Rantau Perempuan

Oleh Deddy Arsya

Setiap tanggal 8 Maret, perempuan sedunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini bisa menjadi waktu reflektif bagi kita untuk meninjau pula bagaimana perempuan Minangkabau di tengah hiruk-pikuk kemajuan sekarang, di mana perempuan telah terlibat dalam berbagai lapangan kegiatan, dan telah pula dapat dikatakan menjadi manusia global. Tulisan ini hendak melihat bagaimana rantau dan perempuan berdinamika dari pandangan sejarah. Rantau sendiri adalah kesempatan bagi perempuan untuk terlibat di tengah kehidupan global itu.

Ketika perkebunan Belanda marak dibuka di Sumatera (setidak-tidaknya pada tahun 1875, dua puluh perkebunan Belanda berdiri di Sumatera; para pekerjanya kebanyakan terdiri dari pekerja China, pekerja India, dan orang Jawa), orang Minangkabau juga telah datang bergelombang untuk bekerja sana, tetapi tidak sebagai buruh, tidak sebagai kuli. Mereka bekerja sebagai pedagang di sekitar perkebunan, berdagang kebutuhan harian para pekerja.

Adakah perempuan yang serta dalam rombongan pedagang ke Sumatera Timur itu?

Menurut novel Hamka, Merantau ke Deli, ada memang perempuan yang dibawa lakinya ikut merantau ke perkebunan-perkebunan itu. Mereka ikut pula menemani lakinya berdagang. Tapi itu jumlahnya tidaklah dapat dikatakan banyak.

Namun jauh sebelum periode perkebunan itu, yaitu ketika perdagangan pantai menunjukkan gairah yang besar pada abad ke-15-17, yang menyedot perhatian orang-orang Minangkabau pedalaman untuk menggiring karavan-karavan mereka berdagang di kota-kota pelabuhan baik ke pantai timur maupun ke pantai barat. Adakah perempuan di antara pedagang-pedagang itu? Adakah perempuan di iring-iringan karavan itu?

Memang sulit sekali melacaknya, sebab sumber-sumbernya nyaris tidak ditemukan lagi sekarang. Kalau kita membaca cerita-cerita rakyat, seperti Cindua Mato, memang yang ikut dalam rombongan Cindua Mato ke pantai timur untuk menjemput Puti Bungsu itu tidak satu pun yang dikatakan perempuan. Berkemungkinan juga, karavan-karavan dagang orang Minangkabau ke pantai timur pada periode perdagangan pantai yang marak tidak juga ada yang terdiri dari perempuan.

Jika pun perempuan pernah ikut dalam karavan-karavan dagang ke pantai timur atau barat itu, atau pernah ikut berdagang di sekitaran perkebunan-perkebunan milik Belanda di Sumatera Timur sebagaimana yang telah disebut di awal, tentu mereka tidak sendirian. Tetapi mereka ikut bersama laki-laki mereka, bersama dunsanak mereka, bersama keluarga mereka sendiri.

Bagi masyarakat Minangkabau, secara normatif perempuan adalah simbol kehormatan yang harus dijaga. Jika tidak ikut suaminya ke rantau, atau ada keluarga yang ditujunya di rantau, perempuan Minangkabau tidak akan dilepas sendirian ke negeri luar. ‘Mamak hilang mamak dicari’, mamangan adat yang terkenal untuk para perantu itu, barangkali tidak ditujukan untuk perempuan, tetapi hanya untuk para laki-laki.

Merantau, kalau boleh dikatakan begitu, secara adat, bagi perempuan Minangkabau tidak diharapkan terjadi. Nyaris tidak ada mamangan adat yang menganjutkan perempuan pergi merantau. Mamangan adat tentang rantau semisal "maranjau bujang dahulu di rumah baguno balun" itu jelas untuk para bujang, sama sekali tidak untuk perempuan.

Mungkin karena perempuan Minangkabau berperan penting dalam melanjutkan sistem matrilinial masyarakat Minangkabau makanya hampir tidak ada anjuran perempuan merantau. Perempuan dalam sistem matrilinial adalah tanggungan kaum; ia mapan secara materi karena ke dalam pundi-pundinyalah, ke dalam kuro-nyalah, dan untuk menjamin kehidupan merekalah, harta pusaka kaum diperuntukkan.

Lantas, kenapa sekarang cukup berani masyarakat Minangkabau melepaskan perempuannya merantau sendirian?

Seiring perjalanan waktu, perempuan Minangkabau tidak lagi hanya merantau untuk mengikuti suaminya, atau ‘menurut’ mamak dan keluarga kaumnya di rantau. Perempuan Minangkabau telah berani lepas tanpa pengiring ke dunia luar. Bisa jadi, kecendrungan yang terakhir ini merupakan kecendrungan zaman baru yang memberi ruang dan kepercayaan lebih kepada perempuan untuk mengembangkan sayapnya ke mana ingin, sebab pengaruh emansipasi yang merebak di mana-mana itu.

Tapi benarkah keinginan untuk melihat dunia luar yang lapang terkembanglah yang menyebabkan perempuan merantau sendirian, seorang diri, tanpa pengiring?

Jelas bukan emansipasi semata yang menyebabkan perempuan merantau seorang diri. Namun adalah karena sistem matrilinial-lah yang telah gagal memberikan kemapanan kepada perempuannya, kepada gadis-gadisnya, sehingga perempuan Minangkabau merasa perlu untuk keluar, menjadi perantau seperti para bujang, para laki-laki. Mereka merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri, mewujudkan cita-cita yang dibersitkan hati lewat sekolah di luar kampung misalnya, yang tidak lagi bisa dipenuhi oleh harta pusaka kaum atau oleh para mamak yang yang lebih sibuk menjual harta pusaka ketimbang memperhatikan kemenakan.

Padang, 2014

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini