Rusuh

Rusuh

Oleh Deddy Arsya

Seolah-olah dunia sekeliling kita tengah berada di ambang sekarat. Manusia begitu mudah menjadi bengis, pemberang, marah. Dan nafsu merusak seakan-akan diumbar dengan gampang. Bagaimana kearifan kultural dapat digunakan untuk menangani kecendrungan merusak pada manusia ini?

Eric Form bilang, manusia punya naluri konstruktif dan destruktif sekaligus. Agama-agama samawi bilang, dalam diri manusia ada malaikat dan setan yang senantiasa bertarung berebut pengaruh. Dalam agama non-samawi, seperti Hindu, juga mengakomodir dualisme ini: terdapat dewa perusak dan dewa pencipta. Sifat merusak sebagaimana sifat membangun (mencipta), sama-sama naluriah. Tidak bisa ditolak. Untuk itulah keduanya harus mendapat tempat dan perhatian dalam kebudayaan. Dalam definisi kebudayaan, daya cipta itu sesungguhnya juga mengandung makna daya rusak sekaligus. Daya bangun tidak perlu merisaukan kita, karena senantiasa berimplikasi baik. Tetapi yang membikin was-wasa adalah daya rusak ini—dan inilah pula yang akan menjadi bahasan tulisan ini.

Dalam masyarakat kebudayaan, naluri merusak itu disalurkan dengan cara dicicil sedikit demi sedikit agar tidak menjadi gelombang pengrusakan yang berskala besar di kemudian hari. Jika kita merujuk C. A. van Paursen, manusia selalu mencoba untuk membungkus nafsu-nafsu naluriah yang destruktif itu dalam kulit kebudayaan. Bahkan, dalam beberapa masyarakat, nafsu-nafsu naluriah yang destruktif itu dibelokkan, dan hasil pembelokannya itu dibudayakan, menjadi tradisi.

Bentuk pembelokan itu, misalnya, dapat kita temukan dalam berbagai masyakarat. Disalurkan dalam bentuk mengadu kerbau dan mengadu ayam (dalam beberapa masyarakat, termasuk pernah di Minangkabau), perang suluh dan perang api (dalam masyarakat Hindu di Bali dan Mataram), perang tomat dan perang anggur (dalam masyarakat Skandinavia) dan perang bantal (dalam masyakat klasik Prancis yang sampai sekarang masih ditradisikan setiap tahun), dan lain sebagainya.
Di Minangkabau tradisional, jika pemufakatan atas sengketa tidak selesai di tingkat dewan penghulu, ‘perang batu’ antar kampung boleh dilakukan, tetapi dengan kesepakatan dilakukan sebagai tahapan untuk bisa berdamai lagi dengan segera. Ketika otoritas Raja Pagaruyung masih ada, raja yang mengawasi perang itu. Selama perang itu berlangsung ada tahapan-tahapannya, ada jeda yang panjang di antara tahapan-tahapan itu sehingga kedua belah pihak punya cukup waktu untuk saling meredakan amarah. Kalau pun nanti perang terbuka pecah, implikasinya tidak kelewat buruk karena sudah dicicil sebelumnya.
Perang antar huta di tanah Batak, pasola (perang berkuda) di tanah Sumba, maupun perang suku di beberapa masyarakat di kawasan timur Indonesia, memiliki pola-pola yang hampir mirip seperti yang diuraikan di atas. Cara-cara yang dipilih untuk membelokkan nafsu-nafsu naluriah yang destruktif ini agar sedapat mungkin tidak berimplikasi terlalu buruk.

Upaya-upaya pembelokan nafsu-nafsu naluriah yang destruktif itu kemudian menjadi budaya, menjadi tradisi yang diwariskan terus-menerus dari satu generasi ke generasi setelahnya.

Upaya pembelokan nafsu-nafsu naluriah yang destruktif dengan cara dibungkus dalam kerangka budaya itu bisa ada karena manusia dari waktu ke waktu semakin sadar sebagai makluk yang berbudaya. Setiap waktu manusia selalu melakukan evaluasi pada kebudayaannya sendiri. Jika naluri destruktif itu niscaya ada dalam diri manusia, mengapa naluri buruk itu harus berimplikasi buruk pula, mengapa tidak dibelokkan sehingga berimplikasi baik. Proses evaluasi kebudayaan itu memungkinkan evolusi kebudayaan: jika manusia primitif sudah sejak lama saling melukai dan bahkan saling membunuh karena nafsu-nafsu naluriah yang destruktif itu, maka secara evolutif, kesadaran kebudayaan untuk membuatnya bagaimana agar lebih berakibat baik. Maka naluri destruktif itu “dibelokkan”.

Namun, sekalipun tradisi merupakan kebudayaan yang telah mapan yang diwariskan, bukan sama sekali tidak boleh diperbarui atau mengalami perbaruan pada dirinya sendiri. Pewarisan kebudayaan juga berarti penyegaran kebudayaan. Ternyata, pembelokan nafsu-nafsu naluriah destruktif itu tidak selamanya berhasil untuk masyarakat kebudayaan zaman lain, misalnya. Bisa jadi, upaya pembelokan itu berhasil pada masyarakat masa lalu, tetapi tidak ada jaminan juga fungsional pada masa yang berbeda.

Perang suluh di Mataram, misalnya, yang pada dasarnya merupakan tradisi yang bertujuan untuk membelokkan nafsu-nafsu naluriah yang destruktif agar menjadi konstruktif, tetapi baru-baru ini malah berakhir menjadi bentrok yang sebenarnya—bentrok destruktif yang menelan banyak kerugian (Kompas, 24/03/2012). Mengadu ayam dan mengadu kerbau, yang juga dijadikan tradisi beberapa masyarakat dalam upaya untuk membelokkan nafsu-nafsu naluriah manusia yang destruktif, pada suatu kurun waktu bahkan berimplikasi sebaliknya, sebagai pemicu semakin bangkitnya nafsu destruktif itu sendiri, memicu perkelahian bahkan pertumpahan darah. Sementara, untuk perang suku, ternyata pada waktu tertentu semakin berlarut-larut dan nyaris sulit didamaikan padahal tujuan dasarnya adalah upaya menuju jalan damai. Upaya menjadikannya sebagai jalan pembelokan malah gagal di masa kini.
***

Nafsu-nafsu naluriah yang destruktif itu belakangan ini semakin mendapat tempat. Apalagi beban hidup semakin kuat menekan. Masyarakat berada dalam kekalutan sosial yang mewabah. Galau sosial. Banyak persoalan sosial yang menstimulasikan bangkitnya naluri destruktif itu. Apalagi, belakangan ini nyaris tidak ditemukan ‘pintu meledak’ yang lebib baik yang bisa mencicil dan membelokkan naluri destruktif itu, Akibatnya, ketika naluri ini tidak dicicil, ia menjadi terkalkulasi, endapannya terkumpul semakin tinggi.

Maka, ketika ada suatu stimulus dan kesempatan untuk meledakkannya, kerusuhan dengan gampang bisa terjadi hanya karena persoalan sepele. Di pengadilan, keluarga korban bisa dengan mudah meledak marahnya lalu menghancur-remukkan kursi dan meja, memukul hakim, dan sebagainya. Demontrasi pada umumnya juga berakhir rusuh, melempari gedung-gedung, membakar mobil, merusak apa saja yang bisa dirusak. Geng motor semakin sering bikin ulah. Pertandingan sepakbola bisa berubah menjadi perkelahian antar suporter. Naluri destruktif ini nyaris tidak bisa lagi dibelokkan dalam bungkusan kebudayaan yang lebih santun.

Apakah ini mengindikasikan telah gagalnya upaya-upaya pembelokkan dan pencicilan naluri destruktif yang selama ini ada dalam budaya kita? Jika ya, mau tak mau, harus dicarikan alternatif pembelokan dan pencicilan yang lain. Kini, masyarakat harus mencari alternatif pembelokan dan pencicilan untuk dirinya sendiri. Kalau gagal mencari alternatif pembelokan yang lebih baik, maka harus diterima, bahwa demonstrasi yang rusuh itu, misalnya, adalah salah satu bentuk dari upaya mempebelokkan dan pencicilan itu. Dan kita harus bersiap-siap, demo rusuh akhirnya dibudayakan, menjadi tradisi. Sebagai sifatnya tradisi, juga akan diwariskan kelak kepada generasi berikutnya.

Padang, April 2012

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini