ibu kita sendiri.

Tapi keluhan semacam itu telah berlangsung puluhan tahun lamanya dan mungkin selama puluhan tahun lagi kita masih akan mendengar keluhan yang lebih-kurang mirip. Lantas? Pemerintah, bergeraklah, lindungi bahasa nasional, kata setengah orang. Pusat Bahasa/Balai Bahasa, kerjamu ngapain aja? Bukan, bukan begitu caranya, kata setengah yang lain, tetapi semuanya harus dimulai dari kesadaran masyarakat, kesadaran pemilik bahasa itu sendiri, kesadaran dari bibir-bibir kita. Kita harus bangga dengan bahasa nasional kita sendiri, tau!

Tapi toh kita hidup di tengah simpang-siur bahasa, ‘aku hidup depan pintu terbuka’ kata Chairil. Tidakkah bahasa nasional yang kita agung-agungkan itu sepanjang pembentukannya juga dibangun dari berbagai bahasa (bahasa daerah-daerah dan tidak terkecuali bahasa asing) yang pada akhirnya sublim di bibir kita kini untuk menganggapnya sebagai bahasa nasional kita. Mungkinkah persoalannya ada pada ‘waktu’: kapan sebuah kata asing menjadi tidak lagi asing, dan kapan sebuah kata milik kita sendiri lantas menjadi kata asing (kita menyebutnya arkais, bukan?) atau lenyap sama sekali dari perbendaharaan di mulut kita kelak di kemudian kala (dan kita menyebutnya punah).  Pada akhirnya, ‘water berak’, akan tetap seperti itulah barangkali gambaran bahasa kita di masa depan; di mana yang asing dan yang tak asing berkelindan bagai saka dan santan pada bibir kita yang semakin keriting. Dan soal distorsi, penyimpangan makna, tidakkah itu sesuatu yang lumrah terjadi dalam sejarah bahasa?

Pandai Sikek, 2016

Comments