Tenggelam Diam-diam
“jika kau tenggelam dan mati dalam perjalanan nanti, apa yang akan dilakukan kekasihmu menjelang itu? aku mungkin bisa menuliskan suatu rencana yang biasa misalnya, memancing di akuarium rumah sendiri, mencuci karpet dengan sabun mandi, atau menjamur kasur di atas kompor.”
“kau boleh menceburkan dirimu ke danau itu. tapi aku katakan, aku tak menginginkan sesuatu pun menyumbul dari tenang air itu. itulah salahnya jika kita selalu menghindari arus deras, batu-batu di dasar yang kita pijak memantulkan ngilu ke pangkal gigi yang berlubang ini.”
“kapan ya kita bisa ke dokter gigi menghabiskan seluruh honor sajak ini hanya untuk sekali pemeriksaan. tidakkah lumut di batu-batu yang kita pijak itu memantulkan gamang tubuh kita seluruhnya. seperti rasa sakit di gigi.”
“tenggelam perlahan-lahan itu lebih bagus dari menonton televisi, atau memasukkah batu-batu kecil ke dalam saku piyama sehabis sembahyang, dan mimpikan mereka menjadi emas. meskipun sekarang bukan waktu yang tepat untuk tidur tapi kita telah melakukan perjalanan 15 jam dengan bis ekonomi, menyaksikan hutan kiri & kanan bagai selembar kain batik. dan aku menjadi tahu, kau tinggal di dusun yang mengajarkan anak-anak menghisap rokok yang telah diharamkan. bagaimana kalau kita mabuk ketika sedang mandi, atau tidur dengan mata terbuka, apakah itu juga diharamkan. atau: apakah maksudmu menulis sajak ini.”
“apakah kau pernah mengerti pertanyaan itu tidak cocok untuk cuaca seperti sekarang. kita terlibat macet hampir setengah hari. aku sedang sakit gigi. kau boleh mengerjakan sembahyang sepanjang hari untuk tahun berikutnya sekaligus. bisakah kita meminta tuhan bersabar seperti bisakah kita menimba hujan dari bak mandi untuk menjadi banjir di kota ini.”
“temanku menulis sajak tentang akar-akar pohon, kampung halaman penuh kenangan, dan terkadang kesunyian. aku katakan padanya, bisakah kau menulis sajak tentang cinta melebihi panjang sorban seorang padri. atau melebihi ayat-ayat yang dibaca dalam sembahyang.”
“aku hanya mengelabuimu pada baris terakhir sajak ini. sebab kau menelpon pacarmu terlalu lama, dan aku tak pernah tidur-tidur hanya untuk mencurigaimu. aku sudah pula membuat janji untuk hari sabtu depan. kita sulit menemukan bahagia di kota ini. apa sebaiknya kita pindah saja. mengunjungi danau biru dan hijau, atau berjaga-jaga dengan membawa akuarium ini ke mana-mana sambil merasakan diri tenggelam.”
(dipublikasikan Koran Kompas, 26 April 2009)
“kau boleh menceburkan dirimu ke danau itu. tapi aku katakan, aku tak menginginkan sesuatu pun menyumbul dari tenang air itu. itulah salahnya jika kita selalu menghindari arus deras, batu-batu di dasar yang kita pijak memantulkan ngilu ke pangkal gigi yang berlubang ini.”
“kapan ya kita bisa ke dokter gigi menghabiskan seluruh honor sajak ini hanya untuk sekali pemeriksaan. tidakkah lumut di batu-batu yang kita pijak itu memantulkan gamang tubuh kita seluruhnya. seperti rasa sakit di gigi.”
“tenggelam perlahan-lahan itu lebih bagus dari menonton televisi, atau memasukkah batu-batu kecil ke dalam saku piyama sehabis sembahyang, dan mimpikan mereka menjadi emas. meskipun sekarang bukan waktu yang tepat untuk tidur tapi kita telah melakukan perjalanan 15 jam dengan bis ekonomi, menyaksikan hutan kiri & kanan bagai selembar kain batik. dan aku menjadi tahu, kau tinggal di dusun yang mengajarkan anak-anak menghisap rokok yang telah diharamkan. bagaimana kalau kita mabuk ketika sedang mandi, atau tidur dengan mata terbuka, apakah itu juga diharamkan. atau: apakah maksudmu menulis sajak ini.”
“apakah kau pernah mengerti pertanyaan itu tidak cocok untuk cuaca seperti sekarang. kita terlibat macet hampir setengah hari. aku sedang sakit gigi. kau boleh mengerjakan sembahyang sepanjang hari untuk tahun berikutnya sekaligus. bisakah kita meminta tuhan bersabar seperti bisakah kita menimba hujan dari bak mandi untuk menjadi banjir di kota ini.”
“temanku menulis sajak tentang akar-akar pohon, kampung halaman penuh kenangan, dan terkadang kesunyian. aku katakan padanya, bisakah kau menulis sajak tentang cinta melebihi panjang sorban seorang padri. atau melebihi ayat-ayat yang dibaca dalam sembahyang.”
“aku hanya mengelabuimu pada baris terakhir sajak ini. sebab kau menelpon pacarmu terlalu lama, dan aku tak pernah tidur-tidur hanya untuk mencurigaimu. aku sudah pula membuat janji untuk hari sabtu depan. kita sulit menemukan bahagia di kota ini. apa sebaiknya kita pindah saja. mengunjungi danau biru dan hijau, atau berjaga-jaga dengan membawa akuarium ini ke mana-mana sambil merasakan diri tenggelam.”
(dipublikasikan Koran Kompas, 26 April 2009)



Comments
Post a Comment