Riwayat Nyai-nyai dari Hindia

Oleh Deddy Arsya

Pernyaian dan pergundikan di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang ke masa lalu, ke masa awal kolonialisme Belanda. Sejak masa Gubernur Jenderal VOC Jan Petersen Coen (1587-1626), misalnya, sudah ada kebijakan yang melarang segala bentuk pernyaian atau pergundikan. Nyai dan Pergundikan di Hindia-Belanda, yang ditulis Reggie Baay, baru-baru ini diterbitkan Komunitas Bambu, Depok,  Juni 2010. Dalam buku ini dikatakan bawa pernyaian dan pergundikan dianggap mengganggu stabilitas kekuasaan kolonial di tanah jajahan. Pernyaian dan pergundikan menyebabkan munculnya sebuah kelas sosial baru yang bukan pribumi bukan juga kulit putih. Posisi keturunan indo sebagai hasil dari praktek pernyaian dan pergundikan ini dalam strata kependudukan kolonial menjadi problematis. Ia tidak diakui sebagai orang pribumi oleh masyarakat Nusantara, namun di sisi lain ia juga tidak diterima sebagai orang Belanda murni oleh pihak kolonial.

Oleh sebab itu, pergundikan atau pernyaian, lalu, menjadi sisi mata pedang yang saling melukai kedua belah pihak, baik pihak kolonial maupun pribumi yang jadi nyai. Karena tidak banyak perempuan kulit putih yang bisa dinikahi di tanah jajahan, salah satunya, membuat tuan-tuan Belanda memilih mengangkat nyai atau gundik, padahal pergundikan dan pernyaian di sisi lain dicerca oleh pemerintah mereka sendiri. Sementara bagi nyai sendiri, kadang seorang perempuan harus menerima dirinya dipernyai atau dipergundik karena keterkekangannya dalam struktur budaya feodal yang menempatkannya sebagai komoditas. Artinya, menjadi nyai atau gundik bukan sebuah pilihan, tetapi karena keterkungkungan dalam struktur kultural yang memaksa. Misalnya, seorang pedagang pribumi yang tak dapat melunasi utang mereka kepada para touke atau pialang (biasanya kepada touke China, ada juga kepada pialang pribumi), para touke atau pialang memaksa menggantinya dengan memberikan anak gadis mereka. Oleh pialang atau para touke tersebut, gadis-gadis tersebut dijual ke tuan-tuan Belanda untuk dijadikan nyai atau gundik.

Maka pergundikan atau pernyaian tidak saja mencoreng wajah kekuasaan kolonial di mana praktek pernyaian dan pergundikan dilakukan oleh elit-elit mereka sendiri, tetapi di sisi lain juga meludahi wajah kekuasaan-kuasaan lokal Nusantara yang dianggap membiarkan atau malah mendorong praktek ini terjadi. Dengan demikian, mengungkap jejak-jejak pergundikan bagi elit-elit lokal maupun elit-elit kolonial seperti menepuk air didulang yang terpercak ke dada sendiri.

Oleh sebab itu, barangkali, kisah pernyaian atau pergundikan di masa kolonial lebih banyak ditemukan dalam karya-karya sastra ketimbang karya sejarah. Rata-rata karya sastra yang berbicara tentang pergundikan pada masa itu memang menempatkan para nyai dalam posisi yang buruk. Nyai Dasima adalah roman yang dianggap paling awal berbicara tentang pernyaian. Lalu ada lagi roman yang agak mirik dengan itu berjudul Si Tjonat. Kedua roman ini menggambarkan nyai sebagai perempuan bejat dan serong. Suara lain tentang pernyaian justru muncul di kemudian masa, setelah kekuasaan kolonial berakhir di Indonesia. Adalah sosok Nyai Ontosoroh dalam roman Bumi Manusia yang dikarang Pram mencoba merombak habis-habisan stereotipe tentang pernyaian yang serong dan bejat itu.

Salah satu historiografi penting tentang pernyaian masa kolonial

Salah satu di antara sedikit karya sejarah yang mencatat seluk-beluk pernyaian di Indonesia masa kolonial adalah buku Nyai dan Pergundikan di Hindia-Belanda. Penulisnya, Reggie Baay, adalah penulis Belanda kelahiran Indonesia. Dia sendiri adalah keturunan indo, neneknya adalah seorang Nyai di Solo.

Buku yang berjudul asli “De Njai: Het Concubinaat in Nederlands-Indie” ini, berisi kisah-kisah seputar pernyaian dan pergundikan di Hindia Belanda. Ditulis dengan lebih komprehensif, buku ini memuat sejarah pergundikan dalam banyak aspek kehidupan colonial. Baik itu pergundikan yang terjadi di kalangan militer Belanda seperti pergundikan dalam tangsi-tangsi atau penjara, maupun pergundikan di tataran elit-elit sipil misalnya yang terjadi di pusat-pusat perkebunan kolonial Belanda di Deli, Bengkulen, dan seterusnya.

Di samping semua itu, Reggie Baay, penulis kelahiran Leiden yang juga lulusan Universitas Leiden ini, juga menampilkan riwayat singkat beberapa Nyai. Riwayat singkat itu juga dilengkapi dengan foto para Nyai yang tengah dibicarakan itu. Dari riwayat hidup mereka diketahui, kisah kehidupan para Nyai itu rata-rata memiliki akhir yang menyedihkan, bahkan di antaranya ada yang menjadi gila dan mati dalam rumah sakit jiwa. Meskipun ada pula beberapa (sebagian kecil) yang berujung bahagia.

Dicatatkan pula dalam buku ini, bagaimana kekuasaan kolonial dalam masa ke masa memandang pergundikan dan pernyaian di tanah jajahan mereka. Jan Pitersen Coen, misalnya, melarang pergundian dan menganggap pernyaian membahayakan kepentingan kolonial. Usaha Coen ini, menurut buku ini, tidak menuai hasil yang memuaskan. Coen tidak berhasil melenyapkan, bahkan tidak banyak mengurangi praktek pergundikan dan pernyaian di wilayah kekuasaannya. Setelah Coen, pernyaian dan pergundikan masih tetap menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah kolonial. Bahkan, setelah Coen pula, beberapa Gubernur Jenderal seperti Carel Rijniersz dan Jan Maetsujker malah mendorong perkawinan orang-orang Belanda dengan perempuan-perempuan inlander. Dengan kata lain, pernyaian dan pergundikan diberi ruang lebih luas oleh mereka. Sementara, pada masa Inggris, Thomas Raffles yang tak lama berkuasa di Nusantara, kembali melarang pergundikan di Hindia. Raffles menganggap bangsa Hindia mesti diberadabkan seperti beradabnya bangsa Eropa. Oleh sebab itu, adat istiadat dan norma-norma Eropa meski ditranformasikan kepada masyarakat Hindia, termasuk di antaranya menghapuskan praktek pernyaian dan pergundikan. Namun Raffles, sebagaimana pendahulunya, tidak dapat melenyapkan pergundikan di Hindia. Bahkan pada masa Raffles inilah pula kisah pergundikan yaitu kisah Nyai Dasima yang melegenda itu terjadi.

Riwayat pernyaian dan pergundikan pada akhirnya adalah juga riwayat ketersisihan dan perbudakan anak bangsa, mereka yang diseret arus deras struktur kuasa bangsanya sendiri. Cerita mereka, jika pun kini bertransformasi ke dalam bentuk lain dalam dunia modern kita (dalam bentuk istri simpanan, perlontean, dst.), masih tetaplah sama. Akhir kisah mereka hampir-hampir seluruhnya tak bahagia.

Selamat membaca!

Padang, 2010

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini