Sejarah ala Sutan Rajo Endah
Dulu orang-orang Minangkabau ‘berlomba-lomba’ menjadi Indonesia. Ketika tahun 1932, pelajaran bahasa Minang hendak dimasukkan Belanda sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah, banyak kaum bumiputra protes. Buku-buku tata bahasa Minang yang pernah ditulis, semisal ‘Pandai Bahaso Minang’, dicemooh, diplesetkan sebagai ‘Pandia Bahaso Minang’.
Ini tidak hanya kecendrungan Minangkabau semata. Pada waktu yang bersamaan di Kutaraja, sebuah kota besar di Aceh, rakyat mengadakan pawai akbar memprotes keputusan pemerintah Belanda untuk menggunakan bahasa Aceh di sekolah-sekolah pribumi setempat. Hal yang juga terjadi di Surakarta di Jawa.
Di Minangkabau, implikasi protes itu adalah hanya sekolah-sekolah negeri yang akhirnya mengajarkan bahasa Minang. Sementara sekolah-sekolah swasta menolaknya habis-habisan.
Jelas, untuk konteks zaman itu, penolakan tersebut adalah hal yang wajar. Sebab gerakan nasional sedang hendak ingin mempopulerkan Bahasa Indonesia yang telah dicetuskan pada Sumpah Pemuda tahun 1928 sebagai bahasa persatuan, bahasa trans-lokal. Penonjolan bahasa lokal semacam bahasa Minang oleh Belanda disinyalir hendak menandingi wacana ini: mengembalikan persatuan nasional yang telah mulai dibentuk kembali kepada cheuvinitas lokal.
Tetapi, ketika Indonesia yang dicita-citakan itu berhasil lepas dari kungkungan penjajah, dan telah merdeka lebih setengah abad, orang-orang Minangkabau mulai cemas sebab ternyata bahasa asli mereka perlahan-lahan tergerus arus zaman. Banyak kata-kata yang dulu menjadi mainan di bibir nenek-nenek mereka lenyap dari perbendaharaan di mulut orang-orang Minangkabau masa kini. Kata arkais tumbuh subur di kebun bahasa Minang hari ini. Banyak kata perlahan-lahan menjadi asing karena tidak disebut-sebut lidah lagi. Orang Minang, konon, telah mengucapkan bahasa yang bukan lagi bahasa ibunya. Jika terus begini, bahasa Minang akan lenyap sebagaimana telah lenyapnya bahasa-bahasa lain yang dulu pernah ada dalam sejarah.
***
Muchtar Yazra St. Rajo Endah menulis buku berjudul Bubua Kampiun, yang diterbitkan Penerbit Citra Harta Prima tahun 2013.
Buku ini berangkat dari kekhawatiran serupa itu. Penulisnya sendiri mengatakan dia cemas pada perkembangan terakhir bahasa Minang. Bahasa daerah ini telah dikalahkan perlahan-lahan, dicap kolot. Representasi kolot atas pengucap bahasa daerah dimainkan radio dan televisi. Pengucap bahasa daerah adalah ‘orang-orang kampungan’ yang terbelakang. Di tengah sedikitnya buku berbahasa Minang, buku ini jelas penting.
Tentu, gejala penguatan bahasa Minang lewat penerbitan buku ini adalah juga hal yang wajar belaka dalam sejarah. Apalagi, jika konsepsi mainstream kita pakai, kebudayaan Indonesia itu adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Nah, untuk itu, perkembangan kebudayaan Indonesia bukan malah melenyapkan atau mengalahkan budaya daerah. Namun, ketika gejala ke arah yang sebaliknyalah yang mulai nampak, tentu adalah hal yang lumrah daerah merespon dengan cara penguatan kembali nilai-nilai lokalnya, termasuk bahasa.
‘Bubua kampiun’ sendiri adalah sejenis penganan yang di dalamnya berpadu banyak hal. Hasril Chaniago dalam pengantar buku ini menyebutnya “pesan satu dapat banyak”. Ada bubur putih, bubur kacang padi, tangguli, ketan, emping, dadih, lopis, bahkan ondeonde dalam satu porsi bubur kampiun. Begitu pula buku ini—pilihan yang tepat memberinya judul yang sama—terdiri dari beragam konten, mulai dari sejarah, curaian adat, nilai-nilai moral dan budaya, soal sosial-politik orang Minang, pengetahuan tentang alam, dan lain sebagainya.
Amir M. S., yang juga mengantar buku ini menyebut buku ini sebagai “buku sejarah yang unik”. Maksud unik barangkali karena sejarah ditulis berbahasa Minang, dengan gaya pantun, bersajak, menggunakan metafor Minang yang kaya pula. Ini bisa tidak unik juga sebenarnya, karena sejarah-sejarah lama seperti tambo, babad, hikayat, juga ditulis dengan gaya yang sama. Namun pendapat itu dapat terselamatkan ketika kita melihat bahwa buku ini ditulis di zaman sekarang, di mana bahasa sejarah telah menggunakan retorika akademis, yang mana gaya-gaya pantun dalam penulis sejarah itu telah ditinggalkan, dianggap lagi hanya semata fiksi. Nilai terunik buku ini juga adalah karena penulis berhasil memadukan gaya lama dan gaya baru itu tadi. Sejarah Minang, misalnya, ditulis dengan gaya pantun, namun juga dilengkapi dengan catatan-catatan kaki, ditambah dengan daftar bacaan dan wawancara pada bagian akhir buku ini.
Konten sejarah dalam buku ini memang mendominasi. Narasi sejarah tentang Perang Padri, Plakat Panjang, kehidupan orang Minangkabau zaman Jepang, perang kemerdekaan dengan Belanda, peristiwa PRRI di mana orang Minang tersungkur kalah dan terhinakan di mana-mana, Soeharto dengan Orde Barunya yang mengganti nagari menjadi desa, dari Habibi hingga SBY sekarang ini.
Fadlillah, yang ikut juga memberi pengantar, menyebut buku ini sebagai ‘esai’: “esai sastra dan budaya Minang”, demikian tulis Fadlillah. Esai yang berisi pokok-pokok atau inti-inti pikiran seorang tua Minangkabau yang telah memakan asam-garam kehidupan.
Apa pun akan dinamakan buku ini, yang jelas, kalau tidak membaca buku ini, sebagaimana tertulis di halaman depan, “tuan rugi panulih badoso!”
Selamat membaca!
Padang, 2014-03-22



Comments
Post a Comment