Ahmad Khatib dari Geledak Kapal
Oleh Deddy Arsya
Dari geledak kapal, ia melihat daratan. Di belakang: laut biru membentang. Di depan: tanah kelahiran! Tapi ia tak hendak turun. Entah kenapa, begitu bunyi cerita yang dituturkan dari bibir tukang cerita. Catatan tertulisnya tak ada.
Lelaki itu, Ahmad Khatib. Ia memperoleh pendidikan pada sekolah rendah dan sekolah guru di Bukittinggi. Setelah itu, ia berangkat ke Makkah. Tahun 1876, ia telah menjadi imam Mazhab Syafii di Masjidil Haram, kedudukan tertinggi masa itu. Sejak saat itu, ia tak pernah pulang. Konon, setiap rindu pada kampung halaman, ia menumpang kapal, dan mengobati kerinduannya dengan melihat Teluk Bayur, Emma Heaven, lalu daratan Minangkabau, hanya dari geledak kapal.
Konon pula, ia tak pernah pulang-pulang karena tidak setuju dengan peraturan-peraturan adat tentang hal waris di Minangkabau. Ia memang mengecam keras harta waris berdasar pada nasab ibu. Sama kerasnya ia menentang praktek-praktek tarikat di kampung halamannya sendiri, di daerah tempat di mana kaum padri mengecam persoalan yang sama puluhan tahun sebelumnya.
Tapi ia tentu berbeda. Apalagi jika disandingkan dengan kelompok padri generasi awal (Haji Miskin dkk.), tentu tak tepat, sama sekali tak tepat. Ia tak mengangkat senjata, atau menyusun barisan hulubalang yang siap bertempur di medan laga.
Di abad ketika ia hidup, kecendrungan zaman telah berubah. Di masa lalu, radikalisme terbukti gagal, kepercayaan diri dan semangat menggebu-gebu untuk merubah masyarakat dengan pedang terhunus telah lama pudur (bahkan di penghujung zaman padri sekalipun, kesadaran bahwa praktek-praktek kekerasan tak membawa kemaslahan umat sudah terdapat di antara kalangan ulama-ulama padri, termasuk dalam diri Imam Bonjol sendiri, pemimpim besar padri). Kini, zamannya perang pemikiran.
Maka di Makkah ia mengajar banyak pemuda Indonesia yang pergi menuntut ilmu ke sana. Pemuda-pemuda Minangkabau apalagi, banyak yang berguru kepadanya. Kecendrungan zaman itu pula, memang, tujuan tertinggi mempelajari agama bagi banyak generasi muslim Indonesia adalah ke tanah suci.
Banyak yang diajarkan Ahmad Khatib di sana. Sebagai imam Mazhab Syafii, tentu saja terutama ia mengajarkan mazhab tersebut. Meskipun begitu, ia tak memaksakan pada murid-muridnya untuk menerima apa yang dipegangnya. Banyak murid-muridnya, atau orang-orang yang pernah belajar kepadanya, sekembali dari tanah suci dan tiba di tanah air menjadi ulama-ulama besar dan kharismatik. Baik sebagai pembaharu maupun yang tetap mempertahankan tradisi. Baik sebagai ulama kaum muda yang dengan mata berkaca-kaca menyorakkan pembaharuan, maupun sebagai ulama kaum tua. Tercatat misalnya dari kalangan pembaharu: Abdul Karim Amarullah (pendiri Sumatera Tawalib), Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah), Abdullah Ahmad, Muhamad Djamil Djambek. Sementara di kalangan ulama kaum tua yang pernah berguru kepadanya: Sulaiman Ar-Rasuli (pendiri MTI Canduang) dan Hasyim Asj’ari (pendiri Nahdatul Ulama).
Beragam corak pemikiran murid-murid Ahmad Khatib menandakan ia seorang penyemai yang telaten. Sebab keseragaman pikiran lebih dekat kepada stagnasi, kevakuman, dan berarti juga kemunduran. Siapa yang mau kemunduran, tentu tak ada. Sedang keberagaman akan menggarairahkan dialektika.
Ahmad Khatib, setidak-tidaknya, telah menstimulasi lahirnya beberapa pemikir, ulama-ulama besar, cendikiawan muslim yang akan dikenang sampai hari ini dan masa depan karena kecemerlangan pikiran dan perbuatan mereka untuk umat. Kita tampaknya memang membutuhkan ulama seperti itu sekarang, ulama yang tidak “membunuh” tetapi ulama yang “menyuburkan”.
Tak banyak generasi hari ini yang mengenal dan masih mengingatnya. Ia seperti luput dari ruang ingat kita hari ini. Lupa memang menjadi penyakit yang massif dewasa ini, lupa pada apa saja, tak terkecuali pada sejarah bangsa sendiri.
Guru saya menyarankan, untuk masjid megah yang sedang dibangun di jantung kota (yang sepertinya akan selesai dalam waktu yang tak lagi lama), nama Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi pantas dilekatkan.
Saya setuju. Barangkali nama itu dapat mengingatkan kita kepada pemiliknya, terutama pada cita-citanya: bahwa melahirkan generasi Islam yang tangguh dan moderen jauh lebih penting ketimbang apa pun. Termasuk: ketimbang mendirikan masjid megah dengan simbol-simbol keislaman dan keminangkabauan yang menawan itu.
Padang, 2009





Comments
Post a Comment