Sajak Kota Tambang
"tak pernah aku merasa dawat mataku tumpah seperti ini untuk mencatatmu. puisi ini puisi yang menangis. aku tak bisa
menangkapmu lebih jauh lagi. aku kehilanganmu, dan kota
tambang ini terlihat lebih menyakitkan dari atas sini."
"aku telah membunyikan tambur di pagi buta dengan penuh
suka cita untuk mengusir kesepian hujan yang mengirisku di
bawah sana. berhentilah bersekolah sehari atau dua hari ini, aku
akan mengutarakan seluruh cita-cita dan tertidur mati. kau
boleh pergi ke manapun setelah itu."
"aku memasuki lorong-lorong itu dengan kaki yang luka. aku
membawa nyanyian televisi yang membuat ginjalku tambah
buruk, seperti suara kelelawar dan bau udara terkurung itu.
sementara kau ingin mendesakkan ke kepalaku sakit yang lain."
"aku ke rumah sakit sepekan berikutnya, dan mendapati dirimu
berenang-renang dalam tabung oksigen. aku terjerat selang-
selang infus, dan menggigit kabel-kabel pengeras suara yang
memperdengarkan ceramah agama setiap pagi sehabis jam lima."
"aku telah mencongkel mataku sendiri sebagai lampu atau
sebagai sarapan pagimu. tetapi surga dan neraka hadir bersisian
dalam surat kabar yang tiba tinggihari."
"aku sering kehabisan udara untuk bernafas. lorong dalam
dirimu begitu panjang dan jauh. kita merasa lebih baik
sendirian. kita mestinya memelihara jarak itu. melupakan cinta
yang perlahan membusuk di rabu."
"aku tak lagi percaya pada impianmu yang menggebu-gebu.
juga pada mata yang bercahaya di dalam sana. kita sebaiknya
memelihara omong kosong untuk merasa bahagia. kita tak akan
lagi bergairah memandang diri masing-masing."
"tubuh kita semakin hitam. udara terasa. kota tambang itu
semakin diam. aku dari atas sini, sudah bukan suamimu lagi."
(Deddy Arsya)



Comments
Post a Comment