Sunting Nias

Cucunya yang paling tua menulis budak Malaka,
angin samun, dan lanun-lanun dari pulau di atas Bangka.
Tapi tentang mereka aku hanya mendengar:
Setelah gerbong berbaris-baris di ini punggung, dan
denyut jantung diganti gemeretak roda lokomotif,
kami jemput istri ke Emmahaven naik kapal besi maskapai.

Lalu dikorbankannya kerbau, ditebang pinang & direnggut-renggutnya akar sirih. Diberinya makan orang senegeri. Ditegakkannya batas tanah yang luas itu, hutan gambut dekat bandara, yang dilintasi rel kereta yang dibikin kaumnya. Di atas kepala mereka itu di kemudian masa pesawat-pesawat menerbangkan kopra dan turis-turis Eropa.

Adakah kau ingat, cucu yang ke sekian dari pohon riwayat,
ditulisnya nama semua mereka di plakat
dengan cap jempol dan tandatangan (mungkin) Arab.
Huruf Latin hanya dipakai untuk kepala surat:

SLURUHNJA JANG DIPEKSA BWAT INI KOTA

Dan dibubuhinya stempel merah di sisi kanan paling bawah,
itu, yang dipesan dari seorang Turki di Pasar Gadang.

Lalu mereka pakai sunting orang Padang,
mereka dendangkan indang dan selawat dulang,
balanse madame, oh, balanse madame!
Serupa gulai pucuk ubi mendidih dalam kuali,
melanggak-lenggok mereka dengan ganih biru lautan,
sampai pagi.
Mereka kunyah-kunyah sadah pengganti candu.
Orang yang sesekali datang dari pulau hanya bisa berkata

Oh, Ama, Ama, jalan dialih orang yang pergi!

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini