Puisi yang Memenjarakan
Oleh Deddy Arsya
A. Damhuri dikenal luas sebagai sastrawan. Dia menulis banyak sajak, novel, cerita pendek, dan juga menulis ulang kaba-kaba klasik Minangkabau. Namun, A. Teuw tentangnya berujar: “A. Damhoeri bukan pengarang roman yang begitu baik, [dalam menulis] dia tidak teliti, agak cenderung tergesa-gesa.” Akan tetapi, sekali di tahun 1939, dia membuat geger pemerintah kolonial Belanda di Padang. Sekumpulan sajaknya yang keras menentang pemerintah kolonial dimuat pada koran Persamaan, sebuah koran yang terbit setiap hari di Padang. Sajak-sajak A. Damhuri, menurut catatan Maisir Thaib, dianggap menentang pemerintah kolonial secara terang-terangan dan berpotensi “mengacaukan keamanan negeri”.
Akibat sekumpulan sajaknya itu, A. Damhuri terkena ‘ranjau’—begitu orang-orang pergerakan pada masa itu menyebut suatu pasal dalam KUHP Belanda yang “bisa direntang seperti karet”. Pasal 153 bis, misalnya, yang berbunyi, “Barangsiapa dengan perkataan, tulisan, atau gambar, melahirkan pikirannya yang, biarpun secara menyindir atau samar-samar, memuat anjuran untuk mengganggu keamanan umum atau menentang kekuasaan pemerintah Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda dapat dihukum penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimum 300 gulden.” Pasal ini diperkuat oleh pasal 153 ter, yang berbunyi: “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang memuat pikiran seperti dimaksud dalam pasal 153 bis dapat dihukum penjara maximum 5 tahun atau denda 300 gulden.” Pasal yang terakhir ini khusunya ditujukan bagi redaktur-redaktur koran yang memuat tulisan-tulisan yang ‘mengganggu keamanan umum’.
Akibat pasal-pasal di atas, banyak pihak pers yang terjerat ranjau. Salah satunya adalah M Yunus Ibrahim, pemimpin redaksi harian yang memuat sajak-sajak A Damhuri. Di pengadilan (landraad) di Padang keduanya diputuskan bersalah. Mereka dikenai hukuman masing-masing enam bulan penjara di penjara Padang. Koran Persamaan kemudian dibredel pemerintah kolonial tak lama setelah itu.
M. Yunus, sebelum ditangkap, tulis Maisir Taib dalam buku Menempuh Tujuh Penjara, sudah juga sakit-sakitan. Tak ayal, tak berapa lama menjalani hukuman dia meninggal dalam penjara. Sementara A. Damhuri, setelah menjalani hukuman 6 bulan, dia kembali ke orang ramai. Pengalaman enam bulan di penjara Padang itu merupakan perkenalan pertama A. Damhuri dengan penjara. Karena pengalaman pernah dipenjarakan itulah, dia dielu-elukan sesama aktivis pergerakan setelah bebas.
Sayang sekali, tidak ditemukan kopian puisi-puisi yang mengantarkan penyair dan redaktur koran yang memuat puisi-puisi itu ke penjara.



Comments
Post a Comment