Sahaya

Oleh Deddy Arsya
“Apakah salah yang telah diperbuatnya hingga dia menjadi sahayaku?” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang terkenal, Gadis Pantai. Sahaya, yang tidak bisa menjadi teman tuannya. Sahaya, budak, atau hamba.
Kenapa orang menjadi sahaya? Apakah seorang telah ditakdirkan menjadi budak sejak dia lahir? Tetapi bukankah Abu Bakar pernah berkata, “kenapa kau perbudak manusia padahal dia terlahir merdeka?”
Dalam beberapa sejarah masyarakat, seseorang tidak terlahir sebagai budak. Tetapi seorang menjadi budak karena ada beberapa alasan yang menyebabkannya menjadi budak. Pertama, dia melakukan suatu kejahatan berat. Di Minangkabau, misalnya, hingga pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-18, masih ditemukan budak-budak yang menghamba kepada keluarga raja Pagaruyung disebabkan karena mereka melakukan suatu tindakan kejahatan berat seperti melakukan pembunuhan.
Dobbin mencatat, bahwa pada pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-18, di dataran tinggi Minangkabau masih sering ditemui budak-budak raja yang menjadi budak karena kejahatannya dan telah dibuang dari keluarganya. Christine Dobbin selanjutnya mencatatkan bahwa terdapat dusun-dusun kecil pemukiman budak di dekat istana Pagaruyung karena budak dan penjahat yang mencari perlindungan di istana dimanfaatkan untuk mengerjakan berbagai pekerjaan.
Di Minangkabau, hukuman model ini dikenal sebagai andam atau hamdam, hukuman menjadi budak. Seorang terhukum yang melarikan diri dari hukuman yang ditimpakan kaumnya dengan minta perlindungan kepada raja atau kerajaan Pagaruyung. Dengan melarikan diri dari hukuman, dengan mencari perlindungan kepada raja, dia secara sah telah mengakuidirinya sebagai budak raja,menyerah sepenuhnya pada kekuasaan tuannya.
Seorang yang diandam adalah seorang yang menolak mati. Tidak berlaku baginya adigium heroik ‘’lebih baik mati dari pada menjadi budak”. Tetapi adigium yang berlaku baginya adalah “lebih baik menjadi budak daripada mati”. Tidak heran, karena pilihannya itu, derajatnya dari manusia merdeka jatuh menjadi budak.
Di abad setelahnya, andam atau handam tampaknya tidak populer lagi. Kekuasaan raja-raja telah runtuh dan hampir-hampir tidak lagi punya legetimasi untuk menetapkan hukuman. Westenenk misalnya menuliskan bahwa, dalam abad ke-18, tidak terlihat lagi suatu pemerintahan yang sebenarnya di bawah otoritas kekuasaan raja, “tidak ada kekuasaan jang lebih tinggi jang dapat menjelesaikan perselisihan antara nagari2, dan karenanja kadang-kadang berlangsung sama sekali. Memang ada radja menjuruh mengibarkan bendera kuningnja di medan perselisihan untuk menghentikan perkelhian (sic!) tapi kerak kali ini adalah sia2” Pewaris raja-raja seperti Orang Gadang Radjo, juga telah jauh runtuh pamor politiknya sebagai penentu keputusan hukum. Westenenk mengisahkan: “.. tiap pertanjaan jang menurut adat dimadjukan kepada tiap-tiap kepala kampung jang dilaluinya, apakah ada perselisihan2 jang harus diselesaikan, selalu dijawab dengan “tidak ada”
Kedua, di Minangbakau ada lagi budak yang diwariskan secara turun-temurun. Seorang mamak pemilik budak akan mewariskan budak tersebut kepada kemenakannya. Anatona, seorang peneliti sejarah perbudakan di pantai Sumatera, mencatatkannya sebagai “budak pusako”. Dalam konteks budak kategori ini, seorang budak akan tetap menjadi budak sekalipun tuannya telah tiada, sebab si budak akan beralih kepemilikan kepada kemenakan tuannya.
Ketika, seorang menjadi budak karena kalah perang. Perang dengan begitu juga memproduksi budak. Mereka yang tertangkap dalam perang dan menjadi tawanan otomatis menjadi budak bagi musuh yang menawannya. Adigium Minangkabau tentang ini berbunyi: “manang jadi rajo, kalah jadi budak”—yang memang menjadi raja, yang kalah menjadi budak.
Hingga beberapa dekada awal abad ke-19, di Minangkabau masih ditemukan budak-budak yang menjadi budak karena ditawan atau kalah perang. Mereka di antaranya menyerjakan sawah-sawah orang-orang padri di dataran tinggi Minangkabau atau memikul karavan dagang milik tuanku-tuanku padri dari dataran tinggi ke pesisir barat. Budak-budak ini adalah tawanan perang yang dibawa dari Batak, sebagai hasil dari penyerangan padri ke utara, ke daerah sekitaran Mandailing dan Angkola.
Di Arab, hampir 12 abad sebelumnya, Nabi Muhamad sesungguhnya sudah menghapuskan dan melarang tawanan perang dijadikan budak. “Hormati tawananmu dan perlakukan mereka dengan baik”, kata Nabi. Di Indonesia, perbudakan juga sudah dihapuskan sejak 1 Januri 1860.
Tetapi mau bagaimana, perbudakan terus ada, bertransformasi mengikuti zaman. Perbudakan hingga hari ini tetap ada dengan bentuknya yang berbeda. Orang-orang konservatif bilang, bagaimana mau menghapuskan perbudakan, sebab di antara manusia tersimpan watak ingin menguasai sesamanya, dan ada di antara manusia juga terdapat yang berwatak hamba.




Comments
Post a Comment