Sejarah 'Calon Menantu'

Oleh Deddy Arsya

Albert Camus dalam novelnya yang terkenal, Sampar, pernah mengatakan. Untuk menilai sebuah kota, kata Camus, lihatlah dari bagaimana warganya bekerja, menjalin cinta, dan mati. Tulisan ini akan berbicara tentang yang kedua. Bagaimana model atau kriteria laki-laki yang menjadi calon menantu idaman dalam sejarah keluarga di Minangkabau?

Sebelum perang padri, kekuasaan kelas bangsawan mendominasi Minangkabau. Kekuasaan yang dominan ini mempengaruhi penentuan calon menantu. Seorang yang berdarah bangsawan akan ramai-ramai dipermenantukan oleh keluarga Minangkabau. Apatah dia keluarga Kerajaan Pagaruyung atau hanyalah keluarga dari penghulu-penghulu. Tidak diperhitungkan berapa banyak panu dan kurap menjangkiti tubuhnya, seberapa parah bopeng wajahnya. Asal berdarah biru, akan laku!

Seorang ibu yang memiliki anak perempuan akan rela dan bangga bermenantukan seorang keluarga bangsawan sekali pun anaknya adalah istri keempat dari si bangsawan itu. Kerajaan Minangkabau memang masih menunjukkan pengaruhnya yang kuat, setidak-tidaknya hingga akhir abad ke-18. Penghulu menguasai nagari sepenuhnya dengan kekuasaan yang hampir mutlak terhadap kemenakannya. Keluarga Raja Minangkabau memiliki warisan yang terbentang luas, tanah pusaka dan inventaris kerajaan yang tak akan habis hingga tujuh keturunan. Bersama dengan jaringan penghulu, dalam catatan Christine Dobbin, mereka menguasai jalur perdagangan emas ke pantai barat maupun timur, dan kaya raya karena mengambil upeti dari semua itu.

Namun, memasuki akhir abad ke-18, peran itu telah mulai luntur, setidak-tidaknya begitu kata L. C. Westenenk. Suara-suara mereka tidak didengarkan lagi di nagari-nagari, titah mereka lebih sering diabaikan ketimbang diikuti. Pada saat yang bersamaa, degradasi kelas bangsawan menunjukkan tanda-tandanya yang kuat. Pada datuk-datuk yang kaya raya menghabiskan kekayaannya dalam gelanggang judi dan madat sementara kelompok-kelompok samum bermunculan tanpa tertahankan. Keluarga-keluarga kerajaan sendiri sudah runtuh pamor politiknya karena tidak mampu berbuat banyak untuk mengamankan nagari-nagari dari pertumbuhan kejahatan dan kriminalitas itu.

Dalam kondisi demikianlah, tuanku-tuanku padri mulai mengambil posisi. Kaum ulama yang dalam struktur politik adat tidak memiliki posisi, kini bergerak mengukuhkan posisinya. Gerakan padri meletus, yang implikasinya begitu menentukan bagi berakhirnya dominasi kelas bangsawan. Bahkan lambang kedigdayaan kaum adat, semisal Kerajaan Pagaruyung sendiri dibakar habis dan keluarga kerajaan dibunuhi.

Para haji kemudian menunjukkan legitimasinya yang kuat. Ini juga akhirnya berpengaruh terhadap kriteria calon menantu dalam keluarga Minangkabau. Tropi calon menantu idaman beralih ke tangan para haji atau tuanku. Para haji dan tuanku bisa memudahkan jalan ke surga. Setidak-tidaknya, begitu pikiran sementara keluarga Minangkabau pada masa itu, dengan memiliki menantu seorang haji mereka juga akan ikut dimudahkan jalannya ke surga. Atas dasar itu maka tidak mengherankan jika anak-anak perempuan yang muda belia dengan rela dan penuh keiklasan diserahkan kepada haji-haji dan tuanku yang telah hampir tua renta. Seorang haji dengan mudah bisa memperistri empat perempuan, dan dengan mudah pula ia menceraikan salah seorang di antaranya jika ada tawaran memperistri perempuan yang lebih muda (karena beristri lebih dari empat tidak diperbolehkan dalam Islam).
Melihat pada ‘enaknya’ menyandanga status ‘haji’, ramai-ramai pula laki-laki Minangkabau berangkat ke Makkah.
Setidak-tidaknya hingga pertengahan abad ke-19, peran itu kelak akan digantikan oleh kebangkitan kaum saudagar. Semangat beragama yang menyala-nyala sejak zaman padri, seiring perjalanan waktu meredup kembali, digerus zaman yang lain pula. Perkembangan ini juga turut distimulasi oleh tanam paksa kopi yang menumbuhkan geliat perdagangan di daratan tinggi Minangkabau.

Dunia materi merebak hebat. Ekonomi uang mendapat tempat. Pedagang-pedagang kaya kini menjadi buah bibir para calon mertua. Inilah zaman yang boleh dikatakan sebagai zaman kebangkitan para saudagar. Laki-laki Minangkabau pergi ke luar daerahnya dengan harapan bisa menjadi kaya raya, dan kelak pulang ke kampung untuk memperistri gadis-gadis ‘cantik’ di kampungnya sendiri tiga atau empat. Mereka yang tidak merantau tidak akan kaya-kaya dan jangan harap akan laku, jika pun laku hanya akan mendapatkan gadis-gadis yang berparas jelek. Parantau yang belum berhasil kaya tidak akan berani pulang dan kadang larut di rantau orang.

Ada sebuah catatan dari seorang Minangkabau, Muhamad Rajab, yang sangat informatif memperlihatkan kecendrungan itu. Semasa Ketjil di Kampoeng, 1913-1928, begitu tajuknya, menceritakan tentang seorang pedagang kaya raya mengawini seorang gadis 16 tahun. Gadis itu cantik dan belia, menjadi buah bibir pemuda di kampung, tetapi lepas ke ‘tua bangka’ pedagang kaya itu.  Apa mau dikata, zaman menggeliat sekehendak hatinya.

Ketika geliat modernisme mulai menyebar bagai epidemi di Minangkabau, sejalan dengan politik etis yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda, calon menantu idaman baru juga muncul. Mereka adalah pada anak sekolah, kelas terdidik dari dunia modern. Kenapa mereka? Kelas terdidik punya akses ke kekuasaan, masa depannya adalah menjadi ambtenaar. Dapat dikata, abad saudagar digantikan oleh abad para pegawai. Sampai jauh masa kemudian, setelah Indonesia merdeka, pegawai tetap bertahan memegang piala sebagai calon menantu idaman. Tapi sampai kapan semua itu berlangsung?

Abad-nya para praja pemerintah itu juga akan berakhir, abad pengusaha akan menggantikannya kembali. Kini, wiraswasta muda, yang kaya raya di usia belia, menjadi calon menantu idaman baru di zaman kita.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini