Rusli dan Imajinasi Seksual

Oleh Deddy Arsya

Saya akan membicarakan puisi-puisi Rusli Marzuku Saria dari sudut pandang bagaimana ia memetaforkan bagian-bagian tubuh-seksuil; bagaimana ia menggambarkan hasrat (desire) manusia [laki-laki] akan bagian-bagian tubuh [perempuan]. Tulisan ini baru sebatas memperkenalkan satu sudut sempit yang tampak diabaikan dari luasnya bangunan kepengarangan Rusli; suatu pembicaraan di permukaan yang belum menyentuh kajian-kajian yang lebih analitik.

Banal dalam sajak-sajak Rusli tidak meluas atau menjadi semacam epidemi. Dapat dikatakan terma-terma seksualitas tersebut bukanlah kecendrungan sajak-sajaknya. Sajak-sajak Rusli sebelum tahun 1998, misalnya, tidak satupun menampilkan deskripsi seksual. Sepanjang pembacaan saya atas buku puisi Rusli, Sembilu Darah (1995), Parewa (1998), Mangkutak di Negeri Prosa Liris (2010) dan Line by Line, One by One ini, ada banyak sajak yang romantik dan melankolik bertemakan kisah cinta insan manusia laki-laki dan perempuan. Termasuk kisah cinta mitologis dalam sajak panjang “Putri Bunga Karang”. Tetapi di antara sajak-sajak itu, nyaris tak sebaitpun membahasakan hasrat seksuil akan tubuh dalam umpana yang bergelora; nyaris tidak ada penggambaran tubuh-seksuil perempuan.

Sajak-sajak kaya deskripsi tubuh-seksuil mulai hadir pada kurun 1998-2001. Sepanjang tahun itu, tidak banyak memang, terdapat sajak Rusli yang mengeklorasi gairah akan tubuh-seksuil perempuan. Apa yang dilakukan Rusli pada bagian ini nyaris tidak pernah dilakukan Rusli pada sajak-sajaknya yang lebih awal atau sebelum ini, maupun pada periode kemudiannya.

Sajak-sajak tersebut menampilkan panorama percintaan penuh gairah antara sepasang manusia yang berbeda jenis [laki-laki dan perempuan]. Kalau kita periksa bagaimana sajak-sajak tersebut memetaforakan tubuh perempuan, maka tubuh yang menggairahkan atau membangkitkan hasrat itu adaah ‘tubuh yang ramping, sintal’. Rusli memetaforakannya sebagai “elokliku tubuhmu, pinggangmu genting kerangga”. [Binatang kerangga sendiri memiliki pantat yang bulat menonjol, tetapi pinggangnya ramping sekali]. Kita periksa satu-satu bagian tubuh-seksuil itu.

Dalam menggambarkan payudara, sajak Rusli merepresentasikan hasrat seksuil kebanyakan laki-laki juga, yang mengidamkan payudara yang ‘bulat besar’ lagi ‘ranum’, tetapi dibalut dengan ‘kutang [yang] ketat’. Payudara dalam metafora Rusli disebut ‘jeruk’. “Jerukmu terbitkan air ludahku.” Di lain tempat Rusli menyebutnya ‘perawas’—jambu biji [berukuran besar?]. “... perawan dengan perawas ranum,” tulis Rusli.

Rambut perempuan juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pembangkit hasrat-seksuil laki-laki. Dalam sajak Rusli, terlihat bagaimana kecendrungan terhapat rambut perempuan yang disukai, yaitu ‘rambut yang tergerai’, dan di lain sajak ‘rambut yang terjalin panjang.’ Kecendrungan ini tampaknya hasrat konvensional yang dimiliki generasi lawas yang suka pada perempuan berambut panjang terjalin atau tergerai.

Sementara untuk bagian tubuh yang lain, yaitu mata, beberapa sajak Rusli mengindikasikan berbagai macam mata perempuan yang menimbulkan hasrat. Jika diurut: mata yang berontak, mata yang jinak, mata yang mendebarkan hari, mata yang cekam. “Gadis-gadis dengan mata taji ayam,” tulis Rusli.

Namun, saya tidak menemukan satupun sajak di mana Rusli membicarakan ‘vagina’. Tampaknya, rambut, mata, payudara, pantat, pinggang, sudah cukup mewakili hasrat tanpa turun lebih jauh ke selangkang [vagina]. Barangkali sajak-sajak Rusli merepresentasi seorang yang suka pada cinta bergaya platonis, cinta yang tidak harus mengharapkan kepemilikan utuh. Vagina adalah lambang kepemilikian itu. Penguasaan vagina berarti penguasaan atas perempuan itu sendiri. Tetapi bisa juga tidak.

Padang, 2015

(Deddy Arsya, pengarang.)

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini