Masa Depan Arsip dan Keberlanjutan Ilmu Pengetahuan

Oleh Deddy Arsya

A Centicle for Leibowitz karya Water M. Miller, Jr., adalah sebuah gambaran tentang bagaimana arsip menyelamatkan peradaban manusia. Terbit pertama kali pada tahun 1959, fiksi ilmiah paling terkenal di era perang dingin ini dibuka dengan sebuah lanskap pasca-kehancuran yang disebabkan perang nuklir. Dari kehancuran yang nyaris total itu, hanya biaralah satu-satunya lembaga pengetahuan yang selamat.

Seorang Leibowitz, insinyur dan ‘Cassiodorus’ (negarawan & penulis Yunani klasik) zaman modern,  telah membangun sebuah biara di gurun pasir Southwest untuk melestarikan pengetahuan dari akibat perang nuklir abad kedua puluh. Lalu, seorang biarawan abad kedua puluh enam kemudian menemukan teks-teks di tempat tersembunyi yang ditinggalkan oleh Leibowitz itu. Para biarawan yang tidak mengerti apa-apa memperlakukan diagram-diagram sirkuit dan daftar bahan makanan Leibowitz (“setengah kilo pastrami, sekaleng kraut, enam buah bagel”) dengan ketakziman yang sama. Namun, teks-teks ini pada akhirnya membuat orang mampu membangun kembali peradaban—yang mengirim para biarawan terbang ke luar angkasa kelak pada tahun 3700an.

Ian F. Mcneeli & Lisa Wolverton, dalam sedikit ulasannya mengenai novel futuristik ini (dalam buku Reinventing Knowledge From Alexandria to Internet) mengatakan bahwa skenario fantasi ini mustahil adanya, tetapi karya ini memberi tahu kita bahwa ia merepresentasikan konteks sosiai sang pengarang. Miller hidup di tengah era perang dingin yang dihantui tanpa jeda oleh perlombaan senjata yang bisa saja berujung pada kehancuran zaman akibat perang nuklir, dan kaum intelektual tampak serius tetapi sekaligus waswas memikirkan bagaimana ilmu pengetahuan dapat diselamatkan jika kondisi paling buruk itu terjadi terhadap umat manusia.

Perang nuklir akan menyebabkan kehancuran secara masif tidak saja terhadap spesies manusia, tetapi juga terhadap ilmu pengetahuan yang telah mereka hasilkan berabad-abad. Kehancuran itu akan tak terbayangkan, melebihi apa yang terjadi terhadap perpustakaan Alexandria pada abad klasik dan terhadap khasanah pengetahuan Muslim akibat penyerbuan Mongol pada abad tengah; untuk yang disebutkan terakhir, para penyerbu menjadikan abu setiap kertas yang dapat mereka temukan. Di zaman digital ini, hal itu sama adanya dengan gambaran yang dibuat Ian F. Mcneeli & Lisa Wolverton: hasil pekerjaan atau penelitian yang telah kita lakukan selama berbulan-bulan lenyap dari hard disk komputer atau laptop kita. Tak ada back up, baik yang disimpan dalam flash disk maupun CD/DVD. Yang tersisa cuma coretan tangan berserak.  Untuk mendapatkan kembali hasil pekerjaan atau penelitian yang lenyap itu, kata Ian F. Mcneeli & Lisa Wolverton dalam karya yang telah juga dikutip di atas,  “mau tidak mau kita harus mengulang dari awal semua pekerjaan yang “sebenarnya” telah kita lakukan”.

