Pialang Oh Tukang Pakang

Orang tidak membenci pedagang, tetapi orang membenci pialang. 

Pialang, pedagang juga, tetapi dari jenis pedagang perantara. Mereka yang berada di antara “kulit dan batang pohon”, tulis Christine Dobbin, seorang sejarawan. Toke, tengkulak, agen, kadang demikian mereka disebut. Stereotipe terhadap mereka jelek: Tukang Pakang. Kadang, prilaku beberapa dari mereka juga diistilahkan dengan ‘menembak di atas kuda’. Tidak banyak berjerih-jerih, tetapi dapat untung lebih. Prilaku yang sangat Melayu dalam pandangan Eropa. 

Johanes van de Bosch menulis berjilid-jilid buku mengenai mereka. Gubernur Sumatera Barat pada periode perang padri itu merasa, bahwa keberhasilan pemerintah kolonial Belanda pada zamannya dalam usaha perdagangan di Sumatera Barat bisa tercapai kalau kelompok-kelompok pedagang tertentu yang bekerja di Minangkabau dapat disingkirkan. 

Siapa kelompok pedagang tertentu itu? Mereka yang harus disingkirkan, dalam pandangan van de Bosch, adalah para pialang. Keberadaan mereka menimbulkan efek buruk bagi kemajuan perdagangan; sebab mereka berpotensi memecahkan dominasi-monopoli pemerintah kolonial. Ketika sistem tanam paksa kopi diberlakukan, misalnya, mereka mencari nafkah dengan cara membeli dan menimbun kopi di dataran tinggi untuk kemudian menjualnya dengan harga yang mahal ke pesisir pantai. 

Mereka terkenal pandai memainkan harga komoditas di tingkat pasar. Fluktuasi harga kadang bisa tergantung pada kelompok ini. Langka atau tidak suatu komoditas dagang bisa mereka tentukan, atau setidak-tidaknya dapat mereka akali. Mereka penimbun. Main tarik-ulur dengan pasar. Pemerintah kolonial Belanda mereka buat pusing jika harus tergantung pada mereka. 

J. C. Boehouwer, letnan infantri Belanda yang bertugas di Sumatera Barat pada periode padri, periode yang sama, mengungkapkan, bahwa para pialang itu licik. Mereka mempunyai kebiasaan membenamkan karung-karung berisi kopi ke dalam air apabila sudah hampir sampai ditempat yang dituju untuk menambah beratnya. Akibatnya, kualitas kopi menjadi jauh menurun; pemerintah sebagai pedagang besar pada akhirnya harus bekerja lebih untuk mengeringkan kopi itu kembali, dengan timbangan akhir yang tentu saja telah jauh susut. Pemerintah dengan demikian dibuat rugi. 

Mereka, selain itu, juga banyak menipu sukatan, memanipulasi timbangan, dengan cara mencampur kopi dengan jagung. Petani produsen adalah korbannya, tetapi di sisi lain juga pedagang besar atau pedagang pengumpul, dalam hal ini pemerintah kolonial. Dan termasuk pada akhirnya sampai pada mata rantai paling terakhir bernama konsumen. Pengaruh terhadap yang terakhir ini disebabkan karena beban harga pada tahap ini menjadi tinggi. 

Oleh sebab itu, mereka, sekali lagi van de Bosch, harus dikeluarkan dari mata rantai perdagangan. Keberadaan mereka hanya akan menambah beban harga, membengkakkan nomina penjualan di pasaran. Pedagang perantara harus dilenyapkan, dengan cara membeli langsung, ke petani produsen. 

Namun, bisakah kaum pialang ini dilenyapkan? 

Pada abad ke-19, ketika perdagangan kopi sedang jaya di Sumatera Barat, pialang pun banyak bermunculan. Mereka hanya ingin menghindari tanam paksa kopi; mereka menghindar dari jadi petani yang terikat paksaan pemerintah kolonial. 

Pialang memang kelas yang lebih bebas, tingkat mobilitas mereka tinggi, dan oleh sebab itu kelas ini lebih cerdik—kadang mereka memang dituntut cerdik. 

Di sisi lain, mereka jadi pialang karena tidak punya tanah yang cukup di kampung. Pun tidak punya modal besar untuk jadi pedagang besar. Usaha mereka lahir dari utang ke utang. 

Tak heran, pialang, pedagang jenis ini, jarang yang bisa kaya, demikian laporan seorang Belanda lain, Maurik van Hautsen. Mereka datang dari kampung-kampung Minangkabau juga, dan mereka lebih memilih tinggal berhimpit-himpitan di Kota Padang—atau di kota-kota dagang lainnnya—bersempit-sempitan di rumah kontrakan yang kecil di Pasar Gadang. 

Pemerintah Belanda hampir dibuat jera oleh mereka. Mereka sekali, bahkan berkali-kali, pernah diberi pinjaman modal untuk mencarikan komoditas dagang ke petani produsen, tetapi jarang yang betul-betul kembali, mereka melarikan pinjaman itu. Maka tidak pula aneh, justifikasi atas mereka lebih sering terdengar buruk: penipu, suka melarikan utang—justifikasi yang berasal dari pihak kolonial tentu saja. Atas pengalaman pemerintah itu maka, seperti yang disebutkan di awal, van de Bosch hendak melenyapkan mereka. Tetapi, sekali lagi, bisakah mata rantai yang melibatkan pedagang perantara itu diputus? 

Sistem perdagangan dengan perantara terus berlanjut setelah de Bosch, bahkan berlanjut jauh setelah itu. Memang, tidak mungkin untuk para petani perorangan membawa hasil pertaniannya ke depot-depot yang jauh, ke pasar-pasar yang butuh perjalanan panjang. Mereka tetap memerlukan pedagang perantara. Tidak mungkin pula pedagang besar membeli langsung ke petani produsen, hal demikian membutuhkan tenaga yang lebih pula. 

Pialang, dalam dunia kita sekarang, masih hidup sebagai bagian dari denyut kehidupan ekonomi. Sekali-kali mereka disalahkan sebagai kambing hitam naiknya harga bawang, melambungnya harga cabai, atau tak terjangkaunya harga daging. Tetapi benarkah mereka yang menyebabkan semua itu? Tidakkah pemerintah seharusnya punya kekuatan melindungi harga? Telah beberapa kali pedagang jenis ini hendak dihilangkan dari mata rantai perdagangan, tetapi lihatlah, sejarah bilang, mereka tidak bisa dibunuh. Pialang niscaya ada, bahkan mereka roda yang berputar, yang menggerakkan ekonomi kita. Mereka pemain jangkar, ‘pengangkut air’ dalam sebuah tim sepakbola. 

Padang, 2013

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini