Pertentangan Tiada Ujung

Pengantar untuk buku Kisah Anak Muda karya S. Metron M.

Oleh Deddy Arsya

Thawalib tengah menjadi tuan rumah sebuah pesta besar: lomba tahunan, musabaqah antar sekolah. Pesertanya di antaranya ada murid-murid Adabiah dari Padang, Sekolah Raja dari Bukittinggi, dan utusan dari sekolah kaum tua di Canduang. Berbagai cabang dipertandingkan, mulai dari lomba pidato, baca Quran, lomba mading, drama, hingga sepakbola. Para murid-murid Thawalib sibuk, guru-guru juga tidak bisa tidak ikut sibuk mengakomodir jalannya acara.

Namun, berbagai permasalahan kemudian berderun bagai hujan turun tepat setelah Guru Kepala membuka acara secara resmi. Sudah sejak awal, konflik tiada putus-putus hadir. Mulai dari panggung yang beberapa kali roboh. Keterlambatan utusan dari Padang karena pedati yang tidak mampu mendaki Silaiang akibat jalan berlumpur diguyur hujan dua hari berturut-turut. Properti untuk sandiwara yang hilang, rebana yang tidak cukup. Sepanjang acara, protes berletusan dari berbagai pihak. Pihak Belanda protes karena pejabatnya tidak disediakan kursi pada waktu pembukaan. Protes utusan Sekolah Raja karena perempuan tidak diperbolehkan ikut serta padahal mereka sudah menyiapkan kontingen perempuan. Protes soal menu makanan yang disediakan panitia yang menyebabkan kontingen dari Padang mencret-mencret. Protes soal jumlah kamar mandi yang tidak mencukupi sehingga banyak yang tidak kebagian mandi. Hingga memuncak menjadi perkelahian antar suporter pada pertandingan sepakbola.

Di tengah galau-gebalau keadaan itu, Thawalib sebagai tuan rumah bukannya tidak siap. Acara besar itu sudah dipersiapkan sejak enam bulan yang lewat. Tapi tuan rumah seperti tengah berperang dengan diri mereka sendiri. Perbedaan pandangan di antara orang-orang Thawalib sendiri menyebabkan persoalan menjadi semakin rumit bagai kumparan benang kusut tak terselesaikan.

Gerhana di Thawalib adalah tentang perbedaan pandangan itu. Perbedaan pandangan di antara guru-guru dan murid-murid yang semakin meruncing dalam sebuah lembaga pendidikan. Guru mengajarkan kebebasan berpikir kepada murid-muridnya, tetapi di sisi yang berbeda dia cemas akan akibat yang dihasilkan dari kebebasan yang diajarkannya itu. Guru Kepala dalam sebuah dialog mengatakan, “Kebebasan berpikir dan bertindak sudah kutanamkan sejak sekolah ini didirikan.” Tetapi di dialog kemudian, dia menyangsikan tindakannya itu. “Sedemikian keraskah pilihan itu?” kata Sang Guru ketika murid-muridnya kemudian mulai memilih jalan yang berbeda dengannya. “Guru sendiri pernah bilang, pikiran yang bebas adalah semerdeka-merdekanya diri,” kata seorang murid mengetengahkan antitesisnya. Naskah ini, seperti hendak mengatakan bahwa ‘merdeka’ juga punya implikasi yang tidak terduga, ‘kebebasan’ punya resikonya sendiri yang harus ditanggungkan. Seperti mengamini diktum Karl Marx yang terkenal, “manusia memang dapat membuat sejarah, tetapi mereka tidak bisa sekehendak hati.” Resiko dari kekebasan berpikir itu adalah perbedaan pandangan yang tak terdamaikan, yang pada ujungnya juga menciptakan perbedaan sikap dan tindakan.

Murid-murid yang menyeberang atau berseberangan dengan guru merupakan pandangan umum dalam naskah ini. Selalu ada antitesis dari sang murid untuk membantah tesis sang guru, begitupun sebaliknya. Kadang-kadang, guru kewalahan meladeni ‘perbedaan pandangan’ dengan murid-muridnya sendiri. Perbedaan pandangan bahkan tidak saja antara murid dan guru, tetapi juga antara murid sesama murid, atau guru dengan guru, dan itu terjadi hampir sepanjang naskah. Sulit menemukan kata sepakat, ketika kesepakatan berhasil dibuat, kesepakatan itu mentah lagi oleh perbedaan yang lain. Naskah ini seperti debat yang panjang, yang seperti akan tiada akhir.

Kadang-kadang, membaca naskah lakon ini, sulit untuk menghindar dari tidak mengingat Perguruan—satu bagian dari Empat Lakon Perang Padri karya Wisran Hadi. Lakon ini juga berkisah tentang perbenturan pemahaman dan sikap, tetapi di lingkungan perguruan Tuanku nan Tuo di Cangkiang. Bukan pada awal abad ke-20, tetapi berjarak seabad sebelum itu. Perbedaan pandangan antara Tuanku nan Tuo sendiri dengan murid-muridnya, atau antara murid dengan sesama murid, dalam menanggapi realitas sejarah yang berubah dengan cepat pada awal abad ke-19 seiring masuknya pengaruh haji-haji yang baru pulang dari Makkah membawa pemahaman Islam yang bercorak puritan.

Pola kedua naskah hampir mirip. Sebagaimana dalam lakon Perguruan, dalam Gerhana di Thawalib, selain soal perbenturan pandangan yang tiada henti itu, kita juga menemukan soal-soal itu terjewantahkan dalam bentuk pengkhianatan. Ada kecurigaan sesama. Ada murid-murid yang melakukan protes dengan cara membikin petisi. Ada pula tangan-tangan kekuasaan yang hendak mencampuri urusan interen sekolah. Pola-pola yang hampir seluruhnya juga akan kita temukan dalam Perguruan. Hanya pelaku-pelakunya dan kondisi-kondisi sejarahnya saja yang berganti. Jika pada Perguruan, misalnya, kekuasaan yang ingin campur tangan itu terepresentasi pada dubalang sebagai perpanjangan kekuasaan kaum adat, dalam Gerhana di Thawalib kekuasaan terepresentasi pada tentara-tentara Belanda. Jika Perguruan berseting awal abad ke-19, maka Gerhana di Thawalib berlatar awal abad ke-20 .

Membandingkan kedua naskah ini secara sepintas membuktikan bahwa sejarah ternyata memiliki pola-pola yang berulang. Sejarah masyarakat Minangkabau awal abad ke-19 dan awal abad ke-20 memiliki kesamaan pola sekalipun di antara keduanya berjarak lebih seabad. Baik pada Perguruan maupun pada Gerhana di Thawalib, perbedaan pandangan di antara sesama mereka menghancur-leburkan diri mereka sendiri.

***
Gerhana di Thawalib, sekalipun tidak ada keterangan tahun disebutkan dalam naskah, bisa dikira-kirakan, berbicara tentang sebuah fase dalam sejarah Minangkabau, pada dua dasawarsa awal abad ke-20. Thawalib mungkin merujuk kepada Sumatera Thawalib, sebuah sekolah Islam modern dengan sistem klas yang didirikan pada tahun 1918 di Padangpanjang, pengembangan dari Surau Jembatan Besi. Nama Haji Rasul sering dihubung-hubungkan sebagai pimpinan sekolah ini yang pertama.

Tokoh Guru Kepala dalam naskah ini sendiri terlihat merepresentasikan Haji Rasul. Dia memang secara langsung pernah menjadi Kepala Sekolah itu pada sekitaran tahun 1918, sejak sekolah ini mulai berdiri, sampai dia mengundurkan diri dari sekolah pada tahun 1922 akibat tidak senang pada penetrasi komunis yang semakin kuat di kalangan siswa dan guru. Representasi Guru Kepala sebagai Haji Rasul semakin ditegaskan oleh keberadaan tokoh Malik, anak Guru Kepala dalam naskah ini, yang barangkali merujuk pada Hamka dalam realitas sejarah, yang di masa kecil dan remajanya juga dipanggil dengan nama yang sama. Guru Kepala dalam naskah itu juga disebut “Pelindung Muhamadiyah”, siapa lagi yang membawa Muhamadiyah ke Sumatera Barat kalau bukan Haji Rasul yang kemudian memutuskan tidak menjadi bagian dari kepengurusan tetapi hanya memilih untuk berada di luar lakon, sebagai ‘pelindung’—kalau kita mengikuti alur berpikir naskah ini.

Namun, sebagai karya fiksi yang berangkat dari realitas sejarah, naskah ini pada beberapa tempat justru melabrak logika sejarah atau nampak mengabaikan kronologi historis pada beberapa bagian. Sepakbola, voetbal, misalnya, masih terlarang di Thawalib ketika Haji Rasul menjadi pimpinannya. Haji Rasul sendiri ‘pembenci’ sepakbola, yang dengan keras melarang murid-murid Thawalib untuk memainkan permainan itu apalagi di lingkungan sekolah. Kebiasaan pada tahun 1922, sepakbola masihlah permainan kasar ‘beradu kaki’ yang kerap menstimulasi perkelahian. Hamka menulis mengenai sikap ayahnya itu bahwa Haji Rasul sendiri “menghukumkan main bal itu haram”. Maka akan terasa janggal terasa kalau salah satu cabang perlombaan utama di Thawalib, dalam naskah itu, adalah cabang sepakbola.

Di bagian lain, akan di luar alur berpikir sejarah jika murid-murid dari Padang terlambat mengikuti acara lomba karena pedati yang mereka tumpangi mogok tidak bisa mendaki di Silaiang karena jalan licin. Pedati sudah lama ditinggalkan sebagai alat angkut massal manusia, apalagi untuk perjalanan sejauh dari Padang ke Padangpanjang. Sebab kereta api telah menjadi angkutan umum sejak 1893 di Sumatera Barat, bukan hanya untuk mengangkut batubara atau komoditas lainnya, tetapi juga telah dipergunakan untuk angkutan massal manusia tidak lama setelah kemunculannya. Tidak saja sebagai alat angkut orang-orang Belanda, tetapi juga pribumi telah diperbolehkan menikmati fasilitas ini, sekalipun perbedaan rasial akan tampak mencolok di atas angkutan ini. Di samping itu, bukan saja kereta api, angkutan mobil yang juga telah didatangkan dari Singapura sejak 1904. Untuk yang terakhir ini, catatan sejarah mengatakan bahwa pada awal 1920an telah terdapat lebih 3000 angkutan mobil di Sumatera Barat, pada akhir dasawarsa yang sama jumlah mobil telah mencapai angka 7000 (lihat Colombijn, atau Asnan). Jika pun pedati masih dipakai, itu hanyalah sebagai alat angkut jarak pendek untuk jalur menuju stasiun kereta dan tempat pemberhentian mobil angkutan. Dunia transportasi di Sumatera Barat pada periode itu, kesimpulan beberapa sejarawan, adalah yang paling maju di antara daerah-daerah di luar Jawa.

Akan anakronistis pula jika Guru Kepala dan beberapa murid, dalam naskah itu disebutkan, sudah mengadopsi Muhamadiyah. Sebab realitas sejarah menunjukkan bahwa Mumahadiyah baru diperkenalkan Haji Rasul di Sumatera Barat pada tahun 1925, ketika dia baru pulang dari Jawa. Dengan begitu, Haji Rasul, atau Guru Kepala yang dalam naskah itu disebut sebagai ‘Pelindung Muhamadiyah’, sudah tidak mengajar di Thawalib ketika Muhamadiyah mulai diperkenalkannya kepada masyarakat Sumatera Barat. Haji Rasul memang mencoba memperkenalkan Muhamadiyah kepada Thawalib, tetapi itu ketika dia bukan lagi ‘Guru Besar’ di sekolah itu, ketika itu dia sudah hijrah ke Sungai Batang di Maninjau. Usaha Haji Rasul itu sendiri ditolak Thawalib lantaran dianggap organisasi Muhamadiyah ‘kaki tangan imperialisme’ dan dituduh menerima fonds dari pemerintah kolonial. Penolakan itu karena benih-benih komunisme sedang mekar-mekarnya di Thawalib ketika itu.

Entah tepat entah tidak membenturkan realitas fiksi dengan realitas historis. Saya tidak begitu yakin dengan kerja saya ini. Yang jelas, karya fiksi tentu dan memang bisa mengelak dari kebekuan sejarah, menciptakan sejarah alternatif, ketika pemahaman sosial akan masa silam telah menjadi barang mati—bisa dalam artian dikuasai sejarah hasil konstruksi kekuasaan yang menindas. Tetapi jika fiksi bisa mencipta alternatif sejarah di tengah kebekuan sejarah itu sendiri, bisakah kemudian fiksi—fiksi-sejarah pula—melabrak logika historis, yang sudah menjadi ‘fakta keras’ pula?

***
Orang-orang telah lama prihatin kenapa sejarah tidak berhasil menjadi bacaan publik yang luas. Keprihatinan ini memunculkan cabang baru dari ilmu sejarah yang disebut sebagai ‘publik history’, sejarah publik, menciptakan karya-karya sejarah dalam bentuk-bentuk yang masyarakat umum sukai atau yang masyarakat banyak familiar. Bisa dalam bentuk film dokumenter sejarah, film fiksi sejarah, komik-komik sejarah..., termasuk dalam bentuk novel dan naskah lakon yang bertemakan atau berangkat dari sejarah.

Naskah Gerhana di Thawalib, di luar beberapa kerancuan historis di atas, telah mencoba menghadirkan lanskap sejarah ke dalam narasi yang menarik. Naskah lakon ini dengan demikian dapat membantu untuk menjadikan sejarah yang selama ini dipandang ruwet menjadi lebih mudah dicerna kalayak luas. Di samping itu, hal yang juga tidak kalah penting (sekalipun bukan tema baru dalam naskah lakon), naskah ini juga menawarkan wacana kebebasan berpikir dalam dunia pendidikan. Wacana ini bagaimana pun sedikit banyak memberi penyegaran, sebagai oase, di tengah dunia pendidikan kita kini yang serba memaksa, serba mendikte, serba gersang.

Pandai Sikek 2013-11-15

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini