Sajak-sajak dari Lesat Bis
(catatan atas buku Manusia Utama karya Y. Thendra BP)
Oleh Deddy Arsya
(1)
Saya tinggalkan tempat saya yang di sana menuju saya yang di sini. Setiap orang seperti penumpang kereta yang meninggalkan apa yang ada di belakangnya: orang-orang yang menaiki keretanya sendiri. Setiap orang hanya penumpang.“Aku hanya penumpang,” tulis sebuah sajak. Saya adalah yang terus dibawa lesat. Ingatanlah yang ‘mengembalikan’ saya. Ingatan akan sesuatu ‘yang di sana’, sementara saya (si aku lirik) sekarang adalah ‘di sini’, di sini yang juga terus berjalan. Di sini yang usianya sebentar saja untuk menjadi yang di sana. Bukan hadir di sini yang pelik, tapi mengulang/mengembalikan apa yang di sana, yang kata seorang filsuf sejarah “berlalu hanya 5 menit yang lewat” itulah yang rumit.
Ingatan mengembalikan saya, membuat saya kadang-kadang tak pernah benar-benar merasa pergi. Saya, penumpang yang tak sepenuhnya pergi itu selalu akan melihat-lihat lambaian yang melepas saya di belakang. Antara penumpang dan lambaian ada jarak yang disatukan oleh ingatan. Sang aku, misalnya dalam sajak “Meninggalkan Pulau Penyengat” , memang telah tinggalkan pulau penyengat itu, tapi ia masih juga ‘teringat’ meriam peranggi di selat malaka yang mengusir bahasa melayu. ‘Yang di sana’ itu masih diingat-ingat ketika saya (aku lirik) telah ‘di sini’. Maka masa lampau itulah pula yang mendera kaca jendela kereta yang membawa saya pergi? Menggedor-gedor setiap perjalanan yang dilakukan aku lirik ‘di sini’? Lambaian itu adalah masa lalu yang hadir di kekinian.
Tapi masa lalu yang mana dan masa lalu siapa? Masa lalu aku yang sendirian atau ingatan yang dibangun dari suara gaduh orang ramai?
Ingatan aku yang sendirian seringkali menggetarkan secara subjektif, menggedor pintu tangis seseorang dengan berbagai cara, daripada (mungkin) ingatan orang ramai. Seperti dalam sajak ini: lalu ia menunjuk stasiun tua yang mati itu,/keberangkatan/dan kepulangan yang tak lagi ada, dan sadar/kami pernah lugu/berciuman di sudut sekolah itu (“Lunto Kloof, Cinta Pertama yang Gagal Kuselamatkan”). Dalam sajak itu, sang aku barangkali tidak tergetar lagi pada ingatan tentang ‘stasiun tua’ yang baginya telah ‘mati’. Stasiun tua yang bisa jadi berarti sejarah yang dibangun dari ingatan kolektif, semua orang memiliki memori akannya. Tapi sang aku kini tergetar pada memori individualnya sendiri, tentang ‘berciuman di sudut sekolah’, yang hanya dia sendiri yang merasakannya, yang bukan memori yang milik bersama. Bagaimana kalau sejarah kita bukanlah sejarah kita sendiri? Tetapi sejarah aku adalah sejarah masyarakat? Dari “Lunto Kloof ...” lagi, sejarah si aku bukanlah sejarah lubang tambang atau cerobong asap, orang rantai atau lembah lunto, yang telah menjadi sejarah orang ramai itu. Tetapi sejarah aku lirik adalah sejarah cinta yang gagal dan tak terpertahankan dengan kekasih. Sejarah yang subjektif, tetapi menggetarkan—secara subjektif pula. Bagi aku lirik, tetapi bisa jadi tidak bagi saya yang di luar teks.
Pertarungan antara ingatan orang ramai dan ingatan aku yang sendirian itu juga terjadi di beberapa sajak. Atau barangkali memang bukan pertarungan tepatnya, tetapi kedua-duanya hadir bersama-sama, seperti bersepakat. Ketika saya (aku lirik) berbicara tentang memori orang ramai lalu memori pribadi saya yang sendirian meloncat pula ke tengah-tengah pembicaraan itu. Sajak “Ngai Oi Ngi” misalnya, aku lirik menyusun ingatan yang panjang. Ingatan itu berupa ... lubang-lubang tambang yang ditinggalkan, benteng pongkap, bangunan-bangunan tua, atau masa gemilang timah. Seperti sajak “Lunto Kloof...”, semua itu toh ingatan orang ramai tentang Belinyu. Nah, di tengah ingatan orang ramai itulah ingatan aku yang individual juga berloncatan ke tengah medan, ikut berkucatak bersama ingatan orang ramai. Ingatan aku itu adalah ingatan tentang: aku menggenggam tanganmu lebih dalam, atau angin mengembalikan tangan kita jadi milik masing-masing.Ingatan orang ramai tentang Belinyu berjumpalitan dengan ingatan individual aku lirik di waktu dan tempat yang sama. Tak ada yang kalah atau dikalahkan, keduanya seperti bersepakat untuk akrab, hadir bersama-sama dalam sajak.
Tapi di tempat lain, memori individual ternyata juga rentan dijajah dan tak selamanya utuh-kukuh sebagai milik aku. Cinta telah gagal percaya/pada dirinya sendiri/orang-orang menyusun malam/dari film hongkong/dan hollywood (“Braga”). Memori individual itu rentan dirampas oleh memori orang ramai yang lain. Sang aku mencoba mempertahankan memorinya dari penjajahan memori lain yang didesakkan kepadanya, bisa jadi oleh tangan-tangan kekuasaan misalnya, atau oleh hegemoni ideologi lain. Dalam konteks sajak ini, memori itu disusun dari film hongkong dan hollywood.
(2)
Ingatan-ingatan individual si aku dalam beberapa sajak disusun, disulam, dari atas kereta, dari lesat bis. Dari atas itu, aku lirik adalah subjek. Aku lirik bukanlah yang diamati, tetapi yang mengambil jarak dari yang diamatinya. Yang diamatinya itu adalah yang akan ditinggalkannya, yang akan menjadi kenangan, yang tidak akan dibawanya kecuali sebagai kenangan. Beberapa sajak menghadirkan lanskap yang tampak oleh pandangan sang aku. Sang aku yang berada di atas bis (atau di atas kereta) melihat lanskap yang ada di luarnya sebagai ‘yang lain’. Sang aku tidak ada di sana atau di antara di sana, ia ada di sini, ia hanya mengamati yang di sana, ia hanya melintasi yang di sana, yang akan ditinggalkannya itu: pohon-pohon hitam/rumah-rumah hitam/.../seorang pengemis tua merangkak/menjulurkan tangannya/di hutan kaki yang diam/dan bergerak (“Melintasi Negeri Malam”) ; tapak kuda arwah/bergemuruh/di jalan yang berlubang ini//batu berangin-angin/daun menggasing... (“Kuda Arwah di Jalan Lintas Sumatera”)
Sajak-sajak yang aku lirik-nya bergerak dari perjalanan dari kota yang satu ke kota berikutnya sesungguhnya adalah sajak yang mengandalkan ingatan juga. Ingatan-ingatan dari seorang penumpang dari perjalanan ke depan. Di sinilah letak kontradiksinya: Kereta berjalan maju, sementara penumpangnya ‘berjalan’ mundur! Penumpang yang tak nyaman melihat ke depan, tapi tak juga nyaman berada di kursi hari ini-nya. Kami penumpang remang dan sesak/ terguncang dalam kereta rongsokan (“Melintasi Negeri Malam”) Suara mesin dalam kepala/getar dada melintasi negeri malam/cahyamukah mendera kaca jendela kereta (“Nokturnal”). Segala ketidak-nyaman itu membuat si aku melirik ke belakang, ke dalam ingatan lagi. akhirnya semua pergi/menyisakan masa lampau yang hanya bisa dijangkau /lewat memori. Memori itu menyusup lewat jendela bis/ yang tak terkunci/menegur aku (“Bangkinang”). Sementara aku terus melangkah/pada bengkolan ketujuh/.../kau makin tertinggal jauh. ‘Kau’ memang telah tertinggal jauh, tetapi ketika bengkolan ketujuh ‘kau’ masih disebut-sebut ingatan, tidakkah berarti ‘kau’ tidak pernah jauh dari ‘aku’?
Secara sederhana saya katakan, inilah corak umum sajak-sajak urban, yang mempertanyakan pulang secemas mempertanyakan pergi: aku yang bergegas/ke mana mesti pulang? Atau dengan mata berkaca-kaca memproklamirkan ‘aku manusia pergi’, tapi sekaligus enggan untuk benar-benar tak kembali: aku lirik yang pergi tetap menyimpan banyak lambaian/menahan geram kenangan. Maka pergikah ia sebenarnya? Toh aku lirik tidak bisa tidak menoleh juga pada belakang, atau misalnya, masih mengambil contoh juga pada pantun lama untuk mengambarkan kediriannya hari ini:
seekor bangau melintas di langit petang
melintas menuju sarang
aku yang bergegas
ke mana mesti pulang?
aku manusia pergi
menyimpan banyak lambaian
menahan ragam kenangan
(“Manusia Pergi”)
Sang aku yang juga mengakui bahwa ‘semua akan berlalu’, tapi di waktu yang sama menegasikan bahwa tidak semua akan berlalu, ada yang tersisa: kenangan, yang bisa jadi ‘ciuman di keningmu’ atau ‘gairah mata cinta pertama’. Sekalipun bis terus laju, tapi sang aku masih saja, menoleh pada tanah kelahiran itu. Seorang aku lirik yang singgah, atau menjadi bagian dari satu kota, tetapi tetaplah orang baru yang meraba-raba arah. Seperti dalam sajak “Di Kota Wiji Thukul”, akan selalu ada dalam diri sang aku: ragu tumbuh di setiap bertemu simpang atau jalan baru.
Beberapa sajak lain membawa saya ke Bangkinang, Lempuyangan, Braga, Lintas Sumatera, Jakarta, dan beberapa lanskap lain dalam perjalanan sang aku lirik. Aku lirik ‘yang tak turun’, yang tidak ikut meniup terompet, tak menyalakan kembang api, tapi hanya ‘menyaksikan orang-orang’ (“Suatu Senja Sebelum Satu Januari”). Aku lirik yang tetaplah ‘bukan orang sini’, tetapi orang sana yang datang untuk sekedar singgah. Aku lirik yang hampir-hampir tak berminat untuk menjadi aku adalah kalian, tetapi lebih sering sebagai aku datangi kalian.
(3)
Pada sajak “Manusia Utama”, sang aku telah turun bis. Pada sajak ini, aku lirik bukan ‘pengamat’ dari atas bis lagi, bukan si pengenang melankolik yang melulu teringat-ingat lambaian di belakang. Saya telah turun, saya hadapi yang di sini dengan gagah-berani, saya kenakan pakaian mereka yang di sini sekarang, saya kenakan jantung mereka, bahkan saya pakai bahasa mereka. Saya adalah di sini yang tidak lagi melesat, tapi berdiam, terlibat, menjadi bagian, bukan yang sebentar-sebentar hendak pergi meninggalkan. Barangkali, bagi saya, tak ada sajak lain dalam kumpulan ini yang paling menggetarkan daripada sajak ini. Sekali pun saya tidak sepenuhnya memahami baris per baris karena perbedaan geopuisi saya dengan geopuisi sajak itu.
Padang 2011-09-16



Comments
Post a Comment