Tanbaro Naik Odong-odong Fort de Kock
Oleh Pinto Anugrah
Perkenalan saya dengan Deddy Arsya pertama kalinya bukanlah perkenalan fisik secara personal. Saya pertama kali mengenalnya memang dari puisi, membaca puisinya yang waktu itu menjadi pemenang di salah satu lomba cipta puisi. Setelah itu baru saya tahu bahwa penyair ini ternyata juga adik dari teman karib saya. Jadi wajar jika kemudian saya selalu membaca dan mengikuti karya-karya penyair ini.[1] Walaupun terkadang pembacaan saya terhadap karya-karya penyair ini tidaklah terlalu mendalam, namun bentuk perkenalan pertama kali yang memang notabene dari karya tersebut cukup membantu saya untuk masuk ke karya-karyanya.
Ada satu panggilan menarik yang saya temukan untuk penyair ini dari saudara-saudara dan lingkungan terdekatnya, yakni Tanbaro. Saya tidak tahu kenapa penyair ini dipanggil dengan sebutan itu, namun bagi telinga saya panggilan tersebut dekat dengan nama tokoh kaba. Nama tradisional Minang yang ahli maota atau bercerita di lepau-lepau kopi. Sekaligus nama tersebut juga mengantar ingat akan bentuk puisi yang ditulisnya. Puisi lepau, yang seakan-akan tengah bakaba di palanta lepau kopi.
Puisi Deddy yang lebih berumpama seperti puisi lepau kopi; membuat pembacanya hanyut dan masuk ke dalamnya seperti seseorang mendengarkan celoteh tukang ota di lepau, kata-kata muntah dengan begitunya seakan tidak terkontrol, terkadang cenderung terdengar kasar, tidak berkesan puitis sama sekali. Namun sebenarnya itulah unsur estetik yang dibangun penyair ini, sehingga menjadikannya salah satu penyair Indonesia yang diperbincangkan saat ini. Baiklah, saya akan masuk ke dalam puisi-puisi penyair ini di dalam buku kumpulan puisinya, Odong-odong Fort de Kock, untuk melihat puisi lepau yang diusung Deddy Arsya ini.
Tanbaro Menipu Kompeni
Ketika pertama kali menerima buku kumpulan puisi ini yang langsung dikirim oleh penyairnya, mata saya langsung terpaku pada gambar sampulnya. Sebuah telapak tangan yang terbuka, menjulur ke bawah, di telapak tangan tersebut teronggok sebuah odong-odong. Penggambaran tersebut sudah memperlihatkan dua oposisional yang berbeda dan langsung memperlihatkan mana yang dominan dan yang terpinggirkan. Tangan menjadi dominan, baik itu secara visual maupun secara konsep, karena berasal dari atas dan lebih menguasai, dengan menggenggam sebuah odong-odong. Potongan tangan tersebut menempatkan dirinya menjadi sang logos.
Tangan siapa? Siapa yang punya tangan tersebut? Pertanyaan tersebut akan segera terjawab nantinya ketika pandangan kemudian dialihkan lebih ke bawah, ke kolom judul di sampul, tertulis Odong-Odong Fort de Kock. Judul buku ini juga memperlihatkan dua oposisional yang berbeda, odong-odong dan Fort de Kock. Kesimpulan sementara, berarti tangan pada ilustrasi sampul tersebut merupakan visualisasi dari Fort de Kock. Sang logos tersebut ternyata Fort de Kock, sesuatuu yang berkuasa dan yang terpinggirkan otomatis menjadi milik odong-odong.
Dari sini, kemudian, ingatan saya dilemparkan ke masa lalu, ke masa kolonial negeri ini. Fort de Kock adalah nama lain dari kota Bukittinggi. Kota di mana terdapat sebuah benteng pertahanan Belanda. Pada saat Belanda berusaha memanfaatkan situasi Minangkabau yang tengah berkecamuk antara kaum adat dengan kaum Paderi, Belanda membangun dua benteng pertahanan di negeri ini (Minangkabau) yang kemudian daerah di benteng pertahanan tersebut berkembang menjadi kota. Pertama yang dibangun adalah benteng Fort van der Capellen di atas sebuah bukit kecil di dalam nagari Baringin, dekat Pagaruyung di Tanahdatar, kemudian rakyat Minangkabau menyebut benteng pertahanan tersebut dengan batu sangkar karena representasi dari bentuk benteng tersebut yang berdiri dengan batu-batu yang tersusun kokoh, mengurung, berbentuk sangkar. Daerah benteng tersebut kemudian menjadi ramai dan menjelma menjadi sebuah kota, yang pada saat ini disebut dengan Batusangkar.
Kedudukan Belanda yang semakin kokoh di Minangkabau dan Paderi yang semakin terdesak. Belanda membangun bentengnya yang kedua, yakni di sebuah bukit yang cukup tinggi di dalam nagari Kurai di daratan Agam. Benteng tersebut dinamakan Fort de Kock. Sama halnya dengan Fort van der Capellen, rakyat setempat atau pribumi kemudian lebih menyebutnya dengan bukik tenggi, yang kemudian juga berkembang menjadi sebuah kota saat ini dengan nama Bukittinggi.[2] Jadi, kedua kota, Bukittinggi dan Batusangkar, yang berada di dataran tinggi Minangkabau, yang menjadi ikon kota[3] di dataran tinggi Minangkabau ini sebenarnya tidak lebih dari kota postkolonial. Kota warisan penjajahan Belanda yang menancapkan kukunya di pedalaman Minangkabau.[4]
Kota tersebut kemudian menjadi negosiasi identitas ruang antara penjajah dengan terjajah. Seiring perkembangannya misalnya, Bukittinggi, menjadi salah satu kota yang terpenting di Sumatera Barat, bahkan di Indonesia. Kota tersebut pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa PDRI, juga pernah menjadi ibukota provinsi Sumatera pada awal Republik Indonesia dan ibukota provinsi Sumatera Tengah pada masa orde lama.[5]
Baiklah, untuk itu saya kemudian masuk ke dalam puisi Odong-odong Fort de Kock[6] itu sendiri yang menjadi judul dari kumpulan puisi ini. Pada bait kedua puisi ini, /Aku memecahkan gelas kristal di Ramayana, Ayah/ Deddy tidak menempatkan yang ‘terjajah’ yang berada pada ‘aku’ lirik semata sebagai seorang yang bodoh dan menjadi kendali yang ‘menjajah’, namun Deddy juga menggambarkan bahwa ‘aku’ lirik pada puisi ini juga sebagai seorang yang ‘terjajah’ yang lugu, tidak tahu apa-apa. ‘Aku’ sebagai kanak-kanak yang tidak tahu dan tidak mengerti betapa mahal dan berharganya sebuah gelas kristal, sehingga dengan gamblangnya berujar kepada ‘ayah’ ia baru saja memecahkannya. Keluguan pribumi tersebut semakin dipertegas pada baris keduanya, /gelas itu mirip susu ibu, berkilau seperti matamu/.
Ada satu terma yang terselip di antara baris tersebut, yang liyan, yakni Ramayana. Terma tersebut kemudian secara terang-terangan memperlihatkan warisan dari kolonialisme. Ruang identitas kolonial yang ada saat ini. Pusat perbelanjaan yang begitu besar, serba ada. Produk komoditi kapitalisme yang mengekslusikan produk komoditi pribumi seperti yang telah diperlihatkan terlebih dahulu pada bait pertama, /seperti harga tomat orang Alahanpanjang, mengepak/ naik-turun.../.
Sikap pribumi yang lugu, yang tidak tahu apa-apa namun terjebak dalam ruang yang serba “wah” dan gemerlap yang dikemas sedemikian rupa, terutama dalam bentuk komoditi ekonomi. Pribumi-pribumi yang sadar bahwa ia telah dikendalikan oleh komoditi-komoditi tersebut, namun juga tidak bisa melakukan penolakan apa pun. Pribumi-pribumi yang telah terhegemoni di negeri sendiri, yang pasrah, yang digambarkan pada baris berikut pada puisi tersebut, /Aku menangis ingin naik odong-odong di Fort de Kock,/ ibu memukulku dengan tangkai sapu sampai tersudu/.
Akhirnya, pribumi-pribumi tersebut pun kembali menjadi budak dan penonton di negerinya sendiri, /Jagung manis dipanggang orang di bawah Jam Gadang,/ Ayah. Gadis Pandai Sikek menjual kacang remang di/ Lubang Jepang.../ Penggambaran akan pribumi yang lugu, kanak-kanak, yang tidak tahu akan apa-apa sebenarnya sudah digambarkan dari awal pada puisi ini pada anak judulnya: untuk Faiz kecil.
Metafora ruang seperti itu memang jelas dalam puisi Deddy. Negosiasi identitas berlangsung, pribumi yang dulunya terjajah pada kenyataannya pada “kekinian” masih juga terjajah. Kekinian yang seharusnya telah memperlihatkan pribumi sebagai tuan rumah, pada kenyataannya tetap sebagai pelancong di negerinya sendiri. Jika, memang, pribumi sebagai “tuan rumah” maka negosiasi-negosiasi identitas tersebut tidak akan pernah ada atau seharusnya tidak ada. Fenomena kekinian terhadap negosiasi identitas ruang pasca kolonialisme ini tidak hanya terdapat pada puisi ini (Odong-odong Fort de Kock), namun hampir selalu ditemukan di tiap puisi Deddy yang menggunakan judul kota, seperti Padang, Simabur, Painan, Salido, Pariaman, Bengkulu, Nias, Silungkang, Binjai, Maninjau, Kambang, Sibolga, Pekanbaru, dan lain-lain. Membuncahnya nama-nama kota dalam puisi-puisi Deddy Arsya ini seakan membentuk jalinan teks yang bermuara pada satu titik; kita menjadi pelancong yang bodoh di negeri sendiri, kita menjadi Tanbaro yang memakai kacamata hitam di atas mobil cigakbaruak.
Kita simak saja, misalnya, penggalan bait pertama puisi Sekolah Beruk di Pariaman[7] ini:
Beruk betina pekak itu menggigit puting susumu ketika kau belajar memanjat di halaman rumah Sidi pegawai lampu PLN. Aku membenamkan kepalanya ke dalam kulah rawa kesumat dendam. Betapa cemburu jatuh seperti gedebum kelapa jatuh.
Tanbaro (ingin) jadi Orang Darat
Setiap penyair mempunyai strategi citraan tersendiri untuk bangunan puisinya. Walaupun terkadang strategi citraan tersebut cenderung mengarah pada satu kecenderungan.[8] Kecenderungan tersebutlah kemudian membentuk kanonisasi terhadap karya sastra pada zamannya. Pada perkembangan sastra di Indonesia mutakhir ini, terutama pada puisi, bentuk dan pengaruh Afrizal Malna yang populer disebut dengan afrizalian tidak dapat dielakkan. Subjek-subjek yang mati kembali menjadi hidup. Kata dan metafora menjadi makna yang liar dan tidak terkontrol, bahkan berdiri sendiri terlepas dari beban sintaksis yang mengikatnya.[9] Sehingga, tuduhan pada setiap penyair yang lahir mutakhir ini sebagai afrizalian tidak dapat dielakkan. Pada Deddy Arsya pun begitu, bayang-bayang afrizalian dari karya-karyanya secara sepintas lalu membacanya, akan mengarahkan kita pada pikiran dan tuduhan serupa. Namun, tentu ini hanya semacam tuduhan tanpa melakukan pembacaan dan pengkajian yang dalam terhadap karya-karyanya.
Salah satu strategi Deddy Arsya (atau penerbitnya) yang menguntungkan buat puisi-puisinya sendiri dengan meminta langsung Afrizal Malna sebagai pemberi catatan akhir dari Odong-odong Fort de Kock ini. Afrizal dengan jelas mengatakan bahwa Deddy Arsya berbeda jauh dengan dirinya, walau pun pada awalnya Afrizal juga menduga bahwa Deddy akan (me)sama(i) dirinya. Namun ternyata geopuisi yang dibangun Deddy Arsya bergerak ke arah yang lain. Setidak-tidaknya perbedaan itu terasa ketika dirinya (Afrizal) hanya hidup dari kota ke kota, tidak menyentuh yang lain, namun Deddy bergerak dengan geopuisi yang khas dari lingkungan pesisir dan daratan, dari lingkungan perkebunan dan pasar di kota.[10]
Deddy dalam puisi-puisinya selalu bergerak dan berangkat dari dunia puitik daratan (yang sejajar dengan perkebunan) menuju dunia puitik pesisir (yang sejajar dengan pasar/kota). Daratan direpresentasikan sebagai suatu yang elite dan mewah, seperti pada puisi-puisinya selalu ditemukan diksi untuk merepresentasikannya dengan sutra, tenun, seledri, lobak, giwang, benang emas, itik serati,dan lain-lain. Sedangkan pesisir selalu ditempatkan sebagai suatu yang rendah, murah, bahkan hina seperti diksi-diksi yang merepresentasikannya dengan kain kasar, beludru, belacu, ikan kerapu, garam, dan lain-lain. Hal semacam itu, salah satunya dapat ditemukan pada puisi Perdebatan tentang Belacu[11] berikut ini:
Kau sebut dia marekan
Kain kasar dari pesisiran
Belacu kadang dia ucapkan
Aku kata biarkan
Dia sutra dari daratan
Daratan jelas ditempatkan sebagai yang tinggi, sebagai segala sesuatuu yang berasal dari sana, apapun, sekalipun itu buruk, mesti ditempatkan sebagai sesuatuu yang berharga daripada pesisir. Lingkungan geopuisi yang dibangun Deddy Arsya dalam puisi-puisinya ini tidak terlepas dari doktrin konsep “alam” Minangkabau; darek (darat) dan pasisia (pesisir). Alam bagi manusia Minangkabau tidak hanya sebagai tempat lahir, hidup, dan berkembang, namun alam juga sebagai sang logos, segala sesuatunya dipersembahkan untuk alam. Alam sebagai ibu.[12]
Darek sebagai daerah inti atau daerah asal manusia Minangkabau, sedangkan pasisia merupakan daerah perkembangan dari darek itu sendiri. Manusia Minangkabau, di manapun berada pasti turun atau berasal dari darek. Karena menjadi daerah inti atau daerah asal, maka darek pun menempatkan diri sebagai elite adat dan budaya. Mempunyai adat dan tata krama yang lebih halus, sedangkan pasisia sebagai daerah perkembangan dari darek mempunyai adat dan tata krama yang lebih kasar. Pasisia sebagai orang pasar, karena notabene bandar-bandar perdagangan Minangkabau berjejeran di daerah pantai barat Sumatera ini, sebut saja Barus, Aia Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar X, dll. Tentu saja, karena daerah bandar, yang bersentuhan dengan perdagangan membuatnya juga banyak bersentuhan dengan berbagai bangsa dan budaya, yang menjadikan daerah-daerah bandar ini lebih heterogen. Sedangkan darek tetap terjaga kemurnian ke-minangkabau-annya, seperti yang terlihat pada puisi Orang Darat[13] berikut ini:
aku orang darat, dan akan selamanya begitu
--mungkin orang bukit yang lelah mendaki
perempuanku berbau gardamunggu, dan tak lain
--getah peramu, hijau lumut di mejan lama,
wangi tawas, lendir kakao, juga masam daging pala
tentang perompak yang mati di lipat ombak
sisa tujah hiu-hiu di hilir rusukmu, atau apalah itu
padamu kukata: di bilik lain akan kutikam ombak
Darek dan pasisia keduanya sekaligus hidup dalam larik-larik puisi Deddy. Deddy tidak mengekslusikan satu dengan yang lainnya, walaupun sebagai “aku” penyair menyadari sepenuhnya dan tunduk akan konseptual darek yang tinggi dan pasisia yang rendah, darek yang elite dan pasisia yang pasar. Sehingga dinamika bersilangan dalam konseptual “alam” tersebut tetap hidup, bersilang kayu di tungku, api makanya hidup. Deddy tampaknya menyadari sepenuhnya hal tersebut, sehingga hal tersebut dijadikannya strategi untuk membangun citraan dalam puisi-puisinya. Dinamika bersilangan yang menjadikan hidup manusia Minangkabau selalu menarik dan penuh persaingan, namun di lain sisi menjadikannya unik.[14]
“Aku” lirik pada puisi-puisi Deddy Arsya selalu ingin menjadi seorang darek, walaupun sadar sepenuhnya “aku” lirik ini bukanlah seorang darek, namun berasal dari pasisia. Bukan berarti, “aku” lirik tidak menerima keberadaannya sebagai seorang pasisia. Karena, pada akhirnya—selalu ditemukan di tiap puisi Deddy ini—pasisia menjadi semacam jalan keluar (bukan pelarian) terhadap “aku” lirik yang gagal dalam menemukan dirinya, pada puisi Odong-odong Fort de Kock dan Ikan Padang terlihat pola semacam itu. Simak saja pada bait terakhir dari puisi Odong-odong Fort de Kock berikut ini:
Lilitkan sarung ke leherku, Ayah, orang darat tak tahan
angin dingin, syal di Pasar Bawah lebih mahal dari sedal
sepeda roda tiga. Bawa aku ke Padang saja, aku ingin sup
sirip hiu, dan rendang cumi. Kepala ikan kerapu
barangkali lebih murah dari itik serati orang Koto
Gadang.
Larik /orang darat tak tahan/ angin dingin,/ jelas mempertegas bahwa identitas darek yang ada pada dirinya hanyalah sebatas merek atau tempelan, “aku” lirik pada puisi ini tidaklah orang darek sesungguhnya. Jika memang “aku” lirik sebagai orang darek, maka ia tidak akan membutuhkan /syal di Pasar Bawah lebih mahal.../ “aku” lirik tetaplah sebagai seorang pesisir, walaupun ia menggunakan identitas darek. Terlihat di sini ada semacam upaya negosiasi identitas ruang seperti yang telah disinggung sebelumnya. Puisi ini menegaskan bahwa, walaupun dalam satu payung kultural yang sama (Minangkabau), namun ternyata tidak mempunyai identitas yang sama. Bahkan identitas sebagai Minangkabau itu sendiri sampai sekarang masih dalam tataran negosiasi, bukanlah sebuah bangunan diri (manusia) Minangkabau yang selesai.
Tanbaro jadi Tukang Sorak
“Semakin kita memaki-maki negeri ini, semakin kita mencintainya!”[15]
Di sini, saya tidak bermaksud hendak menyandingkan atau membanding-bandingkan salah satu dialog dari naskah drama Wisran Hadi di atas dengan puisi-puisi Deddy Arsya. Namun, saya hanya ingin melihat sikap, bagaimana sikap untuk menyampaikan kerinduan dan kecintaan pada negeri ini (Minangkabau) yang dimiliki Deddy Arsya bisa diungkapkan dengan sepenggal dialog di atas.
Ada sebuah tradisi—tanpa konvensi—yang terbentuk semenjak lahirnya sastra Indonesia modern hingga saat ini, terutama pada para penyair yang berasal dari kultur Minangkabau. Dari tiap-tiap penyair tersebut, (pasti) mereka tidak akan ketinggalan untuk membangun puisi yang bertemakan kerinduan akan kampung halaman, di mulai dari M. Yamin hingga yang paling anyar terbitnya buku puisi Api dari Bawah Tanah milik Raudal Tanjung Banua. Puisi-puisi kerinduan akan kampung halaman tersebut dapat dimaklumi lahirnya karena tradisi merantau dari kultur Minangkabau itu sendiri.
Tak pelak lagi, tentu saja karena ini sebuah kerinduan pada umumnya selalu menyampaikan kesedihan akan jarak, nelangsa tentang kampung halaman yang tidak bisa dijangkau. Dan, atau diksi “ibu” sebagai korban metafora untuk penyampaiannya. “Ibu” seolah-olah dapat mewakili segala kerinduan tersebut, “ibu” tempat untuk menumpahkan segala kesedihan akan jarak, romantisme dari kerinduan itu sendiri. Hal tersebut menjadi wajar mengingat akan—seperti yang telah disinggung—manusia Minangkabau merepresentasikan alamnya sebagai “ibu”. Pola tersebut pada umumnya dapat ditemukan pada tiap puisi-puisi yang bertemakan kerinduan dari penyair-penyair berlatar kultur Minaangkabau.
Pada kecenderungan tema ini, dapat dikatakan, ada dua kelompok penyair yang mengangkatnya walaupun dengan gaya kepenyairannya masing-masing. Penyair kultur Minangkabau yang benar-benar merantau, semisal M. Yamin, Asrul Sani, Chairil Anwar, atau yang teranyar Indrian Koto dan Raudal Tanjung Banua. Kelompok lainnya, penyair yang bicara kerinduan akan kampung halaman, seolah jarak yang begitu jauh, namun sebenarnya mereka tidak benar-benar merantau. Jika pun merantau, rantau mereka hanya rantau sebalik dapur atau penyair yang (masih) hidup dan bernafas di daerah kultur Minangkabau itu sendiri, semisal Gus tf, Iyut Fitra, Zelfeni Wimra, atau yang paling anyar Esha Tegar Putra.[16]
Sebenarnya, secara geo-kepenyairan, Deddy Arsya dapat ditempatkan pada kelompok yang kedua ini. Deddy Arsya, tumbuh dan besar di Padang, secara kepenyairan pun ia lahir dan berkembang di Padang, masih dalam ranah kultural ke-minangkabau-an. Namun, secara geopuisi, tidak akan ditemukan puisi-puisi Deddy Arsya ini yang meratap untuk merindukan kampung halamannya. Bukan berarti kerinduan itu tidak ada, namun Deddy punya cara lain, cara yang berbeda dari penyair-penyair lainnya. Simak saja pada puisi Kepulangan Malin Sampono[17], kepulangan digambarkan sebagai suatu yang hiruk-pikuk, sesuatu yang jumawah dengan dada terkembang, /Jadi sekali pulang juga dia/ bersikeras berkata aku telah mengembara/ dilagakkannya kain-kain segala warna/. Deddy melihat hal lain dari sebuah kepulangan, sebuah fenomena lain dari perantau yang merindui kampung halamannya. Kepulangan yang selalu bermerek kerinduan tersebut pada kenyataannya telah berubah menjadi seorang perantau yang melancong ke kampung halamannya, perantau tidak ubahnya sebagai turis, pelancong. Puisi ini malah menyindir dengan gaya satirnya yang khas, /: apalah yang diceritakannya/ dari pengembaraan yang di sini-sini juga?/
Puisi ini memaki akan kepulangan yang selalu disalah-arahkan. Deddy mempunyai cara lain, memaki bagaikan orang “pesisir”. Sebagaimana halnya orang pesisir yang cenderung mempunyai kosakata kasar, namun di telinga—di dada para pembaca puisinya—itu bukanlah sebuah sarkasme. Deddy dengan lantang menyebut, /Jakarta pantek ini/ namun tidak ada yang merasa dipercarutkannya, yang terasa malah kerinduan dan kecintaan. Ini cara kami (pesisir) untuk mengungkapkan kerinduan dan rasa cinta, kata seorang kawan kepada saya.
Kearifan seperti itu dengan baik dapat dimanfaatkan Deddy Arsya dalam membangun citraan dalam puisi-puisinya. Deddy telah berhasil melepaskan kata dari beban makna, sehingga kata dibiarkannya dengan bebas mencari maknanya sendiri. Puisi lepau yang tidak melulu hanyut dalam (kesan) kata-kata puitik. Ini menandakan bahwa Deddy telah berhasil terlepas dari para pendahulunya.
Padang, 15 November 2013
Pinto Anugrah, baru saja menyelesaikan studinya di Prodi Pascasarjana Ilmu Sastra UGM Yogyakarta.
[1] Deddy Arsya tidak hanya menulis puisi, namun juga menulis prosa terutama cerpen.
[2] Lihat, Zulqayyim, Boekittinggi Tempo Doeloe, (Padang: 2006)
[3] Bukittinggi saat ini lebih dikenal sebagai kota wisata dengan ikon Jam Gadang dan menjadi pusat perdagangan di pedalaman Sumatera Barat. Sedangkan, Batusangkar, lebih dikenal sebagai kota budaya.
[4] Selain Bukittinggi dan Batusangkar, sebenarnya ada tiga kota kolonial di Minangkabau. Satu lagi, yakni Lunto Kloof atau Sawahlunto, kota yang dibangun Belanda karena ada tambang batubara di sana.
[5] Lihat, Zulqayyim, Boekittinggi Tempo Doeloe, (Padang: 2006)
[6] Lihat, Deddy Arsya, Odong-odong Fort de Kock, (Padang: 2013), hlm. 42.
[7] Lihat, ibid., hlm. 35.
[8] H.B Jassin dalam hal ini menyebut dan mengelompokkannya ke dalam periode-periode atau angkatan, misalnya angkatan Pujangga Baru, angkatan 45, dan lain-lain.
[9] Ini merupakan ciri dari postmodernitas yang zamannya tengah berlangsung, begitu juga dalam karya sastra Indonesia mutakhir ini. Lihat, Andy Fuller, (Yogyakarta: 2011).
[10] Lihat, Afrizal Malna, Puisi dan Kekinian yang Terus Berlalu, lihat dalam, Deddy Arsya, Odong-odong Fort de Kock, (Padang: 2013), hlm. 79 – 91.
[11] Lihat, Deddy Arsya, Odong-odong Fort de Kock, (Padang: 2013), hlm. 4.
[12] Lihat, Pinto Anugrah, Dekonstruksi Eidos dalam Naskah Drama Dara Jingga Karya Wisran Hadi, Tesis, (Yogyakarta:2013).
[13] Lihat, Deddy Arsya, Odong-odong Fort de Kock, (Padang: 2013), hlm. 32.
[14] Lihat, A.A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, (Jakarta: 1986), hlm. 60.
[15] Lihat, Wisran Hadi, Empat Sandiwara Orang Melayu, (Bandung: 2000), hlm. 99.
[16] Pada kelompok ini, untuk menyatakan akan kerinduan akan kampung halaman tersebut, populer didengungkan dengan istilah “merantau dalam diri”. Saya kurang begitu tahu, kapan dan dari siapa istilah ini dicetuskan, namun dugaan saya, istilah ini lahir dari Gus tf, penyair yang hidup dan bernafas tetap di kampung halamannya, di Payakumbuh.
[17] Lihat, Deddy Arsya, Odong-odong Fort de Kock, (Padang: 2013), hlm. 10.



Comments
Post a Comment