Bunuh Diri dalam Fiksi

Oleh Deddy Arsya

Ketika ada kabar tentang bunuh diri, saya sering diingatkan pada Kenzaburo Oe. Novelnya, Silent of Cry, terbit tahun 1984, begitu meninggalkan jejak di kepala. Novel itu mengantarkannya meraih Nobel Sastra pada 1992. Dalam bahasa Indonesia, satu dasawarsa berselang, terjemahannya diterbitkan dengan judul Jeritan Lirih.

Bunuh diri (suicide) bukan persoalan satu-satunya dalam novel ini memang. Ada banyak soal yang diutarakan Oe: seksualitas, hubungan keluarga, problem sosial, termasuk soal-soal politik. Tetapi ada satu garis yang bisa ditarik: harapan dan putus asa bisa dipertukarkan dan bertukar dengan mudah.

Novel ini didominasi suasana gelap. Oe nyaris sempurna menampilkan ketidak-berdayaan manusia di hadapan hayat. Sekalipun, di beberapa bagian, ada nada optimistik yang dibangun, tetapi tetap saja nada itu terdengar mencekam di telinga. Di tengah kepungan ketidak-berdayaan itu, kata novel ini pula, manusia sesungguhnya bebas. Mereka menentukan garis hidup sendiri. Bunuh diri mengisyaratkan betapa bebasnya manusia. Bahkan bersoal mati pun manusia bebas memilih cara yang mereka inginkan: minum racun, menyilet nadi di kamar mandi, atau menggantungkan leher pada seutas tali. Ada banyak pilihan cara mati. “Bahkan soal mati pun engkau telah bicara,” kata sebuah sajak Chairil dengan suasana yang hampir tak jauh berbeda.

Tapi bunuh diri bukan hanya bersoal ‘pilihan’ individual. Praktik ini juga melintasi batas itu: menyangkut persoalan struktural sekaligus. Untuk itu, kita jadi ingat Emile Durkheim. Ada banyak alasan kenapa orang bunuh diri, kata sosiolog Prancis itu. Salah satunya: perubahan masyarakat yang cepat akibat pembagian kerja yang semakin meningkat. Gejala ini menghasilkan suatu masyarakat yang ‘kebingungan’. Durkheim menyebutnya anomie. Suatu keadaan di mana norma-norma sosial yang mengatur perilaku runtuh di hadapan gejala kapital baru. Keadaan ini lebih lanjut memunculkan segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol di antaranya adalah bunuh diri.

Jepang dalam latar novel Oe memang sedang terkejut-kejut (shock) dengan kemajuan dirinya sendiri. Industrialisasi menjadikan manusia seperti mesin yang diciptakannya. Ruang sebagai manusia disingkirkan oleh semangat kerja yang berderap dengan gila bagai robot. Di tengah gejala serupa itu, norma-norma lama dibuat tergagap dan tergeragap, dan masyarakat dilanda anomie. Bingung dengan kondisi sosial terbaru, beberapa orang kalah, dan memilih berhenti hidup. Di Jepang, angka bunuh diri memang selalu tinggi dari tahun ke tahun. Ini bukan lagi soal harakiri (suatu bentuk pertanggungjawaban atas kesalahan) dalam tradisi lama, tetapi telah merupakan gejala yang dibawa laju modernisasi.

Masyarakat yang terguncang akibat perkembangan dunia baru itu juga pernah dialami Minangkabau (atau mungkin juga dunia ketiga pada umumnya). Kita ingat roman Aman Dt. Madjoindo, Tjerita Boedjang Bingoeng yang tidak begitu terkenal (jika dibandingkan dengan romannya yang lain seperti Si Doel Anak Betawi yang ramai dibicarakan). Dalam roman ini, perkembangan kapitalisme mengantarkan masyarakatnya pada kegilaan. Mereka dituntut untuk bergerak mengikuti gelombang-gadang ekonomi uang; bagaimana harus punya dan memiliki benda-benda materil dari produksi global. Ini menciptakan depresi sendiri bagi masyarakat yang sebelumnya hanya menyerahkan hak milik pada sistem komunal, pada kepemilikan puak. Ramon Guillermo menyebut novel ini sebagai penggambaran yang sempurna tentang bagaimana konsep ‘uang’ masuk ke tengah masyarakat tradisional.

Ikatan kolektif yang merenggang dalam masyarakat tradisional, dan di sisi lain meningkatnya ketergantungan baru kepada negera kolonial dengan ekonomi uangnya yang individual, adalah problem-problem yang banyak digarap novel-novel sebelum perang dalam sejarah sastra Indonesia. Keterbelahan masyarakat ini, sekali lagi, menciptakan keadaan anomie yang berakhir pada prilaku menyimpang—dengan bunuh diri sebagai puncaknya. Banyak novel-novel zaman itu yang bisa dirujuk. Samsu, dalam Sitti Nurbaja, berusaha bunuh diri karena patah hati. Aziz yang kaya-raya, dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, jatuh miskin dan bunuh diri. Laminah, dalam Tak Putus Dirundung Malang, bunuh diri karena tidak sanggup melanjutkan hidup dalam berbagai penderitaan; juga Mansur, dalam roman yang sama, bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut karena selepas keluar dari penjara, lingkungan sosial tidak lagi menerimanya. Hanafi, dalam Salah Asuhan, mati dengan cara meminum 4 butir sublimat; dia bunuh diri karena merasa tersisih dari lingkungan sosialnya.

Lalu orang-orang pada akhirnya lari kepada agama. Tapi agama menyiapkan bunuh diri yang lain jika tidak dipahami dengan tepat: Kakek Garin menggorok lehernya sendiri dengan pisah cukur dalam Robohnya Surau Kami, sebuah cerita pendek pasca-perang.

Tetapi manusia tampaknya tetap memelihara harapan di tengah kehidupan yang gelap. Novel Oe menyisakan ruang untuk itu: “Begitu masalah selesai, semua yang pernah menghantuimu tampak sangat bodoh dan sepele,” kata seorang tokoh dalam novel itu. Untuk itu, “Cerialah, apapun yang terjadi,” kata tokoh yang sama mengutip Henry Miller.

Padang, 2015

Deddy Arsya, magister ilmu sejarah UNAND.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini