Citra Komunis dalam Roman Digulis
Oleh Deddy Arsya
Setelah pemberontakan Komunis yang gagal pada 1926 di Banten dan 1927 di Sumatera Barat, pemerintah Belanda memutuskan membuang banyak kaum merah yang terlibat itu ke Digul—kamp interniran yang dibangun beberapa bulan setelahnya. Dalam pengasingan, tokoh-tokoh komunis itu, yang disebut juga sebagai kaum radikal, banyak yang tidak lagi radikal karena bujukan pemerintah maupun karena kesusahan hidup di tanah pembuangan. Hatta, misalnya, menulis: “Tapi yang anehnya pula banyak komunis di sini yang kelihatannya prinsipal konsekwen, tapi manakala dihadapkan kepada tantangan fisik, terus berobah. Umpamanya waktu pembuangan kami di Digul, banyak orang komunis yang mau masuk golongan werkwillig, menerima catu dan nafkah yang lebih banyak dengan bersedia membantu Belanda di daerah pembuangan itu.... Di saat menderita, keimanan dan kepribadianlah yang menentukan, bukan ajaran dan teori yang diidealisasi bagai manapun”.
Hatta seorang yang ‘sangat’ anti-komunis, keterangannya bisa saja dipengaruhi oleh ‘kebencian’nya. Tulisan ini hendak memeriksa bagaimana kaum komunis direpresentasikan dalam roman-roman digulis. Selain itu, lewat mengkaji roman-roman ini, kita-orang dengan tulisan ini hendak juga menunjukkan ke hadirat pembaca satu hal lain: Hidup kita ini rupa-rupanya ditentukan bukan oleh ide-ide besar, tetapi oleh hal-hal yang [dianggap] remeh-temeh: cinta yang tak sampai, kasih yang lerai, asmara yang terbentur tembok realitas yang keras. Tokoh-tokoh berikut ini, comunisten-comunisten kita ini, adalah manusia-manusia yang keras berjuang menggelorakan semangat sosialisme dalam gelanggang perjuangan kebangsaan, tetapi berakhir dengan terpapar dihantam realitas keras percintaan yang personal.
Karena keterbatasan halaman koran ini maka cukup dua roman saja dulu sebagai pembuka kajian dari setidak-tidaknya belasan roman yang bercerita tentang digulis.
Anda bisa membaca [di antaranya] pada roman Pandoe Anak Boeangan karya Abdoe’lxarim M.S.. Roman ini adalah salah satu di antara 5 roman yang bercerita tentang kehidupan kaum digulis yang termaktub dalam buku Cerita dari Digul yang disunting Pramoedya Ananta Toer. Roman ini aslinya terbit dalam seri roman Aneka yang muncul di Medan pada tahun 1933. Pandoe Anak Boeangan adalah sebuah kisah asmara seorang digulis di belantara Digul yang penuh malaria. Alih-alih berbicara tentang perjuangan mewujudkan ide-ide besar serupa sosialisme, roman ini justru berbicara tentang sengkarut cinta antara insan-manusia. Pandoe, tokoh utama roman ini, pada mulanya adalah seorang pegawai pemerintah yang mapan, berasal dari keluarga biasa yang mendapat jodoh anak seorang juru tulis. Sejak itu karirnya melonjak. Tetapi cerita menelikung: Pandoe bercerai dengan istrinya karena berbagai ketidak-cocokkan. Melarikan diri dari kesedihan hati akibat kegagalan berumah-tangga, Pandoe pergi ke Semarang. Di ‘kota merah’ itu dia terbawa arus Serikat Islam yang sedang bergejolak akibat semakin dominannya unsur komunis. Pandoe bertemu dengan kawan sesama aktivis bernama Erni dan keduanya sepakat menjalin cinta dan hidup berumah tangga. Tapi Pandoe dikecewakan lagi ketika Erni menolak mengikutinya ke Digul ketika pemerintah kolonial membuangnya.
Di tanah pembuangan itu, Pandoe memilih menyendiri, tidak terlibat dalam hubungan sosial apa pun. Tapi entah kenapa, cerita lagi-lagi menikung: Pandoe terlibat upaya melarikan diri. Bersama lima orang sesama digulis, dia kabur dari sana. Tetapi, dalam pelarian, malang menimpa Pandoe, kakinya terkena jerat babi yang dipasang Kayakaya—penyebutan untuk orang Papua ketika itu. Orang-orang di luar Papua menganggap orang Papua primitif, bahkan ada yang kanibal. Tapi bukannya hendak dimakan, Pandoe malah diselamatkan suku tersebut. Hingga kemudian dia dinikahkan dengan anak gadis Kayakaya. Tetapi, razia polisi Belanda berhasil menangkap Pandoe dan mengembalikannya ke kamp. Di kamp, Pandoe tidak mau mengakui kepada teman-temannya kalau dia telah menikah dengan perempuan Kayakaya. Dia merasa malu mengakui kenyataan tersebut.
Pada titik ini, Pandoe adalah tokoh komunis yang ambivalen: menginginkan kesamaan kelas masyarakat tetapi juga membedakan ras manusia. Mencita-citakan masyarakat di mana ketidaksetaraan kelas terhapus, tetapi juga pada saat yang sama mengamini ketidaksetaraan bangsa. Dia dibuang karena berjuang untuk Sosialisme-Komunisme yang Agung, tetapi ketika berhadapan dengan suku Kayakaya-Papua dia memandangnya sebagai bangsa yang masih primitif—oleh sebab itu rendah. Oleh sebab itu pula, dia malu mengakui istrinya itu dan bahkan juga cabang bayi hasil perkawinan mereka.
Citra digulis lain dapat kita baca pada diri Rustam. Tokoh ini termaktub dalam roman Rustam Digulist, sebuah roman D.E. Manu Turoe yang diterbitkan penerbit Tjerdas di Medan. Tahun terbitnya secara persis tidak diketahui. Roman ini bercerita tentang kisah cinta juga sebenarnya, sekalipun dibebani oleh soal-soal politik pergerakan pada awalnya. Rustam, seorang kerani kelas dua pada sebuah perkebunan Belanda di Medan, dan Cindai, seorang anak hartawan kota Medan. Keduanya telah sejak lama menjalin cinta dan dalam waktu dekat berencana menikah. Tetapi pernikahan itu serta-merta urung ketika Rustam ditangkap dan dikirim ke Digul. Dia, yang tercatat sebagai anggota partai komunis, pejuang kaum lemah yang bersemangat, terlibat dalam usaha mempropagandai para kuli untuk melawan kepada perusahaan perkebunan tempat dia bekerja karena dianggap berlaku sewenang-wenang. Pada titik ketika Rustam didigulkan, cerita lantas berubah kentara menjadi melankolik. Dalam surat-suratnya kepada Cindai dari tanah pembuangan, nyaris tidak ada lagi ide-ide besar lagi heroik yang disinggung Rustam. Surat-suratnya adalah keluh-kesah personal setengah penyesalan, akibat kesepian di tanah pembuangan, dan akibat derita hidup yang tak tersembunyikan. “Jadi, kakanda menyesal telah memasuki perkumpulan yang berbahaya itu [partai komunis]?” tanya Cindai suatu kali. “Tidak dapat terpastikan olehku, adinda!” kata Rustam.
Pada 1935, pemerintah kolonial menutup kamp Digul karena dianggap menyedot biaya besar yang merugikan. Sebagian besar tahanan politik lantas dibebaskan. Rustam di antara yang pertama dibebaskan bersama banyak komunis lain. Ia dapat pulang kembali ke Medan. Kisah cinta lama dirajut kembali dengan Cindai, tetapi segera saja membentur realitas. Keluarga Cindai tidak menerima Rustam, karena dia seorang ‘eks-digulis’—orang berbahaya, bekas orang buangan, bekas perantaian dalam kacamata umum ketika itu. Tetapi mereka memutuskan kawin lari. Lantas keluarga Cindai berusaha memisahkan mereka secara paksa, namun Cindai tetap tidak bersedia meninggalkan Rustam. Hanya ketika ayah Cindai mengancam akan bunuh diri jika Cindai tetap pada pilihannya itu maka hati Cindai kalah dan bersedia bercerai dengan Rustam. Dan Rustam menerimanya dengan pasrah. “Tuhan-lah yang Maha Mengetahuinya!” kata Rustam ketika mendapati takdirnya harus berpisah dengan Cindai untuk selama-lamanya.
Sekali lagi, sejak Rustam di-Digul-kan, semangat perlawanan habislah sudah, tandas. Lahirlah Rustam yang baru: bukan Rustam si perombak yang bersemangat hendak menciptakan masyarakat baru yang bebas dari kesewenang-wenangan, tetapi Rustam yang menyerah pada nilai-nilai status quo yang tiranik, bukan Rustam yang bersemangat melawan ketidakadilan sosial, tetapi Rustam yang apatis terhadap nilai-nilai yang membelenggu [bahkan dirinya secara personal]. Internasionale yang dinyanyikan dengan penuh keyakinan akan mendobrak realitas kini tinggal nyanyian panjang angan-angan. Roman ini, sebagaimana roman sebelumnya, juga memperlihatkan citra komunis yang ambivalen itu dengan jelas. Belantara rimba-raya Digul yang penuh malaria, telah berhasil mempermak mereka menjadi lebih ‘jinak’.
Pandai Sikek, 2016
Deddy Arsya, penyair dan penulis sejarah.
(dipublikasikan: Padang Ekspres, 27 Maret 2016)





Comments
Post a Comment