Puisi-puisi Koran TEMPO, 13 Mei 2017
Apotek
di Jatinegara
Istriku
menyuruhku membeli pompa tetek
aku katakan
kepada penjaga apotek
karena tidak
dapat susu dari ibunya
anakku
merengek sepanjang malam
penjaga apotek
itu kukira orang terpelajar
yang sekolah
lima tahun di laboratorium
dan telah pula
menjadi urban. Jadi hanya bisa diam.
Tak pandai
lagi berbasabasi macam di kedai kopi.
Yang kuingat
darimu memang hanya itu
hanya apotek
di Jatinegara itu
aku pernah
tinggal seminggu
tidak berapa
jauh dari situ
di rumah
pamanku almarhum
yang
meninggal ditabrak kereta
yang punya empat
pintu toko sepatu
kini toko-tokonya
itu telah dijual istrinya
entah kepada
siapa, lalu toko-toko itu ‘direnovasi’
menjadi
hotel kelas melati, tempat orang berzinah
kamar
menginap pasangan mesum.
Menunggu
Oto
Setiap hari
aku lewat di situ, memandang kolam yang lapang
tak
terdengar kecipak ikan, hanya pendar redup bohlam
dari
langit-langit langkan
rumah
beratap merah bata
mungkin ada
poskar tergantung di dinding, jejak air sirih mengering
aku tidak
bisa tidak menoleh pada tiang-tiang dari kayu ruyung
berukir
bunga cengkeh, dan lukisan mooi indie—dokar
di tepi sungai
kereta api
di jembatan tinggi.
Lalu aku
dengar suaramu
melambai-lambai.
Tapi aku sedang
di kereta bara yang melesat kencang
dari
cerobongnya mengepul asap hitam
aku melihat
hutan terkelubak pada cekung matamu
sawah dan
ladang yang dipindahkan ke gerbong-gerbong berat ini
menuju lain
pelabuhan
dan
kapal-kapal kosong muatan.
Setiap hari
aku lewat di situ, melihat kolam yang keruh air
ikan-ikan
putih mati mengapung dan daun keladi kuning lepas ke saluran tandas
membawa sisa
minyak dari dapur, rumah dengan dinding warna timah
tidak bisa
tidak aku menoleh pada ukiran petai cina di pinggir jendela
pedati dari
zaman Padri dan tiang bajak
yang patah
tersandar
di suar
luar.
Serupa
tungkai-tungkai kakimu.
Tapi tak ada
lagi suaramu, melambai-lambai, serupa dulu, lenguh sapi pun
tak
terdengar, dari kandang di belakang, hanya tersisa bayangan
ladang
jagung, terpencil di tepi bukit, lobak busuk dalam karung
dan musim
kering
merontokkan
daun,
kuli-kuli
membuat jalan membelah perbukitan
lalu
segerombolan laki-laki murung
lari dari
rodi, lari
ke kota-kota
jadi pialang.
Aku melihat
kau menunggu oto
di halaman
berpendar bohlam.
Hari cepat
betul jadi kelam.
Apa itu Komunis?
Ibumu takut
pada oto dan sepur
sebab
keduanya bisa membunuhmu
tapi padaku
tidak
aku memberi
hidup
berkelimpahan
seminggu
lalu miskin
berbulan-bulan
tapi aku
bisa menggendongmu di pundakku
aku bisa
melemparkanmu tinggi-tinggi ke udara
aku mau saja
jadi petani di sini
tapi ibumu
tidak punya tanah
karena tanah
sempit orang pergi ke kota
jadi tukang
catut
pulang
bergigi emas
berjas tebal
di hari panas
kau merasa
heran
mengapa dulu
banyak komunis di sini
tanah subur,
matahari lembut, ada gunung sedia
saban tahun
menyemburkan abu
tapi tanah
kurang
berebut
tanah
jadi melarat
jadi komunis
tapi ibumu
hanya takut pada oto dan sepur
apa itu
komunis! katanya padaku.
Salida
Kuarsa
Ketika
anak-anak terbangun malam
ibunya malah
mematikan lampu
dan
menghidupkan lagu qasidah
pada saat
itu aku teringat ladang ayah
di
kampung-kampung masa kecilku
yang hanyut
ke muara bersama bah.
Masa lalu
serupa orang-orang
berkulit
gelap tetapi bermata biru
dulu
Peranggi suka berlabuh di pulau ini
menyisir garis
pantai dan ke darat dengan sekoci
dan kembali
dengan iring-iringan pedati penuh padat
mengupah
sais-sais setempat mengangkut lumpur mengandung
surai-surai
emas
akar-akar
kuarsa
ke teluk ini
tempat
penyu-penyu datang
membuat
lubang-lubang pasir.
Ketika
anak-anak terbangun lama
mereka
mencari-cari rambut ibunya
ketika
terjaga malam, aku mencari-cari rambut istriku
mengelus-ngelusnya
mesra bagai itu ladang masa lalu
yang dibawa
berlayar
kapal
berlambung besar.
(Dipublikasikan Koran TEMPO, 13 Mei 2017)



Comments
Post a Comment