Tembak Atas atau Tembak Bawah

Tembak Atas atau Tembak Bawah

(Perempuan dalam Pemberontakan Sumatera – 1958-1961)

Oleh Deddy Arsya

Ketika perang usai dan kaum pemberontak dilumpuhkan. Prajurit-prajurit pemenang perang lalu dipulangkan ke Jawa lewat Teluk Bayur. Sementara, perempuan dengan perut besar melepas mereka yang akan naik kapal. Melambai-lambaikan sapu tangan ke arah pasukan yang akan segera berangkat. Sambil berseru-seru: “Mas pendusta, Mas pendusta, ya!”

Kisah di atas itu anekdot tentang nasib perempuan dalam perang. Seseorang menceritakannya dengan geli. Anton Chekov untuk ini mungkin benar: "bahkan tragedi yang paling tragis pun mengandung komedi".

Sepanjang perang PRRI, memang ada catatan bahwa dari pihak kaum pemberontak telah jatuh korban lebih 22 ribu orang, 4 ribu lebih luka-luka, 8 ribu lebih ditawan, dan hampir 124 ribu menyerah. Namun, entah karena alasan ‘malu yang tak dapat dibagi’, nyaris tak ada keterangan yang mengumumkan berapa banyak perempuan yang menjadi korban dan bagaimana kisah hidup mereka.

Dalam perang, ketika perempuan ditodong senjata, barangkali memang hanya dua pilihan untuknya: “Tembak atas atau tembak bawah?” -- mati atau diperkosa. Maka tulisan ini akan melihat bagaimana realitas perempuan dalam periode perang PRRI, melalui lorong-lorong dalam karya fiksi. Fiksi, ya, yang mungkin lebih jujur atau lebih berdusta?

Karya-karya Sastra tentang PRRI

Soewardi Idris (1930-2004), yang bergabung dengan kaum pemberontak selama perang saudara, setelah turun dari hutan, menulis novel Dari Puncak Bukit Talang (1964). Soewardi juga menuangkan pengalamannya selama perang dalam dua antologi cerpen: Di Luar Dugaan (1964) dan Istri Seorang Sahabat (1964). Ketiganya diterbitkan NV Nusantara Padang. Memang, karya Soewardi Idris yang diterbitkan NV Nusantara banyak berbicara tentang PRRI. Bahkan secara lebih jauh Soewardi dalam karya-karyanya banyak menyoroti sisi buruk prajurit-prajurit PRRI, terutama pada masa-masa menjelang PRRI kalah.

Ali Akbar Navis termasuk pengarang Sumatera Barat lainnya yang banyak menulis tentang periode ini. Novelnya Saraswati si Gadis dalam Sunyi (diterbitkan pertama kali pada tahun 1970), misalnya, adalah di antara sedikit novel yang secara khusus menyorot realitas perempuan selama perang saudara. Di sisi lain, novel ini juga dianggap telah dengan berani keluar dari pakem resmi historiografi saat itu yaitu dengan menolak untuk menyebut PRRI sebagai pemberontakan atau pembangkangan. Bahwa hampir tidak satu pun kata itu ditemukan dalam novel ini.

Sementara, dalam genre lain, AA Navis juga menulis setidak-tidaknya 11 cerita pendek yang berbicara tentang PRRI. Cerpen-cerpen tersebut tersebar dalam beberapa kumpulan seperti Hujan Panas (1964), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Dua Kelamin Midin: Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980, Pistol Perdamaian: Cerpen Pilihan Kompas 1996, dan Karya Lengkap AA. Navis (2008)

Tahun 1978, Wildan Yatim menebitkan novel Pergolakan, berlatar Sidempuan pada periode pemberontakan. Di samping menulis Pergolakan, Wildan Yatim juga menulis cerpen yang menyinggung tentang kehidupan pada periode pemberontakan PRRI, salah satunya Saat Orang Berterus Terang.

Makmur Hendrik menulis Tikam Samurai. Novel ini diterbitkan pertama kali oleh CV. Pena Emas Padang pada Febuari 1983 dengan harga awal per novelnya Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Novel ini diterbitkan 12 jilid. Si Bungsu, tokoh utama dalam novel ini, dianggap mewakili bangkitnya superioritas ‘orang Minang’ paska pemberontakan yang tertindas dan diperhinakan.

Tahun 2005, Ular Keempat karya Gus Tf Sakai diterbitkan penerbit Buku Kompas. PRRI bukanlah tema sentral dalam novel ini, sebab novel ini lebih banyak berbicara tentang kisruh haji tahun 1970. Peristiwa PRRI hanya disinggung sebagai ingatan tokoh utama terhadap masa lalu puaknya.

Di tataran pemrosa yang datang lebih agak belakangan, ada Ragdi F Daye dalam Lelaki Kayu dan Perempuan Bawang juga menulis beberapa cerpen tentang peristiwa PRRI. Beberapa cerpen Zelfeni Wimra dalam Pengantin Subuh juga berlatar periode ini.

Dalam genre sajak, Rusli Marzuki Saria yang pernah terlibat dalam pemberontakan, menulis banyak sajak tentang periode perang saudara ini. Dari beberapa kumpulan sajaknya yang telah diterbitkan, terdapat sajak-sajak yang berbicara tentang perang saudara.

Sejarah Perempuan pada Masa PRRI dalam Karya Sastra

Perang menyisakan satu kesimpulan sederhana, bahwa untuk melumpuhkan mental musuh, perempuan mereka terlebih dahulu harus ‘dilumpuhkan’. Dalam kasus ini, untuk melumpuhkan mental kaum pemberontak, perempuan mereka harus dinistai.

Dalam Saraswati si Gadis dalam Sunyi AA Navis mencatatkan bahwa hal itu benar adanya. Perempuan telah menjadi korban ‘perang laki-laki’. Tentara pusat menistai perempuan di hadapan keluarga laki-lakinya sendiri untuk meruntuhkan mental dan menyurutkan dukungan terhadap pasukan PRRI. Saraswati yang remaja, di antaranya, telah menjadi korban pelecehan dan penistaan. Rumah Angahnya dikepung dan digeledah tentara pusat. Saraswati juga turut ‘digeledah’ di hadapan Angah dan Busra. Seorang prajurit mencoba memperkosanya. “Tangannya diulurkan ke dadaku. Ketika aku mengelak dan hendak menyingkir, aku didesaknya ke dinding. Sehingga aku tergencet dan menjerit-jerit,” tulis Navis. Ketika Saraswati yang bisu dan tuli itu melawan, prajurit APRI itu berlaku serupa ini: “…pangkal bedil yang dihantamkan ke kepalaku, hingga aku terjerongkang. Aku berteriak-teriak dan memaki-maki. Kepalaku berdarah dan darahnya mengalir menutupi mataku.”

Ular Keempat Gus tf Sakai juga mencatat tentang perempuan yang diperkosa tentara pendudukan. Ibu dan kakak perempuan Janir, misalnya, diperkosa dan dibunuh tentara pusat karena dituduh mempunyai hubungan dengan kaum pemberontak. “Tentara APRI membunuh mamakmu yang dituduh tentara pusat itu mata-mata, membunuh ibumu yang karena mamakmu dibunuh jadi gelap mata, membunuh ayahmu yang dengan kalap ingin membalas kematian istrinya, membunuh kakak perempuanmu setelah berulang-ulang diperkosa,” tulis Gus tf Sakai.

***

Perlakuan buruk terhadap perempuan di daerah pendudukan tidak saja dilakukan tentara pusat. Kaum pemberontak pun ada juga yang berlaku demikian kepada ‘orang kampungnya’ sendiri. Ini dilakukan baik karena keterpaksaan bathiniah terpisah dari istri selama bertahun-tahun atau karena moralitas kaum pemberontak yang terus memang merosot di tengah himpitan beratnya medan gerilya.

Di Luar Dugaan Soewardi Idris mencatat, setelah dua tahun lebih bergerilya di hutan-hutan dan terdesak di mana-mana, diceritakan Soewardi, kehidupan kaum pemberontak semakin terjepit. Hal ini mengakibatkan perbuatan mereka semakin nekat. Soewardi mencatat bagaimana kaum pemberontak mendatarkan sebuah kampung menjadi abu karena tak mau membantu menyediakan perbekalan. Dalam pada itu, “Anak-anak gadisnya kami seret untuk memuaskan nafsu,” tulis Soewardi pula.

Di Luar Dugaan sendiri berkisah tentang seorang prajurit PRRI bernama Hadi. Dia bersama pasukannya melakukan pencegatan terhadap sebuah bus yang penuh muatan di Lubuk Silasih. Bus itu dicegat, lalu penumpang dan muatannya diturunkan. Pasukan yang mencegat membariskan penumpang perempuan dan menelanjangi mereka. Bagi prajurit-prajurit itu, perempuan-perempuan itu merupakan “hasil pencegatan yang paling besar, yang membuat anggota gerombolan kami mabuk karena gembira,” tulis Soewardi. “Mereka ingin agar wanita-wanita itu dibagi-bagi seperti membagi nasi bungkus.”

Tokoh Hadi sesungguhnya telah ingin memperkosa seorang di antaranya. Tapi Halimah, begitu perempuan itu memperkenalkan diri, ternyata adalah istri adiknya. Hasrat-birahinya yang telah sampai ke ubun-ubun surut seketika. AA Navis dalam cerita pendek Sang Guru Juki (1990), juga berkisah tentang perlakuan buruk yang diterima perempuan. Mayor Ancok yang PRRI membiarkan anak buahnya memperkosa perempuan di desa-desa yang mereka duduki. “Apa salahnya bila anak buahku hanya memakai, bukan merampas perempuan itu?” alasan sang Mayor ketika berdebat dengan Si Dali, anak buahnya yang moralis, dalam sebuah kesempatan. Sang Mayor menganggap prajurit yang memperkosa sebagai “itulah resiko perang!”

***

Dalam perang, jika pun tidak menjadi sasaran perkosaaan, maka perempuan sering dijadikan ‘ganjal batu’. Mereka hanya dipakai karena keadaan mendesak, setelah keadaan lapang mereka dibuang. Dalam Sang Guru Juki, misalnya, AA Navis bercerita. Demi menyokong perlawanan dan mendukung perjuangan, Guru Juki memutuskan ikut bergerilya bersama pasukan pemberontak. Di pengungsian Guru Juki tinggal di rumah murid perempuannya bernama Siti. Terpisah berbulan-bulan dari istri (yang ditinggalkan di kota) membuat Guru Juki tidak tahan sendirian. Siti menjadi ‘korban’ pertama, dia dikawini Guru Juki, lalu ditinggalkan. Desa itu diserang tentara pusat, Guru Juki terpaksa mengungsi ke desa lain.

Di desa yang baru, Guru Juki tinggal di rumah seorang janda. Lalu kawin pula dengan si janda. “Dari pada ditangkap dan dipenjarakan musuh, biarlah ditangkap janda?” tutur Sang Guru, tulis Navis dengan satire. Desa itu pun diserang pula, Guru Juki melarikan diri lagi mengikuti kaum pemberontak, si janda tinggallah. Maka begitulah, di desa di mana Guru Juki ‘terdampar’, di sana pula dia akan beristri, dan meninggalkan mereka kelak.

Si Montok (1990), cerpen AA. Navis lain, menceritakan kisah seorang prajurit PRRI bernama Dali. Dia bersama 2 teman lain memperebutkan seorang janda cantik di desa yang mereka duduki. Tiga prajurit ini berusaha merebut hati ‘Si Montok’. Tapi ketiganya gagal. Komandan mereka yang datang kemudian-lah yang berhasil memperistri ‘Si Montok’.

“Engkau pasti akan jadi ganjal batu bila perang usai!” kata Dali pada Si Montok sebelum desa itu diserang tentara pusat.

Dan benar saja. Perang pun usai. Kaum pemberontak menyerah-turun, berkumpul kembali dengan anak dan istri yang telah bertahun-tahun ditinggalkan. Begitu pun dengan pasukan pemenang perang, kembali ke Jawa dengan gagah. Sementara Si Montok, Siti, Si Janda, Si Lara, dan lain-lain, ditinggalkan. Perempuan-perempuan yang telah besar perutnya itu terus berseru-seru ke arah kosong lautan: “Mas pendusta, Mas pendusta, ya!”

Padang, 2011

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini