Tambang Emas Salida (Salido) Setelah Kolonial

Oleh Deddy Arsya

Tulisan ini membahas sejarah Tambang Salida atau Salido setelah ditinggalkan pemerintah kolonial Belanda. Sejarah dunia tambang pasca-kolonial tetap penting untuk dibahas; bahkan kehidupan dunia tambang setelah ditinggalkan Belanda tidak kalah bergejolaknya.

Sekilas Riwayat Tambang Emas di Minangkabau

Emas sebagai “logam pilihan Tuhan” menduduki tempat yang penting dalam riwayat masyarakat Minangkabau. Jauh sebelum Minangkabau terlibat dalam perdagangan hasil-hasil pertanian ke pasaran dunia, daerah ini telah lebih dulu ambil bagian dalam perniagaan lintas bangsa dengan emas sebagai komoditi utama. Begitu pentingnya emas dalam mempengaruhi perjalanan daerah ini dibuktikan misalnya pada keterangan bahwa Adityawarman dikirim dari keraton Majapahit ke Sumatera untuk menguasai daerah pengekspor emas masa itu yaitu Dharmasraya—daerah Minangkabau. Cristine Dobbin (1996) juga mencatat bahwa kedudukan ekonomi keluarga raja Minangkabau juga sangat tergantung pada fluktuasi perdagangan emas, karena secara khusus pemasukan ekonomi keluarga kerajaan ditopangkan pada penguasaanya atas jalur perdagangan emas masa itu.

Alam Minangkabau di masa silam menjadi pusat penghasil emas. Emas ditemukan di beberapa daerah terpisah, baik di pedalaman maupun di daerah rantau. Sebelum Belanda datang ke Minangkabau, hampir semua tambang emas di daerah ini diusahakan oleh rakyat—tambang rakyat. Sehingga, menurut catatan Dobbin lagi, tidak ada wiraswasta besar yang dapat menguasai sebagian kecil dari keseluruhan tambang; tambang selalu dalam skala kecil; dan persaingan antar kelompok penambang sering terjadi (ini menjadi ciri pokok tambang rakyat pada umumnya bahkan di zaman kontemporer ini). Setelah bangsa Belanda menginjakkan kakinya di tanah Minangkabau, baik murni sebagai pedagang maupun telah beralih fungsi menjadi penjajah, kegiatan penambangan emas di Minangkabau tetap berada di tangan rakyat, tetap diusahakan oleh rakyat, kecuali Tambang Salida seperti yang telah disebutkan di awal.

Sebelum pemerintah kolonial memperkenalkan teknik pertambangan yang lebih maju dan modern, Minangkabau sudah mempunyai sekelompok penduduk yang memiliki keterampilan dalam mendulang dan menambang emas, meskipun ketrampilan itu masih bersifat tradisional. Bagaimana persisnya metode atau sistem kerja tambang masa itu, tak banyak keterangan yang bisa didapatkan. William Marsden (2008:155), seorang petualang berkabangsaan Inggris yang berkunjung ke pedalaman Minangkabau pada abad ke-18, memberikan sedikit gambaran tentang kegiatan tambang orang Minangkabau di pusat-pusat penambangan emas pedalaman. Dikatakannya bahwa para penambang emas membuat lubang secara vertikal dan kemudian menghubungkannya dengan dua lubang yang dibuat secara horizontal untuk mengalirkan air. Ada sebuah alat yang disebut ‘biduk’ untuk memisahkan logam dari kuarsa yang sudah lumat.

