Puisi-puisi di Koran Tempo, 20 Oktober 2013

Perjalanan ke Masjid

Tukang khotbah itu bersorak setiap hari
suaranya serupa suara adzan yang tercekik
pada kalimat awal jam lima pagi

Adakah yang lebih merdu dari gerutu-Mu?

Uda, kenapa kau malas sembahyang?
sebab rakaatnya terlalu banyak, kataku
manusia bersorak-sorak:
aku hamba, hamba lata, ya Ta’ala!
sementara Tuhan tidur-tiduran saja

Aku tak suka Tuhan yang diseru dari bawah

Uda, pergilah ke masjid sembahyang berjamaah
sekalipun dingin cuaca bikin tulangmu bagai rengkah jangatmu
aku akan tinggal saja di rumah, kataku!
Tuhanku hanya ada sedikit di bawah telingamu

Mari kuciumi pangkal kudukmu

Kelelawar gelap besar turun itu dari kubah masjid
tukang khotbah mati gantung diri kemarin petang
putus asa dan cinta datang bergantian seperti suara azan
dan lenguh hasrat tak tertahankan?

Uda, jangan ucapkan yang bukan-bukan…

Sapi dari Kitab Suci

Sapi betina yang terbang
dari dalam kitab suci kalian itu
menggoyang-goyangkan ekornya
mengusir lalat-lalat besar yang berdengung
dalam ritme cepat
kau nyalakan obor api lebih lama
hendak bersitatap dengan matanya yang besar bulat
“kami, sepertimu juga, ingin mencapai fana!”

Tapi kegelapan menyekapmu lebih dalam
kini kau meraba-raba kehampaan
—kini kau menuju awal kebutaan!

Sapi betina yang luka pada pantat
menggoyang-goyangkan telinganya
yang kempis-kembang bagai hasrat pada kerampang
dia terpancang pada tambang
hingga larut malam
di padang-padang kuning
dikebat gelap begini lindap
kau tinggikan obormu ingin menangkap
“wujud, wujudmu, kami hendak!”

Tapi apa beda buta dan melihat
dalam gelap yang begini pekat?

Sapi betina itu tak menjawab
hanya klenong genta pada lehernya
yang terdengar ribut sampai ke sini
ke dalam sajak ini
lebih seperti gemerincing dari bisik sunyi
kau mengira itu takwil mimpi-mimpi
atau isyarat tafsir yang pasti
padahal sungguh hanya gerutu
dari dia yang terikat
tali sendiri

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini