Puisi dan Kekinian yang Terus Berlalu
Oleh Afrizal Malna
Deddy Arsya lahir tahun 1987. Saya lahir tahun 1957. 30
Tahun yang lalu. Usia Deddy sekarang 24 tahun. Usia saya
54 tahun. Deddy telah berlalu 24 tahun yang lalu, saya telah
berlalu 54 tahun yang lalu. Ketika hitungan seperti ini kita
lakukan terhadap diri kita sendiri, usia hanya kita
perlakukan sebagai realitas kuantitif. Semua yang aku telah
berlalu di dalamnya. Bagaimana memperlakukan hitungan
seperti ini? Sejak kapan seseorang sesungguhnya pernah
merasa telah menjadi seseorang aku? Seseorang aku yang
menentukan nilai-nilainya sendiri dan bertanggung jawab
atas nilai-nilai yang diyakininya?
Sekitar awal tahun 2000-an, ketika saya masih aktif
dalam gerakan rakyat miskin kota (UPC – Urban Poor
Consortium) di Jakarta, saya bertemu dengan semacam
representasi aku yang mempersonikasi dirinya melalui
pekerjaannya sehari-hari. Waktu itu kami sedang bergaul
dengan kuli-kuli bangunan di Grogol, Jakarta Barat. Mereka
hanya bermodalkan pacul. Sebelum ada pekerjaan, mereka
menunggu di jalan sampai ada truk datang mengangkut
mereka. Itu berarti mereka mendapat pekerjaan sebagai kuli
bangunan, walau belum tahu akan dibawa kemana. Waktu
itu pemerintah kota Jakarta sedang sibuk membersihkan
warga pendatang yang tidak memiliki KTP dan
dikembalikan ke daerah masing-masing.
Suatu hari, petugas kota (Trantib) menangkap
mereka.
“Mana KTP Bapak?” tanya petugas.
“Ini!” jawab seorang kuli yang ditanya sambil
mengangkat paculnya ke atas.
Kuli itu menceritakan kepada saya, bahwa dia warga
Indonesia. KTP tidak menjelaskan apapun tentang dirinya.
Pacul yang dibawanya adalah identitas yang paling jelas
untuk tahu siapa dirinya: Kuli bangunan. Dan petugas itu,
yang memeriksa KTP mereka, mungkin juga tidak tahu
bahwa mereka, para kuli bangunan itu dan puluhan ribu
dari mereka yang lain, adalah sejumlah nama-nama tidak
dikenal, yang mungkin juga tidak memiliki KTP,
sesungguhnya adalah yang membangun kota ini.
Representasi seorang melalui kuli bangunan itu
untuk saya menjelaskan bagaimana seseorang mengambil
dirinya sendiri, menjaganya, mempertahankannya dari
agresi yang datang dari luar. Agresi dari pemerintahan kota
yang membuat teror identitas, teror KTP, teror
kependudukan dan teror kewarganegaraan dari rakyat kecil
yang bekerja keras untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Dia bekerja dengan tubuhnya sendiri, bukan mencuri. Dia
tidak bekerja di sebuah tempat dimana uang tidak bisa
dipacul untuk kepentingannya sendiri.
Angka-angka di sekitar hitungan kuantitif dari
kelahiran itu merupakan usia biologis, usia kuantitif. Tidak
memiliki hubungan langsung dengan usia kualitatif dari
seseorang aku, usia dari seseorang aku yang sudah bisa
membaca agresi nilai yang datang dari luar dirinya, seperti
cerita tentang kuli bangunan itu. Pembacaan seperti ini
menggoda saya sebagai sebuah pengalaman tersendiri
dalam membaca kumpulan puisi Deddy Arsya ini: Odong-
Odong Fort de Kock.
Saya kira ada baiknya untuk mengurai kembali
pengalaman saya membaca kumpulan ini dari awal hingga
saya bertemu dengan biodata Deddy di bagian akhir
bukunya ini.
Saya tidak tahu apa artinya odong-odong, saya juga
tidak tahu dimana letaknya Fort de Kock itu. Mungkin Fort
de Kock sebuah benteng peninggalan Belanda. Saya merasa
bodoh dengan ketidak-tahuan ini. Tetapi kenapa pula saya
harus merasa bodoh untuk sebuah nama yang memang
tidak saya tahu. Dua hari saya membaca buku ini. Setelah
selesai membaca, saya membacanya kembali dengan cepat.
Pembacaan dengan durasi yang normal dan dengan durasi
yang cepat, menghasilkan imaji atau suara imaji yang lain.
Dalam pembacaan durasi yang normal, saya membiarkan
pembacaan saya dikuasai oleh semacam jaring-jaring visual
dari puisi-puisi Deddy ini.
Jaring-jaring visual itu begitu
ramai. Penuh warna. Memiliki geopuisi yang khas dari
lingkungan pesisir dan daratan, dari lingkungan
perkembunan dan pasar di kota. Terus bergerak ke arah
lainnya, dari dunia mistik ke dunia perdagangan, dari
kehidupan gunung dan hutan ke perkotaan. Dari sejarah
dan memori tentang keluarga.
Jaring-jaring visual yang warna-warni itu sejak awal
sebenarnya sudah tidak berwarna. Ada warna muram yang
nyaris secara kontinyu melapisi warna-warna terang
hampir di seluruh puisinya. Sejarah dipersonifikasi seperti
mata seekor anjing yang terus diawasi. Walau pemburu
telah membunuh anjing itu, tetapi mata anjing itu terus
hidup dimana-mana. Mata anjing yang mengintai dari
sejarah, kemudian bermutasi kepada (setiap) seorang aku
yang bersentuhan dengannya (puisi “Anak Ayah”).
Seorang ayah telah mati dalam sejarah mata anjing itu.
Seorang anak harus tumbuh dalam sejarah mata anjing itu
sendirian, atau bersama dengan seorang ayah yang telah
mati. Dibesarkan oleh fenomena kematian ayah dari sejarah
sebagai mata anjing.
Personifikasi itu tampak kompleks. Kompleksitas
yang tidak pernah usai pada hampir seluruh puisinya.
Sepertiga menjelang akhir buku puisi Deddy, kompleks itu
sedikit mereda. Ada sedikit oase yang ditinggalkan dalam
kompleksitas jaring-jaring visual itu, yang sebenarnya
merupakan anak kandung dari model personifikasi yang
dijalankan dalam berbagai layer yang ditempuh Deddy.
Oase itu, misalnya, terdapat pada puisi Tukang Obat di Pasar
Kambang. Puisi yang memperlihatkan kemampuan
mengolah pantun, berusaha mengkreasinya. Walau tidak
jauh dari pematahan bunyi kata untuk pengertian yang
berbeda antara “harimau” dengan “mau”. Atau antara
“gajah” dengan “rajah”. Tetapi oase itu tetap membawa
kompleksitas lain, karena diberi judul “Tukang Obat di
Pasar Kambang”. Stigma terhadap tukang obat di jalan
adalah tukang tipu, dan melalui judul ini stigma itu seperti
dinyatakan kembali untuk tujuan yang lain: Judul yang
membuat pantun seperti permainan sulap, menipu makna
antara pengertian dan bunyi yang dikandung kata. Pantun
kembali diletakkan dalam stigma modernisme seperti ini
sebagai sebuah konflik pembacaan dan penulisan sekaligus.
Tetapi ia tetap menggoda banyak penyair untuk menulis
dengan menggunakan bentuk pantun. Pantun seperti
memiliki kekuatan affirmatif dalam pembuktian kecerdasan
seorang penyair dalam mengolah bahasa antara suara dan
pengertian. Judul puisi ini membiarkan negosiasi seperti ini
tetap berlangsung: pantun sebagai pekerjaan tukang
(penyair), sebagai obat (bahasa), tetapi juga sebagai pasar
(puitika). Dan mungkin lebih celaka lagi: sebagai identitas
(bangsa).
Perilaku dari personifikasi yang kompleks itu bekerja
dalam prosedur negasi atau kematian. Objek yang mati,
lahir dan tumbuh kembali sebagai subyek tersembunyi pada
generasi yang melanjutkan prosedur negasi atau kematian
ini. Kematian seperti hidup bersamaan dengan kehidupan:
di suatu perang yang lain. aku hidup dalam kematian ayahku.
ibu telah lama mati dalam pikiranku. dulu ibu sering
membisikkan sesuatu ke telingaku. seperti salak anjing pemburu
itu (“Anak Ayah”); kenapa kau membenciku seperti membenci
duri dalam daging ibumu? … ayahmu yang menebar umpan,
kenapa batuk ibuku yang berdarah? (“Pertengkaran Semalam
Suntuk”); Anak-anakmu ada dalam kantong plastik ini, di
antara apel Malang dan jeruk Berastagi yang asam (“Momento
Rumah Sakit”).
Kerja personifikasi melalui prosedur kematian yang
bersembunyi dalam kehidupan ini merupakan salah satu
yang khas dari puitika yang diusung Deddy melalui puisi-puisinya.
Prosedur yang kembali memperlihatkan bagaimana seorang aku (-lirik) harus tumbuh dalam politik
identitas yang kompleks, berada dalam ruang pertentangan
antara sejarah dengan memori kekiniannya. Sejarah sebagai
sinetron nilai-nilai antara agama, adat-istiadat, politik dan
kepentingan yang bersembunyi di balik banyak topeng.
Seorang aku mungkin tidak bisa tumbuh dalam ruang
seperti ini, atau dia tidak pernah bisa bertemu dengan
kekiniannya sendiri. Dia menjadi seseorang yang terus
berlalu, terus berlalu selamanya. Puisinya “Ikan Padang”
yang ingin saya kutip di sini, kiranya cukup jelas
memperlihatkan seorang aku yang terus berlalu itu, yang
tidak pernah bertemu dengan kekiniannya sendiri hingga
tua tak berdaya:
aku hanya ikan Padang, ikan Padang, ikan
asin dan lauk kering,
bermalam-malam direbus api dan air
mendidih belanga besar sekali.
Aku tiba-tiba tua dan tak berdaya. Bungkus
aku dengan tenun elok
dan matahari lembutmu.
Puisi itu menggunakan sebuah nama untuk ikan
dengan nama sebuah kota, kota Padang. Kota yang sebagai
ikon budaya memang dekat untuk mewakiliki ikon
Minangkabau. Minangkabau memiliki tradisi puitik yang
kuat, yang sebenarnya juga terdapat pada banyak budaya
lokal lainnya. Tradisi puitik yang tidak hanya tampak pada
sastra dan kesenian mereka (sebelum diharamkan oleh
agama-agama monoteis), tetapi juga pada bagaimana
mereka membuat imaji-imaji kota. Deddy sendiri lahir di
sebuah daerah bernama “Bayang”. Tradisi puitik seperti
ini kini kian menghilang dengan munculnya nama-nama
tentara untuk banyak jalan, dan nama-nama dari bahasa
Arab atau Barat untuk anak-anak kita. Sumpah mati, kita
tidak bisa bicara tentang identitas bersama nama-nama itu.
Setelah tua dan tak berdaya, ikan Padang itu tidak minta
dibungkus dengan plastik untuk menguburnya, tetapi
dengan tenun dan cahaya matahari yang memperlihatkan
geopuisi yang melatari puisi-puisi Deddy. Pilihan yang
melihat tenun sebagai sesuatu yang dihormati. Bukankah
puisi juga merupakan tenunan memori. Tetapi siapa yang
menenunnya dan apa yang ditenunnya. Seseorang aku
dalam tenunan itu, dalam tenunan memori pada puisi,
mungkin adalah seorang kita juga. Seorang aku yang dalam
puisi Deddy (Sajak Kehilangan Tahi), dikatakan seperti ini:
Aku cendol yang dikacau ketika langit runtuh, orangorang
bunuh diri di kandang sapi,
dan jalan raya dipenuhi huru-hara hujan api
Cara saya membaca puisi-puisi Deddy, memilih
tema-tema dan strategi puisi yang dijalankannya, mungkin
juga adalah bagian dari tenunan itu. Tenunan dalam sebuah
ruang yang tidak pernah mengantar seseorang aku bertemu
dengan kekiniannya. Bahkan untuk bertemu dengan masa
lalunya sendiri menjadi sesuatu yang melukai:
Kau akan mendapati gerbang kota masa lalumu seperti
pintu pasar malam.
Aku memesan sepatu hitam dari kulit sapi, menyiletnyilet
kulit dagingku sendiri.
…
Kita terus terjebak dalam labirin yang berbeda, kedai
kelontong dan tong
setan itu tidak pernah bertemu di tempat yang sama
(“Kedai Kelontong dan Tong Setan”)
Kompleksitas geopuisi itu tidak berarti tidak bisa
diredakan. Pada beberapa puisinya, saya masih bisa
menikmati detilnya, napas jalan atau dedaunan: 44 kelok menjelang sampai, sedikit di atas danau, kita bersepeda pulang dari pasar, menukar manis tebu dengan ini bawaan: sekarung
kapas yang ringan (“Di Maninjau”). Rasa berat dan rasa
ringan yang bahasa sendiri tidak memiliki ukurannya.
Atau rasa manis yang tidak bisa kita dapatkan
bayangannya dari bahasa: Singgalang gula tebu, yang manis
ambil olehmu, sepahnya o biar tinggal pada kami (“Singgalang
Gula Tebu”).
Geopuisi itu masih menyimpan identitas yang lain.
Identitas yang mungkin akan tetap ada selama kita masih
bisa bertemu dengan kapas atau tebu. Identitas yang
melekat pada realitas natur kita sendiri. Natur yang oleh
perekonomian modern hanya dilihat sebagai komersialisasi
sumber-sumber alam. Komersialisasi yang membuat
geopuisi ikut terseret sebagai durasi yang terus berlalu, "Di
atas kepala mereka di kemudian masa, pesawat-pesawat
menerbangkan kopra dan turis-turis Eropa" (“Sunting Nias”).
Durasi yang tidak pernah menghasilkan kekinian, hanya
menghasilkan sesuatu yang terus berlalu sebagai sampah
waktu, bukan sebagai produk waktu.
Puisi bekerja bolak-balik untuk menemui memori
yang telah berlalu itu sebagai semacam melankoli waktu
bersama dengan ironinya. Sebuah perjalanan ke Sibolga,
bis merangkak mendaki menuju Toba, tidak hanya
mengangkut romantika di dalam bis antara perempuan dan
lelaki, tetapi juga ikut mengangkut penyair Sitor
Situmorang, permainan kartu domino di warung-warung
kopi dan sambal lada hijau itik serati (“Setelah Sibolga”).
Memori yang ditemui (atau bertemu) dalam satu garis
ingatan semiotik, semuanya diangkut sebagai kendaraan
khas dalam lalu-lintas yang hidup di ruang yang terus
berlalu itu. Puisi menjadi sibuk dalam lalu-lintas memori
seperti ini, sebagai representasi bahwa kita membutuhkan
nama, membutuhkan cerita, dan membutuhkan sesuatu
yang ditandai sebagai substansi maupun sebagai bentuk
dalam kehidupan narasi kita.
Puisi menciptakan waktunya sendiri, durasi yang
khas, yang berbeda dengan durasi prosa. Waktu pada puisi
tidak dilihat sebagai geometri dari bagaimana sesuatu
dideskripsikan menjadi alur narasi. Waktu pada puisi
merupakan perjalanan “me-nama-i” memori dengan
mengubah memori menjadi gema dari imaji-imaji.
Hubungan dengan nama merupakan laten sekaligus
fundamental pada puisi, yang berbeda dengan cerita pada
prosa. Nama dan cerita kadang bertemu, sama seperti
bertemunya prosa dan puisi ketika mobilitas ruang dan
waktu tidak lagi menghasilkan durasi untuk merekam,
menyimpan dan membacanya. Puisi dan prosa tidak
mendapatkan durasi untuk bertemu dengan kekinian.
Durasi yang terus berlalu itu seperti cuaca buruk
yang merusak apa saja. Termasuk bahasa. Beberapa kata
yang digunakan Deddy dalam puisi-puisinya, untuk saya
menjelma menjadi sebuah indeks yang juga telah berlalu.
Arti dan bunyinya menjadi asing sama sekali atau justru
menjadi baru sama sekali. Beberapa kata itu misalnya:
belanga, giwang, rembang, umang-umang, cangkang, lipan,
rumput sialang, dangau, tiram, mersik, gardamunggu, getah
peramu, mejan, tawas, pekak, sangai, rukuruku, lemang,
tempuling, pesong, angin samun, pincalang, miang atau pantek.
Kata-kata yang pada satu sisi memperlihatkan indeks
ketidaktahuan saya sebagai pembaca dan sebagai pemakai
bahasa Indonesia. Pada sisi lain memperlihatkan
perbedaan geopuisi antara puisi dengan pembacanya.
Geopuisi yang terus berkejaran dengan perubahan dan
sesuatu yang terus berlalu terus-menerus. Sesuatu yang
terus berlalu terus-menerus ini, sekaligus sebagai perbedaan
geopuisi, juga muncul dalam salah satu puisi Deddy sebagai
ironi: Seorang Padang kampungan bercerita begini: Aku
menunggu taksi di Condet lama sekali, tapi yang datang bendi.
Hah, mana kudamu, Kuda? Tertinggal di Gambir. Jakarta
pantek ini menelan bensin berjuta galon (“Kuda Bawah
Tanah”).
Bahasa yang terus berlalu itu, dalam puisi Deddy
sendiri disebut sebagai “Kata-kata terus patah di masa
depan”: Aku terjebak dalam hutan patahan kata ini. Tapi di
mana-mana tidak ada engkau. Tak ada engkau dalam bahasa
(“Hutan Patahan Kata”). Seseorang aku juga sebenarnya
tidak mungkin ada dalam hutan patahan kata seperti itu.
Hutan dari kekinian yang terus berlalu, dicurigai,
mengalami banyak kesulitan untuk mendapatkan
representasinya atau reproduksinya. Durasi kata di sini
menjadi semacam epidemi makna.
Nama-nama kota dalam sajak seperti riwayat yang
dipisahkan dari penuturnya … berapa lama nama-nama kota
itu bertahan dalam sajak? (“Nama-nama Kota dalam Sajak”).
Puisi ini tidak hanya menjelaskan bagaimana epidemi
makna mengancam usia sebuah nama untuk sebuah kota.
Tetapi sekaligus juga merupakan “catatan kaki” yang
menggelisahkan: apakah nama-nama itu masih memiliki
riwayatnya, karena memang sebagian besar judul puisi
dalam puisi-puisi Deddy ini menggunakan nama kota atau
daerah (Padang, Pasir Painan, Pariaman, Bengkulu, Pulau
Galang, Nias, Singgalang, Silungkang, Binjai, Maninjau,
Pasar Kambang, Sibolga). Dan memang tidak cukup untuk
pembaca menemukan sebuah kota di balik nama-nama itu.
Kota tidak hanya merupakan kenyataan dari riwayat yang
dipisahkan dari penuturnya, tetapi kota juga sekaligus telah
kehilangan riwayat dan para penuturnya sendiri. Ketika
saya mulai bertemu dengan puisi “Odong-Odong Fort de
Kock”, yang dijadikan judul untuk buku puisi ini, saya
berharap puisi ini akan membuat terang kenapa buku ini
diberi judul yang sama. Ternyata saya tetap tidak memiliki
imajinasi tentang Fort de Kock. Istilah ini mungkin bisa
sama artinya sebagai “surga” atau “neraka” untuk anakanak
(Aku menangis ingin naik odong-odong di Fort de Kock,
ibu memukulku dengan tangkai sapu sampai tersudu). Atau
seperti ungkapan dalam puisinya yang lain, jangan
ucapkan keinginanmu dalam berdoa: doa-doa seperti milik
setan (“Anak Ayah”). Memang, bukankah keinginan
menjadi sesuatu yang celaka dari kekinian yang terus
berlalu.
Usia kata, usia nama, usia ingatan menjadi sama
rawannya dengan usia kota atau usia seseorang aku
mendapatkan durasinya untuk tumbuh dan bertemu
dengan kekiniannya. Masa lalu dalam konsep waktu kita
adalah sesuatu yang diletakkan di belakang. Sesuatu yang
kita andaikan tidak ikut terangkut bersama dengan
kekinian. Konsep waktu seperti ini, yang membiarkan
sesuatu terus berlalu dan menjadi masa lalu, tidak
memberikan fondasi yang bisa mengkonstruksi masa kini.
Masa kini seperti ruang yang mengapung. Diskontinyuitas
terhadap masa lalu dalam konsep waktu historis kita,
dengan sendirinya membuat masa kini kehilangan
referennya. Referennya diletakkan sebagai proyeksi ke masa
depan yang bahkan juga tidak terbayangkan.
Pengalaman saya membaca puisi-puisi Deddy
Arsya ini akhirnya memang bertemu dengan biodatanya.
Angka-angka 1987 (Deddy), 1957 (saya), 30 tahun, 24 tahun
(Deddy) dan 54 tahun (saya) menjadi angka-angka dimana
saya membaca puisi-puisi Deddy seperti saya membaca diri
saya sendiri yang telah berlalu. Penyair membaca penyair
yang lain. Sesuatu yang sebenarnya baik, tetapi juga
berbahaya. Berbahaya kalau saya memiliki prasangkaprasangka
puitik dalam membaca puisi orang lain. Saya
harus bertemu dengan puisi Deddy melalui proses
penundaan terhadap prasangka-prasangka ini. Saya merasa
terselamatkan ketika saya menemukan sebuah ruang lain
dari geopuisi yang ditawarkan Deddy. Sebuah ruang yang
belum pernah saya alami, karena hampir sepanjang hidup
saya tinggal di kota.
Ruang itu terasa samar-samar, tetapi penting, dan
saya kira akan sangat menentukan pembaca untuk
membaca puisi-puisi Deddy, juga menentukan bagaimana
Deddy melihat geopuisinya sendiri:
sampai di mana kau akan tahan menyelam,
dekat membayang tapi sesungguhnya dalam.
(“Ikan Kolam”)
Ada 2 atau 3 puisi lain yang membicarakan ruang
seperti itu. “Ruang dalam” yang ada “di luar”, dan hanya
bisa dilihat dari dalam. Dari luar hanya terlihat topinya
saja, seperti tentara yang bersembunyi dalam semak belukar
saat perang (Penembak Arah Bidikan). Ruang dari metafor
antara sungai dengan dasarnya, antara dasar sungai
dengan ikan dalam sungai itu. Tetapi juga metafor dari
ruang di dalam ikan. Ruang dari geopuisi seperti ini menjadi
tidak umum untuk puitika masa kini yang telah menjadi
gerombolan puisi-puisi urban. Gerombolan puisi-puisi
urban yang disebut dalam puisi Deddy sebagai “toko serba
lima ribu”: aku masuki dirimu seperti memasuki toko serba lima
ribu. aku satu set mainan anak-anak, tusuk gigi, dan satu pak
pengorek telinga. ibuku boneka hiu gergaji, ayahku kampak
bermata dua seperti dalam cerita silat di televisi. kau ingin
menyebut nama-nama pemilik bibir yang pernah mengucapkan
cinta dan hidup dalam kenanganmu. tapi orang-orang masuk
dan keluar begitu saja membawa apa saja menjauh dari pintu.
Realitas urban kita sebagai representansi dari durasi
yang terus berlalu itu, memang mirip dengan rumah tangga
yang serba 500 ribu perak itu. Sebuah ruang kehidupan
yang semuanya diseragamkan dalam bentuk seakan-akan
ada demokrasi pada cara hidup kita, pada cara bagaimana
kita memasuki hukum pasar. Sebuah ritus urban dimana
seluruh agama berada di dalamnya dan ikut mengambil
keuntungan di dalamnya. Pasar itu tumbuh menjadi kapal
besar dimana seseorang (dalam bentuknya yang jamak)
dikendalikan di dalamnya. Ada banyak pilihan untuk
membeli indomie dalam berbagai merek dan kemasan.
Tetapi semuanya intinya sama, sebagai mie instan. Mie yang
melupakan dan kita tidak perlu lagi mengingat cara-cara
membuat mie. Pasar yang melenakan: Tak ada siuman yang
bisa menyembuhkanmu dari lupa abadi (“Kedai Kelontong dan
Tong Setan”).
Pembaca memang harus menyusun kembali
geopuisi itu, menyusun kembali bagaimana seorang aku
menandai ruang hidupnya. Pengalaman membaca ini
menjadi lain ketika saya mengubah durasi pembacaan saya
menjadi cepat. Setip objek seperti tertinggal dalam
narasinya yang terpenggal, terpotong. Dalam durasi ini
yang tinggal hanya imaji-imaji suara yang gaduh, makna
yang tidak sempat berkembang, objek yang tidak
mendapatkan durasinya sendiri untuk tumbuh. Hasilnya
lebih ekstrim: waktu menjadi tidak cukup untuk mengalami
makna sebagai pengalaman tubuhku. Atau: waktu menjadi
tidak cukup untuk mengalami memori dalam puisi dengan
memoriku sendiri. Semuanya tidak hanya bergerak sebagai
sesuatu yang berlalu, tetapi juga sebagai yang terus pergi.
Pergi dan kembali untuk melukai.
Aku telah pergi dari rumah untuk memancing. Aku
tidak memancing dalam rumahku sendiri. Aku memancing
di kolam ikan. Tetapi yang terpancing olehku tetap sama:
bola mata ibuku (“Pertengkaran Semalam Suntuk”). Puisi
berjalan bolak-bolak untuk membangun memori dari
kekiniannya sendiri. Tetapi bolak-balik juga ia seperti ditarik
kembali ke belakang. Ditarik kembali ke dalam rumah, ke
dalam agama, ke dalam sejarah. Bolak-balik yang
menghancurkan memori dan sekaligus menghancurkan
kekinian. Bolak-balik untuk memenjarakan memori dalam
sejarah yang negatif terhadap masa kini. Tetapi juga negatif
terhadap masa lalunya sendiri. Ruang waktu yang rawan,
yang tidak bisa mereproduksi realitasnya sendiri. Dia harus
meminjam realitas lain sambil menyalahi realitas yang
dipinjamnya itu.
Penyair masa kini seperti harus berhadapan dengan
epidemi pendeknya usia makna seperti ini. Dia bergantung
pada satu soal penting: apa yang mendasari sejarah untuk
bisa mereproduksi realitasnya sendiri. Perkembangan
media-media elektronik membuat durasi yang lebih cepat
lagi untuk menciptakan masa kini sebagai waktu dan
sebagai ruang yang terus berlalu. Puisi seperti didesak untuk
mengambil jalan kegilaan pada satu sisi. Atau mengambil
jalan sunyi pada sisi lainnya: kembali pada tebu, kembali
ke dalam perut cacing. Kembali kepada suara yang belum
memiliki bunyinya. Kenyataan ini berlangsung bersamaan
dengan strategi narasi yang semakin banyak dilakukan
banyak penyair: menggunakan prosa untuk menulis puisi,
atau memaksa diri menulis puisi yang kehilangan puisi,
hanya karena khawatir hilangnya kepercayaan kepada
identitas puisi. Identitas itu mungkin hanya tertunda oleh
hiruk-pikuk di sekitar kita yang telah mengambil apa pun
dari kita, untuk tidak berdaya.
Yogyakarta, 21 Agustus 2011
(Afrizal Malna, penyair dan esais, tinggal di Yogyakarta.)



Comments
Post a Comment