Riuh dan Sunyi ‘Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu’
Oleh Deddy Arsya
Sebuah lagi buku sastra pengarang Sumatera Barat terbit tahun ini. Lingkar Pena (April 2010) menerbitkan sekumpulan cerita pendek Ragdi F. Daye (Ade Efdira) dengan judul Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu. Buku ini memuat limabelas cerita pendek yang pernah diterbitkan beberapa surakabar Jakarta dan daerah dalam rentang tahun 2005-2008.
Kesunyian sosial di tengah hiruk-pikuk
Ragdi F. Daye lahir di Solok. Ibunya seorang pedagang di Pasar Kota Solok. Dia barangkali tahu hiruk-pikuk pasar. Orang-orang yang ramai melintas, bendi dengan kuda yang meringkik, kemacetan-kemacetan kecil di sana-sini, transaksi dagang yang riuh. Tetapi juga, yang tak bisa dia ditolak: napas-napas kemiskinan yang menyeruak di tengah orang ramai yang dihirupnya setiap saat.
Dunia pasar memang dunia ironi. Di tengah hirup-pikuk, di tengah sorak-sorai, di tengah ‘uang’ yang mengalir deras, ada sepi-sunyi yang tak terbantahkan: kemiskinan, kekalahan, penderitaan, dan hidup yang tersendat-sendat. Ragdi dijerat kesunyian semacam itu. Barangkali bukan hanya kesunyian ladang yang mendorongnya untuk menulis, berasyik-masuk dengan kalam, dengan kata, seperti ditulisnya dalam buku ini, tetapi tampaknya lebih dari itu. Kesunyian pasar itu pulalah yang telah menjerat hatinya. “Pasar Solok ternyata sepi sekali,” tulisnya.
Perempuan Bawang (PB) memotret kehidupan pasar yang hiruk-pikuk namun sunyi itu. PB bercerita tentang seorang tokoh aku yang bekerja di sebuah pondok sate di Pasar Solok dan seorang perempuan bernama Yanti. Ibu Yanti berjualan bawang merah, cabai, asam kapas, dan kacang rendang (yang diambilnya dari pencarah) di sebuah lapak tak jauh dari lapak sate tempat lelaki itu bekerja. Lelaki itu mungkin menaruh hari kepada Yanti atau hanya sebatas merasa senasib. Sehingga, setiap membeli bahan sate sengaja ia membeli bawang dari ibu perempuan itu sekalipun bawang yang djualnya berkualitas nomor dua dan jarang dibeli orang.
Yanti adalah anak dari perempuan miskin pedagang kecil Pasar Solok yang lapaknya selalu sepi dan sebentar lagi juga akan digusur. Sementara lelaki itu seorang putus sekolah yang bekerja di pondok sate untuk membantu ibunya yang bekerja di tungku pabrik tahu. Mereka adalah orang-orang dengan impian yang patah. Ragdi mencatat: “Aku telah membiarkan semua harapanku hangus di dalam arang yang selalu dikipas-kipas induk semangku menjadi bara merah yang akan membuat lokan dan daging menjadi wangi merangsang selera. Setiap hari aku mencucuk-cucuk hatiku sendiri.”(h. 8)
Solok banyak menjadi latar untuk cerita ini dan beberapa cerita lainnya, namun bisa saja itu bukan latar yang terbatas ruang waktu. PB bisa jadi adalah refleksi kehidupan kita di pasar-pasar di mana pun di dunia ketiga. Tidakkah penggusuran, kemiskinan, dan kesunyian yang diderita para pedagang kecil yang kalah bersaing dari Pasar Swalayan, Toserba, Minimarket, dan sejenisnya adalah realitas masyarakat pasar kita hari ini?
Kesunyian orang-orang kalah dan yang hidupnya tersendat-sendat tetap menjadi pembicaraan utama beberapa cerpen dalam kumpulan ini. Seekor Anjng yang Menangis (SAM) misalnya, menampilan ironi yang lebih kentara. Kehidupan keluarga dengan anak-anak yang bertubuh kurus dan perut yang pedih; rumah dengan perabotan yang patah-patah dan reot; mangkok, pering, dan periuk yang kosong-melompong; dan pintu yang terbuat dari bilah-bilah papan dan bertempel stiker ‘Keluarga Miskin’ di satu sisi. Sementara di sisi lain, tetangga mereka, keluarga walikota dengan rumah yang beranjing penjaga, yang lampunya berkelap-kelip ketika malam, yang memiliki taman yang luas dan kolam renang. Keluarga peladang melarat itu mencoba berutang ke rumah walikota karena sudah tak bisa lagi mengutang ke kedai, karena utangnya di kedai sudah terlalu banyak. Apa salahnya mengutang kepada tetangga? Tetapi berhutang seliter beras kepada pejabat tinggi harus lebih dulu berhadapan dengan sistem birokrasi kekuasaan yang rumit, membuat janji, mengisi buku tamu, dan berpakaian yang patut.
Perempuan dalam cerita ini akhirnya mati setelah tertusuk sangkur saptam penjaga rumah; karena ia ngotot ingin bertemu walikota dan satpam mencegatnya; mayatnya dikubur sembunyi-sembunyi di halaman belakang. Ragdi seperti ingin mengatakan bahwa kemiskinan dikurangi kekuasaan dengan cara melenyapkan orang-orangnya, bukan memperbaiki nasib orang-orangnya.
Lelaki Kayu (LK) juga berada dalam suasana yang hiruk-pikuk di satu sisi dan kesunyian pada di sisi lain. LK menceritakan tentang dua orang yang sedang menikmati pantai pada senja hari. (Pantai dan Pasar, kadang keduanya sulit dibedakan, sama-sama riuh, tetapi juga memendam sepi). Dalam LK, dua orang yang tengah menyaksikan ombak bergulung-gulung tiada henti, berdebur ke batu-batu pemecah ombak itu, dikebat sunyi yang tak terkatakan. Mereka sama-sama diam, masing-masing saling tak bicara dalam waktu yang lama. Mereka kiranya sama-sama bermasalah. Seorang lari dari keluarganya, dari rumah, mungkin karena pilihan agamanya, atau karena yang lain. Seorang lagi berada dalam bimbang, antara memilih buku tebal (yang mungkin Alquran) dan buku lain yang lebih kecil (mungkin Injil, Weda, Tripitaka, atau Taurat? Atau hanya tanda ‘sesuatu yang berbeda?’).
Seorang Lelaki dan Boneka (SLB), bercerita tentang seorang laki-laki yang setiap pulang kerja memilih berjalan-jalan di tengah kota yang ramai untuk mengusir kesepiannya. Kadang ia memasuki pasar, menelusuri koridor pertokoan untuk sekedar melihat pajangan etalase, dan seringkali ia bebicara dengan manekin-manekin. Ia punya masalalu yang bermasalah, keluarganya tak bahagia, bapaknya terlalu kasar, dan ia memancung identitasnya dari masalalunya itu. Akibatnya, di kota ia hanya seorang diri. Sekali lagi: tokoh kita ini lengang di yang ramai.
Kritik atas ‘Religiusitas Angkasa Luar’
Tokoh-tokoh dalam beberapa cerita pendek di atas adalah orang-orang yang mengalami masalah dengan keluarga, miskin, melarat, menderita, sehingga acap tersisih dalam kehidupan sosial. Mereka juga adalah orang-orang yang sepi—teralienasi. “Agama” dianggap tak mampu memberi cerah bagi problematika yang dialami tokoh-tokoh itu.
Praktek kesalehan muncul di beberapa tempat di buku ini, tetapi ia hanya semacam cemooh terhadap kesalehan itu sendiri. Azumardy Azra pernah cemas, dalam sebuah edisi majalah Tempo yang mengangkat tema Sufi Kota, ia mencatat, kesalehan dalam masyarakat pasca modern bisa saja adalah bentuk pelarian dari realitas yang pahit, bukan penyeimbang dominasi materi. Mohamad Sobary dalam Diskursus Islam Sosial juga pernah menulis bahwa, kita tampak begitu saleh secara individu, tetapi tidak secara sosial.
Keterbelahan dunia spiritual dan realitas ini pulalah kiranya yang menjadi kecemasan Ragdi F. Daye dalam buku ini. Kesalehan diri tidak berimbas pada kesalehan sosial. Beberapa tokoh dalam kumpulan cerpen ini adalah orang-orang yang nauzubillah tampak saleh. Dalam Di Solok Aku akan Mati Perlahan misalnya, ada tokoh nenek yang “rajin ke surau dan wirid yaasiin tiap malam Jumat”, tetapi hilang kasih terhadap anak dan cucunya, membiarkan mereka menggelandang dan hina-dina.
Dalam Mungkin Jibril Asyik Berzapin lebih kentara lagi, ada suami yang sibuk dengan urusan ibadah, i’tikaf dari masjid ke masjid, puasa sepanjang hari, pada jidatnya ada hitam jejak sujud. Sementara di rumah, istri dan anak-anaknya menahan pedih perut. Tak ada muslim lain yang peduli pada mereka, hanya Cece, ‘perempuan berkulit bayi’ yang sering memberi anaknya makanan. Cece pun bukan muslim barangkali, tergambar dari namanya, dan dari dialog berikut ini: “Jangan kuatir, tak pakai babi.”
Dalam cerpen lain, Kubah, masjid megah dibangun sebagai bentuk pengabdian terhadap agama, tetapi di sisi sosial, di sekeliling masjid orang-orang miskin meruyak, moralitas hancur. Masjid bukan sahabat kaum papa; masjid di kunci di hari-hari ketika tidak sembahyang; zakat yang dikelola masjid hanya disalurkan sekali setahun; orang-orang kerkoar tentang idealisme Islam di mimbar-mimbar masjid yang kubahnya dilapisi emas, sementara pernderitaan merebak di sekitarnya; moralitas orang-orang di sekelilingnya jauh dari yang ideal, sandal bisa hilang di masjid, pencurian dilakukan di tempat yang dianggap suci; dan seterusnya.
Ketika ‘agama’ dianggap tak mampu menyelesaikan hidup manusia hari ini, ketika ‘agama’ hanya dianggap menjanjikan masa datang di akhirat kelak yang jauh, maka timbul ketidakacuhan orang-orang terhadap agama yang selama ini dianutnya. Seperti dua orang dalam Lelaki Kayu (LK) misalnya, yang tetap bertahan duduk di pantai meski azan berkali-kali berkumandang. Mereka seperti ragu, atau bisa jadi tak lagi percaya, lalu memilih agama lain yang mungkin lebih bisa dipercaya membantu menyelesaikan persoalan kekinian, dan yang mungkin lebih bisa menjawab realitas hari ini.
Padang, 2010



Comments
Post a Comment