Madat


Madat

Oleh Deddy Arsya

Sekarang barangkali dapat dikategorikan sebagai narkoba. Dulu namanya candu, sejenis tumbuh-tumbuhan yang diolah sedemikian rupa untuk bisa dihisap. Ketika telah dimasak dan siap untuk digunakan disebut madat. Di Hindia Belanda, pusat pengolahan dan produksi candu terdapat di sebuah tempat di Depok, di sebuah kawasan di mana Universitas Indonesia sekarang berdiri. China dan peranakannya seringkali diberi hak oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memonopili perdagangan komoditas ini.


Candu, menurut Dobbin, telah lama menjadi komiditas dagang di tanah Melayu dan telah dihisap oleh orang Melayu sejak abad ke-15. Akan tetapi di Sumatera Barat peredaran candu turut meningkat seiring meningkatnya ekonomi penduduk dalam abad ke-18. Pada masa itu, Sumatera Barat adalah salah satu konsumen terbesar candu. Mabuk-mabukan dan madat merebak di pasar-pasar daerah ini. Uang yang didapat segera dihamburkan di gelanggang-gelanggang adu ayam atau di kedai-kedai madat.

Candu atau madat mengobarkan nafsu dan meruntuhkan pendirian para pemakainya. Nafsu ini dengan mudah meletus menjadi perkelahian, peramporan, dan bahkan pembunuhan. “Mengadu ayam dan menghisap madat yang digemari oleh orang Melayu menyebabkan mereka menjadi pencuri dan pembunuh”, kata J. C. Boelhouwer, seorang letnan Belanda yang pernah ditugaskan di Pariaman.

Sementara Dobbin menambahkan bahwa kecanduan madat menyebabkan orang dengan mudah cepat kehilangan harta bendanya, apalagi kalau yang kecanduan adalah kepala suku. Uang dengan mudah didapat dan dengan mudah pula lenyapnya. Akibatnya untuk tetap mendapatkan uang, muncul kelompok-kelompok penyamun yang kelak menghambat laju-gerak perdagangan antar pekan di darek Minangkabau.

Bahkan kegemaran mengisap madat ini tidak saja dilakukan oleh masyarakat biasa tetapi juga oleh elit adat sendiri. Akibatnya, para penghulu dianggap tidak mampu mengendalikan ketenteraman negeri, karena bahkan tidak jarang beberapa elit adat sendiri juga terlibat dalam praktek kejahatan, seperti melindungi kelompok-kelompok samun demi memperoleh uang untuk membeli candu. Bahkan, menurut Dobbin, atas perlindungan mereka, memungkinkan terdapat beberapa kampung penyamun di darek Minangkabau.

Di saat-saat kemerosotan peran penghulu seperti itulah beberapa ulama padri muncul menggantikan peran mereka dalam menyelesaikan persoalan kejahatan di nagari-nagari Minangkabau. Para tuanku dengan perguruan-perguruan mereka mencuat ke tengah. Gerakan para ulama ini yang kemudian mengobarkan apa yang kita kenal sebagai Perang Padri. Gerakan padri ditujukan pertama-tama kepada kebiasaan yang merusak dalam masyarakat Minangkabau seperti kegemaran berjudi dan candu yang telah menstimulasi berkembang pesatnya kejahatan.

Comments