Meskipun sudah memiliki keterampilan dalam mendulang dan menambang emas, namun tidak begitu halnya dalam ketrampilan pengolahan emas hasil tambang. Kemungkinan penambang Minangkabau baru hanya sebatas memiliki kemampuan dalam pengolahan emas tahap pertama yaitu memisahkan emas dari kuarsa. Pengolahan emas tahap kedua, yaitu pemisahan emas dari bijih-bijih logam lainnya seperti perak dan tembaga baru diperkenalkan Belanda pada tahun 1914 yaitu pada pengolahan emas Tambang Salida (Suryadi: 2009)

Sekilas Riwayat Tambang Salida pada Masa Kolonial

Sejak pertama kali beroperasi, Tambang Salida terus berfluktuasi, berpindah dari pengelola yang satu ke pengelola yang lain, dari VOC hingga pemerintah Hindia Belanda, dari metode kerja yang satu ke teknologi tambang berikutnya. Pemerintah Kolonial yang mengelola kadang beruntung kadang merugi—meskipun lebih sering merugi dan beberapa kali ditutup. Hingga akhirnya Tambang Salida benar-benar ditutup selamanya oleh Belanda pada tahun 1928 dan tak pernah dibuka lagi oleh pemerintah kolonial itu. (riwayat ringkasnya lihat: Suryadi 2009)

Riwayat Tambang Salida Setelah Ditinggalkan Belanda

Setelah secara resmi ditinggalkan Belanda, kawasan Tambang Salida nyaris tak terjamah pihak mana pun lagi. Jepang yang hanya berdiam tiga setengah tahun tak sempat punya perhatian untuk menggarapnya. Setelah kemerdekaan pun, pemerintah republik tampaknya tidak memiliki tanda-tanda untuk mengolahnya pula. Barangkali ini dikarenakan pengolahan kembali terhadap kawasan tambang ini dianggap tidak terlalu menguntungkan, karena selama kurang-lebih 150 tahun pemerintah kolonial mengelola tambang tersebut, pemerintah kolonial tidak pernah untung besar atau malah sering merugi. Sehinganya, sudah sepatutnya dalam pikiran praktis, bekas tambang ini dibiarkan mati bahkan tak terawat sama sekali.

Keadaan kawasan Tambang Salida berubah drastis setidak-tidaknya sejak tahun 1995 ketika beberapa penambang lokal mencoba kembali menelusuri “sampah-sampah” peninggalan penjajah itu. Pada pertengahan tahun itu beberapa ‘alumni’ Rejang Lebong (sebuah daerah di Curup, Bengkulu, yang banyak terdapat tambang emas; banyak orang Minang merantau dan bekerja sebagai penambang emas di sana) pulang kampung dan mencoba peruntungan menambang emas di hilir sungai yang berhulu di kawasan bekas Tambang Salida itu. Dan mereka berhasil menemukan emas. Sejak saat itu, beberapa alumni Rejang Lebong yang telah memiliki pengetahun pertambangan berinisiatif pula untuk menelusuri jejak tambang Belanda di hulu sungai itu. Ternyata ditemukan bahwa lubang-lubang tambang milik kolonial di masa silam itu masih banyak menyisakan urat-urat emas.

Dengan cepat, berita mengenai adanya urat-urat emas di sisa-sisa tambang emas milik Belanda itu tersebar hampir ke seluruh daerah Pesisir Selatan. Di tahun itu, hampir setiap daerah di pesisir mengirim pemuda-pemuda mereka untuk bekerja. Mereka membentuk kelompok-kelompok tambang dengan setidak-tidaknya seorang Tua Tambang dalam satu kelompok tambang sebagai kepala tambang. Seorang Tua Tambang biasanya selalu ‘alumni’ Rejang Lebong, karena hanya merekalah yang memiliki pegetahuan tentang cara menambang emas. Kebetulan pula, ketika itu tambang emas di Rejang Lebong telah banyak yang menurun produksinya, sehingga banyak penambang-penambang dari sana yang bermigrasi ke ‘surga’ yang baru saja ‘ditemukan’ itu.

Ali Akbar (seorang ‘alumni’ Rejang Lebong) misalnya membentuk kelompok tambang dengan anggota terdiri dari kaum kerabat dan orang sekampungnya. Setiap kelompok tambang beranggotakan lima bahkan sampai belasan orang. Karena tempat kerja yang jauh dari pemukiman penduduk, maka setiap kelompok tambang mempersiapkan bekal berupa bahan pokok untuk sebulan bekerja. Mereka membangun pondok sederhana di dekat areal tambang. Di samping itu, para penambang juga perlu mempersiapkan alat-alat untuk kerja seperti sekop, pacul, martil, dan alat-alat lain yang sifatnya konvensional belaka.

Para penambang awalnya hanya mengikuti atau menelusuri kembali urat-urat emas di bekas-bekas lubang Belanda. Namun kemudian, di waktu belakangan, karena urat-urat emas merembes ke luar lubang, mereka juga membuat lubang baru di luar lubang peninggalan Belanda itu. Tidak jarang lubang-lubang para penambang berada di antara lubang-lubang bekas peninggalan Belanda. Lubang-lubang baru itu hanya ditopang balok-balok kayu yang dicari di hutan bukit barisan di sekitar kawasan tambang.

Kondisi tambang yang tidak memiliki jaminan kesehatan membuat beberapa penambang menderita gangguan pernapasan, terutama TBC (ini terutama disebabkan karena mereka mesti berhari-hari berada dalam lubang tambang). Jaminan keselamatan kerja tentu juga tidak ada, ini menyebabkan kecelakaan kerja tidak dapat dihindari di lokasi tambang. Tidak itu saja, tidak adanya batas kepemilikan atas suatu daerah tambang, sehingga setiap kelompok tambang bisa saja mengklaim suatu lubang bekas peninggalan Belanda yang kaya emas menjadi miliknya, milik kelompoknya. Ini menyebabkan bentrok antar kelompok penambang kerab terjadi dan tak jarang menimbulkan korban.

Syamsir Adnan yang berkunjung ke kawasan tambang Salida pada tahun 1996 (ketika kegiatan penambangan sedang marak-maraknya dilakukan) menceritakan bahwa, untuk sampai ke kawasan Tambang Salia dibutuhkan waktu kira-kira sehari perjalanan menerobos bukit barisan dari pusat perkampungan penduduk di Bungo Pasang (sebuah daerah arah ke barat laut Painan). Konflik antar penambang pada masa itu adalah masalah yang cukup menarik perhatian; disebabkan konflik ini, kawasan tambang ini pernah ditutup atau dilarang untuk sementara waktu oleh pemerintah daerah dan dibersihkan dari segala bentuk kegiatan tambang rakyat.

Menurut sumber yang sama, ketika itu, berdasarkan pengamatannya, ada sekitar 30 lebih tenda-tenda milik kelompok penambang memenuhi kaki-kaki bukit kawasan tambang Salida itu. Setiap satu kelompok tambang adalah pemilik satu pondok atau tenda. Itu belum lagi termasuk beberapa kedai nasi dan kedai kopi yang sengaja dibangun oleh penduduk lokal untuk memenuhi kebutuhan para penambang di kawasan itu. Diperkirakan ada ratusan orang yang bekerja menambang emas pada masa itu. Dapat dibayangkan, ketika itu, kawasan bekas tambang Belanda itu menjadi sebuah kampung kecil di tengah-tengah rimba raya bukit barisan yang lebat.

Umur tambang rakyat itu tidak sampai dua tahun. Kawasan yang pada masa kolonial dikenal sebagai Tambang Salida itu telah ditinggalkan sama sekali. Tidak saja karena bukit-bukit di kawasan Tambang Salida itu sudah tak lagi mengandung emas, tetapi juga (seperti dicatatkan di atas) karena konflik antar penambang tidak jarang terjadi.

Tidak terkalkulasikan berapa emas yang berhasil diperoleh para penambang selama rentang waktu tidak sampai dua tahun itu dari bekas kawasan tambang milik penjajah itu. Yang pasti, kini kawasan itu masih menyisakan lubang-lubang tambang bekas tambang rakyat yang puluhan jumlahnya di antara bekas lubang-lubang permanen dan bangunan-bangunan tua milik kolonial. Jika pemerintah mau, tentu kawasan ini bisa saja dikelola untuk dijadikan kawasan wisata tambang.

Padang, 2009

Comments