Kebanyakan kita masih percaya bahwa warisan ilmu pengetahuan mesti dijaga karena dengan itu peradaban manusia masih dapat dilanjutkan, dan pengarsipan adalah salah satu bentuk dari proses penjagaan itu. Secara tradisional, orang Minangkabau secara perorangan atau komunal sudah lama melakukan itu. Hal ini dibuktikan dengan sering ditemukan “arsip” di pagu (loteng) rumah yang dimasukan ke dalam tabung bambu atau dibungkus kain dan dimasukkan (ke dalam pahatan) tiang utama di pagu (loteng) rumah gadang. Arsip itu berupa surat hutang-piutang, surat pagang-gadai, dan ijazah serta foto-foto yang dibingkai kaca, yang di belakangnya selalu tertera informasi, kata sejarawan Gusti Asnan dalam sebuah sarasehan tentang arsip baru-baru ini. “Jika ada yang mengatakan bahwa orang Indonesia dikenal sebagai orang, bangsa yang sangat mengabaikan arsip, surat-menyurat, dan material fisik lainnya, saya kira itu tidak sepenuhnya benar. Orang Minang sangat telaten dengan arsip dan dokumen itu,” ujar Gusti Asnan.

Tetapi di masa kini, internet merupakan infrastruktur pengarsipan paling canggih yang menyimpan bermilyun-milyun arsip yang dapat diakses dengan mudah. Yoshi Fajar Kresno Murti dari IVAA (Indonesian Visual Art Archive) pada sarasehan yang sama mengatakan, “kebutuhan yang besar dari kerja pengarsipan adalah dengan digitalisasi yang penyimpanannya dengan penggunaan teknologi”. Bahkan saat ini, lewat media sosial orang-orang dengan sukarela dan gembira menjadi bagian infrastruktur tersebut: menjadi pengarsip sekaligus arsip itu sendiri. Online archive telah menjadi bagian yang tak asing lagi bagi dunia kita. Internet sejauh ini telah terbukti menjadi mesin penyimpan raksasa hampir seluruh warisan ilmu pengetahuan dunia.

Miller, penulis fiksi fantasi yang telah dikutip di atas, mungkin saja tidak berpikir tentang internet ketika dia menulis fiksi fantasinya itu, karena ketika dia menulis novelnya adalah saat di mana internet belum menjadi gejala massa seperti belakangan ini. Jika dia menulis novelnya itu sekarang, mungkin dia akan mempertimbangkan bahwa bukan biara—warisan abad gelap itu—yang akan menyelamatkan ilmu pengetahuan dari kehancuran total akibat perang nuklir di masa depan—atau bahkan setidak-tidaknya dari sebuah rezim diktatur yang membenci sejarah.

Orang-orang seperti Orwell,  dalam novelnya Tahun 1984 yang termasyur, percaya bahwa yang dilakukan rezim-rezim diktatur ketika berkuasa adalah pertama-tama akan menghilangkan sejarah, bukan saja dengan menyingkirkan para sejarawan, tetapi juga di antaranya dengan cara melenyapkan dan mendistorsi dokumen-dokumen. Untuk yang pertama terjadi pada awal-awal kekuasaan Dinasti Chin, di mana dokumen-dokumen dari masa sebelumnya diperintahkan untuk bakar habis. Sementara yang kedua,  Milan Kundera menggambarkannya dengan baik dalam Kitab Lupa dan Gelak Tawa, ketika partai komunis Praha menghilangkan/mengkroping Clementis (yang dianggap berkhianat kepada partai) dari foto bersejarahnya bersama pemimpin komunis Praha, Gottwald, yang sedang berpidato pada 1948. Tetapi, jika seandainya internet ketika itu sudah ada, tindakan-tindakan serupa itu tidak lantas akan melenyapkan sejarah. Di Indonesia, misalnya, ketika suratkabar-suratkabar oposan dibungkam pada zaman Orde Baru, gerakan-gerakan perlawanan bergerak dengan leluasa di dunia maya. Internet memberi kebebasan yang nyaris tanpa batas. Internet telah menjadi padang luas tanpa tepi.

Ya internet akan dipilih sebagai penyelamat yang tersisa dari ilmu pengetahuan manusia. Tetapi, tidak ada yang bisa menjamin bahwa internet akan selamanya begitu. Tidakkah internet, sebagaimana lembaga penjaga ilmu pengetahuan lainnya seperti perpustakaan dan laboratorium, biara dan universitas, juga dapat disensor, diblokir, atau bahkan dilenyapkan sama sekali yang dengan itu juga melenyapkan seluruh khasanah pengetahuan yang disimpannya?

Pandai Sikek, 2016

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini