Tentang Jalak di Punggung Kerbau

Oleh Deddy Arsya

Aku membawa pacarku pulang ke kampung kami di suatu hari raya haji. Aku ingin mengunjungi rumah masa lalu ayahku yang sudah tidak ada, sudah dijual untuk biaya sekolah kami di kota bangsat ini. Sementara pacarku ingin mengunjungi neneknya yang sudah bertahun-tahun tidak dikunjungi agak ke utara. Dalam perjalanan pulang, aku menunjukkan padanya tempat di mana kakak laki-laki ayahku mati ditembak prajurit-prajurit APRI ketika pemberontakan meletus di tahun 1958. “Di sini, di sini pamanku dieksekusi!” kataku padanya dengan mata berkaca-kaca. Pamanku yang masih muda-belia, bergabung dengan kesatuan Tentara Pelajar, tertangkap oleh Pemuda Rakyat di tepi hutan kampung kami. Dan anggota-anggota Pemuda Rakyat itu yang juga masih muda-muda belia menggiringnya, menghadapkan pamanku yang sudah patah tulang rusuknya kena hataman sepatu lars, pada pasukan APRI. Mereka meletuskan moncong senjata laras panjang tepat ke kepala belakang pamanku. Aku membayangkan kepalanya pecah berantakan, dan otaknya berhampuran keluar.

Tapi mata pacarku yang bulat-besar bukan berkaca-kaca mendengar ceritaku, yang kukira sudah kuceritakan sedramatis mungkin. “Wuih, ada jalak di punggung kerbau, itu, arah ke situ!”

Aku melihat jalak hitam di punggung kerbau merapikan bulu, nun, di tengah luas persawahan. Kami tidak memotretnya, kami tidak membawa kamera. “Seandainya kita punya kamera ya?” kata pacarku pula. Jika pun punya, untuk apa memotret hal yang biasa seperti itu, pikirku. Biasa, ya, apalah yang luar biasa dari pemandangan jalak di punggung kerbau yang bisa kami lihat di banyak tempat, tidakkah di Padang juga banyak sawah dan kerbau?

Kami hanya menatap jalak hitam itu yang kemudian terbang dari kejauhan. Dan kerbau yang ditinggalkan burung itu tetap bergelung di kubangan. Aku ingin mengatakan pada pacarku, ketika itu, jika seandainya kerbau juga punya sayap seperti jalak, dan terbang, lantas ke mana jalak-jalan hitam itu akan hinggap?

Aku membayangkan pacarku akan tersenyum jika aku bertanya seperti itu. Tidakkah itu lucu? Tapi kami tidak pernah membicarakan tentang kerbau yang punya sayap dan bisa terbang. Atau tentang jalak-jalak yang kesepian karena tidak lagi punya tempat hinggap. Ketika itu, aku hanya membayangkan (aku dibawa bayangan) tentang pamanku yang mati terbunuh, ditembak, tidak jauh dari tempat kerbau itu bergelung dalam kubangannnya.

Masalalu punya cara sendiri untuk memasuki siapa pun. Ayahku boleh saja memproklamirkan diri begini: “Kami anak zaman yang penuh pergolakan, menyaksikan negeri ini dijajah Jepang, menyaksikan pertempuran melawan Belanda, menyaksikan Pemberontakan 1958, menyaksikan huru-hara paska Gestapu—kalian tahu, kami dari Pemuda Pelajar dan KAMI, ikut menggedor-gedor pintu rumah orang-orang PKI dan menggiring mereka dengan truk-truk tentara, membawa mereka ke Bukit Lampu untuk ditembak. Dan masih banyak lagi, kalian tahu. Kami berjalan puluhan kilo untuk bisa sekolah, Padang-Painan kami lewati berjalan kaki, menakik getah, menangkap dan menguliti kulit biawak untuk dijual ke touke China di Pondok untuk menambah uang sekolah. Kami tidak pernah memintak sesenpun kepada orangtua jika ingin sekolah. Kita berbeda … kalian anak zaman yang manja!”

Tapi masalalu, sekali lagi, punya cara yang tidak bisa kita tebak untuk memasuki siapa pun, untuk mempengaruhi hidup siapa pun, dan mempengaruhi masa datang. Lama aku termenung memikirkan, misalnya, kenapa aku harus menulis sajak dan cerita pendek tentang masa ketika aku sama sekali tidak pernah bersua dengannya. Kenapa aku harus diikatkan kepada masa lalu kalian yang tidak ada hubungannya sama sekali denganku kecuali bahwa karena peristiwa itu aku kehilangan paman yang juga tidak pernah aku kenal? Tidakkah aku hanya dibesarkan oleh ceirta-cerita kalian yang mengikatku sampai hari ini, berusia panjang dan lama itu dalam diriku sekarang?

Sajak-sajak dan cerita pendek yang aku tulis tentang itu tidak pernah menarik bagi pacarku. “Tidak romantis, rumit, ah, apa itu?”

Aku ingin menulis tentang jalak di punggung kerbau, tentang mata bundar pacarku yang bercahaya, tentang cinta dan masa muda yang gesit. Aku ingin menulis sajak tentang jari-jari kecil-mungil pacarku yang indah bergerak ke sana-ke mari di atas senar gitar, memainkan lagu-lagu yang manja untukku, khusus untukku. Aku kira sajak-sajak itu akan lebih bergunanya di musim kita yang begini gila, bukan? Aku tak peduli pada apa pun yang akan dikatakan orang kelak jika aku ingin menulis tentang romantisme masa muda yang berkaca-kaca itu, romantismu slenge'an itu. Bagiku, persetan saja!

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini