Penjara dalam Roman: Refleksi dari Beberapa Sastrawan

oleh Deddy Arsya

Di antara buku-buku roman yang terbit pada periode kolonial, ada dua buku roman yang, kebetulan kedua-duanya diterbitkan Balai Pustaka, berbicara tentang kehidupan penjara di Sumatera’s Westkust. Keduanya ditulis sastrawan berdarah Minang. Dua roman ini akan dijadikan model bagaimana sastrawan di wilayah Sumatra’s Westkust, lewat karya-karya mereka memaknai penjara dalam alam pikir mereka. Bagaimana pandangan roman itu terhadap penjara bagaimana pun dianggap sebagai pandangan penulisnya sekalipun pendapat ini juga debatis sifatnya.

Siti Nurbaya karya Marah Roesli

Marah Rusli tidak punya riwayat dipenjarakan. Dia adalah kaum terpelajar yang jauh dari gerakan-gerakan politik. Orangtuanya menyekolahkannya di Sekolah Raja di Bukittinggi, dan kemudian tamat pada tahun 1910. Selama menempuh masa pendidikannya, dia banyak berprestasi sehingga ketika lulus dia dianjurkan oleh gurunya yang bernama Hoornsma untuk belajar ke negeri Belanda. Namun, dengan alasan anak tunggal, orangtuanya tidak mengizinkan. Kesempatan ini digantikan Tan Malaka, seorang pemuda yang kelak akan menjadi tokoh pergerakan nasional. Sementara itu Marah Roesli malah melanjutkan Sekolah Ddokter Hewan di Bogor.[1]

Marah Rusli adalah perantau yang menyimpan dendam pada kampung halaman. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sutan Pangeran. Ayahnya yang bekerja sebagai demang, menjodohkannya dengan gadis kampungnya. Dia menolak dan melarikan diri ke Bogor. Di sanalah dia menyelesaikan novel ini, yang di antaranya berisi cercaan kepada kekolotan adat masyarakat Minangkabau.

Sitti Nurbaja: Kasih tak Sampai,[2] merupakan karya roman yang ditulisnya pada awal abad ke-20. Karya ini berbicara tentang kasih tak sampai antara dua pribumi terpelajar, Siti Nurbaya dan Samsul Bahri. Pada bagian awal novel ini, Marah Roesli menggambarkan keadaan Kota Padang pada awal abad ke-20. Dalam penggambaran itu, Marah Roesli di antaranya menggambarkan kawasan di mana terdapat penjara dan pengadilan.

Marah Rusli menggambarkan Penjara Padang sebagai ‘daerah selatan’. Daerah itu dalam pandangannya adalah kawasan yang menakutkan: “... di ujung selatan tanian ini ada rumah penjara dan di ujung utaranya ada kantor pengadilan, keduanya tempat yang mendatangkan dahsyat dan sedih hati”.[3] Penjara dan pengadilan, dalam pandangan Marah Rusli, digambarkan dalam novel itu, adalah tempat di mana seorang yang belum tentu bersalah mendapat hukuman. Tidak semua orang yang dipenjarakan adalah mereka yang betul-betul bersalah, tetapi juga ada yang dipenjarakan itu tidak bersalah. Marah Rusli menulis: “... apabila diingat beberapa orang yang telah dipenjarakan karena mendapat hukuman di sana, yang barangkali ada juga di antaranya tiada bersalah.”[4] Oleh sebab itu, dalam pandangan Marah Rusli lagi, penjara digambarkan sebagai “tempat yang mendatangkan dahsyat dan sedih hati”.

Tidak pernah jelas, bagaimana Marah Rusli bisa berbicara tentang penjara dalam novelnya. Mungkin saja itu karena dunia penjara telah menjadi hal yang akrab belaka dalam kalangan terpelajar masa itu.

Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis St. Sati

Masih dari kalangan penulis Balai Pustaka, Tulis St Sati juga bukan orang yang pernah punya pengalaman empirik dengan penjara. Nyaris tak ada catatan yang menyatakan dia pernah dipenjarakan. Dia berasal dari elit kelas menengah Minangkabau. Lahir di Bukittinggi pada 1898, semasa hidupnya dia pernah menjadi seorang guru dan pernah pula menjadi salah seorang redaktur di penerbitan Balai Pustaka, sebelum akhirnya berpulang pada 1942.

Dalam roman yang ditulisnya, Sengsara Membawa Nikmat,[5] Tulis St. Sati mendeskripsikan penjara dengan sangat detail, banyak aspek kehidupan para tahanan mendapatkan penggambaran yang menarik di tangannya. Roman ini berbicara tentang seorang pemuda bernama Midun. Dia difitnah telah melakukan kejahatan, lalu dikirim dari darek Minangkabau dengan tangan terbelenggu masuk penjara di Padang. Pengalaman tokoh Midun dalam Penjara Padang mendapat proporsi yang signifikan dalam novel ini, dari bersoal perlakukan terhadap tahanan, makanan, pakaian, hingga pekerjaan.

Gambaran Marah Rusli tentang Penjara Padang yang telah dibicarakan di awal dilanjutkan oleh St. Sati dalam novel ini. Dalam pandangan St. Sati, penjara tetaplah daerah selatan, yang angker dan menakutkan. Penjara memberi nyeri ketika mengingatnya. Penjara adalah “...neraka yang kedua”, sebab tidak penjaga saja yang mengazab kita, “tetapi sama-sama orang hukuman pun begitu pula”, tulis St Sati.[6]

______________________________________
[1] Setamat dari sekolah dokter hewan di Bogor, Marah Roesli diangkat menjadi ajunct dokter hewan di Sumbawa Besar. Selama masa tugasnya di Sumbawa itulah, ia menulis sebuah novel sebagai tanda terima kasihnya kepada penduduk Sumbawa yang telah banyak membantu selama ia tinggal di pulau itu. Novel yang ia juduli La Hami ini mengisahkan kehidupan masyarakat di Sumbawa. Tahun 1916 Marah Roesli menjabat Kepala Perhewanan di Bima. Selepas itu ia pindah menjadi kepala peternakan hewan kecildi Bandung, kemudian mengepalai daerah perhewanan di Blitar Tahun 1918. Tahun 1920 Marah Roesli menjadi asisten dokter di almamaternya. Setahun kemudian, ia hijrah ke Jakarta menjadi dokter hewan, dan pindah ke Baliga (Tapanuli) tahun 1925.Selama masa revolusi Marah Roesli tinggal di Solo. Pada tahun 1946 masuk ALRI yang mengurus pengangkutan angkatan darat,pertanian, perhewanan, dan perikanan, serta makanan awet untuk keperluan ALRI Tegal. Selain itu, ia melatih pegawai-pegawai kehewanan. Pada tahun 1948 Marah Roesli menjadi dosen Sekolah Dokter Hewan di Klaten. Tahun 1950 di Semarang menjabat kepala perekonomian dan pendiri Voetbalbond “perkumpulan sepak bola” dan pernah menjabat sebagai komisaris PSSI di Semarang. Marah Roesli pensiun sebagai Dokter Hewan Kepala pada tahun 1952. Lihat: Yudiono KS, Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2008 ), hlm.73

[2] Diterbitkan pertama kali tahun 1922 oleh penerbit Balai Pustaka. Sejak diterbitkan, karya ini ramai diperbincangkan. Karya ini dicetak ulang beberapa kali. Dalam tulisan ini dipakai cetakan yang ke-47. Marah Rusli, Siti Nurbaya (Jakarta: Balai Pustaka, 2010).
[3] Marah Rusli, Siti Nurbaya, hlm.30
[4] Marah Rusli, Siti Nurbaya, hlm.31
[5] Diterbitkan pertama kali tahun 1929, novel ini telah dicetak ulang beberapa kali. Roman ini begitu terkenal di masa-masa kemudian dalam kesastraan Indonesia merdeka, difilmkan oleh TVRI, dan dialih-teks-kan oleh tukang kaba sebagai kaba Si Midun dan Si Kacak. Dalam tulisan ini dipakai cetakan yang ke-20, Tulis Sutan Sati, Sengsara Membawa Nikmat (Jakarta, Balai Pustaka, 2010)
[6] Tulis Sutan Sati, Sengsara... hlm. 89

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini