Pemberontak
Oleh Deddy Arsya
KATA orang, ayahnya mati disembelih di suatu petang, kelaminnya hilang. Tetapi ia hanya tahu dari ibunya, ayah hanyut dibawa bah, dan jasadnya tak pernah ditemukan. Seperti lenyap begitu saja dibawa hantu air ke muara.
***
SEKALI malam, seorang tua hadir dalam mimpi seorang prajurit dari kesatuan itu. Di malam berikutnya, seorang lagi didatangi mimpi yang serupa. Seorang lagi, seorang lagi, dan lagi.
Dalam mimpi itu, seorang tua mengenakan jubah putih panjang berkilauan. Jubahnya menjela-jela hingga tiga depa ke belakang. Ia menghadap kilauan cahaya yang menusuk-nusuk, tajam, serupa jari-jari kereta. Dari arah kilauan cahaya itu, serupa serbuan lebah, beribu-ribu butir, berjuta-juta mungkin, peluru berlepasan.
Ajaib!
Butir-butir peluru itu berguguran, ke tanah, tak sempat menyentuh tubuh orang tua itu.
Lalu, lalu… Ilmu mengembalikan peluru lantas menjadi ngiang di telinga setiap prajurit dari kesatuan itu. Apalagi setelah setiap dari anggota kesatuan didatangi mimpi yang serupa. Berganti-ganti yang didatangi. Serupa pernah berjanji. Mimpi itu terus berdengung-dengung di setiap pasang telinga. Lagi, seperti lebah. Seperti wabah.
Hingga akhirnya prajurit-prajurit dari kesatuan itu memutuskan naik gunung. Mereka mendatangi kisah-kisah gelap yang ditebarkan orang-orang tua di kampung sunyi itu. Kisah-kisah yang meletus dari bibir janda-janda yang ditinggal mati suami; perempuan–perempuan yang dengan putus asa menyebut diri mereka janda walau tak ada yang pasti tentang hidup-mati (yang suami mereka naik ke rimba-rimba sebagai pemberontak dan belum kembali).
Mereka bercerita tentang puncak-puncak pucat, goa-goa, dan lembah yang konon menyimpan orang sakti. Tentang kisah-kisah lama yang menakjubkan. Tentang seorang syeh yang bisa berjalan di atas air, yang terbang dengan selembar lontar, … ah, ah, ah, entah.
Di malam-malam tertentu. Di hari-hari “baik” yang tak berketentuan. Kemunculan si orang sakti itu dapat dirasakan. Lewat perhitungan bulan, rasi, gelombang awan, gelombang lautan, dan matahari. Dan entah. Prajurit-prajurit dari kesatuan itu tak bisa memahami. Dalam wujud yang tak pernah bisa dipastikan, dan tak terpahami. Semua penuh isyarat. Gerutu burung hantu, kulik elang, pucuk-pucuk yang rukuk (ah, seperti kedatangan malam seribu bulan yang dinantikan). Begitulah cerita orang-orang tua dan perempuan-perempuan janda di kampung sunyi itu kepada prajurit-prajurit dari kesatuan dengan wajah dingin seperti ketakutan.
***
SEKALI, di satu lekuk rimbaraya, seorang prajurit dari kesatuan itu menembak jatuh … entah apa. Mungkin orang, mungkin jin, atau fatamorgana? Seorang pemberontak, seorang pemberontak! Begitu lapornya. Mana tubuhnya? Mana jasadnya?!” bentak komandannya.
Tapi si prajurit datang dengan bibir yang bergoyang-goyang. “Tak ada, tak ada, Pak!” Plak! Tangan besar komandan mendarat di pangkal telinga “Ajaib, ajaib, ajaib, Pak!” Plak! Tangan besar komandan mendarat di pangkal lainnya. “Ketika sampai di tanah, tubuhnya berubah penuh bulu, rahangnya membesar, dan lenyap. Seperti ditelan bumi, Pak!”
“Pandir!” bentak si tuan komandan.
“Tapi, benar?” si tuan mulai merendahkan bunyi.
Hi, ngeri, hi nyeri.
Prajurit-prajurit pucat itu, yang kurang makan dan selalu dibentak tuan komandan (si tuan yang hampir mati karena kecemasan), memutuskan terus naik. Mendatangi yang entah, yang berwujud atau gaib. Ajaib, ajaib! Berhari, berbulan, berpanas, berhujan. Berteman siamang, ayam hutan, erang beruang, lipan, kuau ….
Hingga kesabaran prajurit dari kesatuan itu habislah sudah. Makanan terkandas. Tiada juga bersua ilmu. Ilmu abadi mengembalikan peluru!
***
DI BULAN ke sekian, entah bila, orang-orangtua di kampung kami tak dapat menjelaskan. Prajurit-prajurit itu akhirnya memutuskan kembali, ke barak mereka di tepi kampung arah ke kota. Dengan dada penuh kecewa dan tubuh penat tiada tara. Membawa keyakinan baru: Ilmu tak tertembus peluru hanya cerita-cerita tahayul, mitos-mitos purbani yang tak pernah ada, yang disebarkan orang-orang tua dan para janda yang penuh dendam dan celaka.
Di bulan ke sekian, entah bila, orang-orang tua kampung kami tak dapat menjelaskan, meskipun kami selalu bertanya kapan—sebab bagi kami, kejadian mesti ditandai bila dan masanya. Tetapi mereka berkata: pernah ada!
“Seorang perempuan tidak begitu muda. Mungkin seorang dari janda-janda. Mengetuk lembut kantuk prajurit jaga di gerbang muka. Entah dari mana asalnya, tak seorang dari prajurit-prajurit itu yang tahu. Mereka tiada peduli lagi pada segenap waspada sebagai tentara. Sebab si perempuan ternyata pintar pula menari. Hi hi hi,” begitu kata salah seorang dari orang-orang tua kampung kami.
“Jadilah pesta kecil-kecilan di ruang belakang barak kesatuan. Birahi melonjak-lonjak, kelelakian memberontak ke otak. Perempuan itu lemas tak berdaya dipreteli seperti menyiangi bayam, tahu kalian. Hi hi hi.” Kami, si kalian, yang ketika itu masihlah anak-anak.
“Waktu singkat, birahi padat, tuan komandan nanti membentak. Prajurit-prajurit sentak,” orang tua itu melanjutkan, “tetapi bukan tuan komandan yang datang menyentak, hanya pemberontak-pemberontak yang merompak. Mulanya gerbang muka yang mereka rompak. Letusan besar beberapa kali terdengar. Gudang amunisi terbakar. Dada-dada yang tertikam sangkur. Kepala-kepala yang berlepasan. Peluru dan mortar membuat nganga besar, mentetak-retak apa yang tampak, tahu kalian. Hi hi hi.”
“Tuan komandan, tuan komandan…” masih terdengar jeritan dari prajurit-prajurit yang ketakutan.
***
KETIKA fajar bangkit, pemberontak-pemberontak berdada busung dan kepala mendongak itu telah menyisir seluruh lekuk barak. Mereka menyeret dan mengumpulkan jasad prajurit-prajurit musuh satu persatu di satu tempat.
Di antara jasad prajurit-prajurit yang bergelimpangan, terdapat jasad perempuan penari. Tubuhnya penuh bekas luka. Tangan perempuan itu terkepal, seperti menggenggam. Entah apa, entah siapa, entah ada, entah tak. Dari liang kepalnya itu, warna merah mengalir membentuk garis putus-putus, menetes setitik demi setitik. Warna merah itu, mungkin darah, jelas darah.
Kata orang-orangtua di kampung kami, seorang dari pemberontak itu menghampiri jasad perempuan. Siapakah ia? Prajurit itu tak bernama. Ia mangalihkan pandangannya ke jasad prajurit-prajurit musuh lainnya yang bergeletakan mati. Sejenak, ia alihkan lagi pandang ke jasad perempuan itu lagi, lebih dekat. Ia bersihkan luka-luka di wajah perempuan itu. Ia sibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Dan ia memeluknya. Seperti memeluk ibunya sendiri.
Dan tiba-tiba, tahu kalian, tanpa bisa dibendung, ujung parang yang dipegang prajurit pemberontak tak bernama itu mengalirkan darah. Merah—jelas darah. Mula-mula di satu titik, kemudian muncul titik lain. Membuat garis, menjadi alir.
Dan ia takjub. Siapa pun yang menyaksikan pasti takjub. Sambil mengacungkan parangnya, prajurit tanpa nama itu berkata: “Angku Syeh telah merestui perjuangan kita, Angku Syeh, Angku…!”
“Angku … !” Ia melolong panjang.
Ujung parangnya itu terus mengalir darah. Tiada henti. Hingga membasahi hulu parang, membasahi tangan si pemegang.
Pemberontak lainnya ikut takjub. Mereka memandang nanar ke arah kawannya itu, ke arah parang yang mengalirkan darah, yang berkilau merah.
Mereka berlarian menadahkan tangan, seperti meminta keberkatan pada sedikit warna merah dari parang yang mujarab itu.
Ajaib!
Mereka benar-benar membayangkan tak akan tertembus peluru.
Dan kalian tahu, tahu kalian, seiring matahari bangkit, tubuh mereka lantas berubah penuh bulu. Rahang mereka membesar. Mereka merengsek, merangkak masuk hutan. Menyeret jasad prajurit-prajurit musuh sambil bersorak: Anjing Djuanda, Anjing Djuanda!1
Perempuan penari ikut lenyap mereka bawa serta. Entah ke mana, ke dalam rimba. Perempuan itu membawa sesuatu dalam genggamannya. Entah kelamin siapa?
Orang-orang tua di kampung kami tak berani menjawabnya.
Padang, 2010
1 Anjing Djuanda, makian yang konon sering dikeluarkan prajurit-prajurit PRRI untuk menyebut prajurit APRI (TNI), Djuanda adalah nama Perdana Menteri Indonesia pada masa itu (1958-1961).
RIAUPOS > January 23, 2011
KATA orang, ayahnya mati disembelih di suatu petang, kelaminnya hilang. Tetapi ia hanya tahu dari ibunya, ayah hanyut dibawa bah, dan jasadnya tak pernah ditemukan. Seperti lenyap begitu saja dibawa hantu air ke muara.
***
SEKALI malam, seorang tua hadir dalam mimpi seorang prajurit dari kesatuan itu. Di malam berikutnya, seorang lagi didatangi mimpi yang serupa. Seorang lagi, seorang lagi, dan lagi.
Dalam mimpi itu, seorang tua mengenakan jubah putih panjang berkilauan. Jubahnya menjela-jela hingga tiga depa ke belakang. Ia menghadap kilauan cahaya yang menusuk-nusuk, tajam, serupa jari-jari kereta. Dari arah kilauan cahaya itu, serupa serbuan lebah, beribu-ribu butir, berjuta-juta mungkin, peluru berlepasan.
Ajaib!
Butir-butir peluru itu berguguran, ke tanah, tak sempat menyentuh tubuh orang tua itu.
Lalu, lalu… Ilmu mengembalikan peluru lantas menjadi ngiang di telinga setiap prajurit dari kesatuan itu. Apalagi setelah setiap dari anggota kesatuan didatangi mimpi yang serupa. Berganti-ganti yang didatangi. Serupa pernah berjanji. Mimpi itu terus berdengung-dengung di setiap pasang telinga. Lagi, seperti lebah. Seperti wabah.
Hingga akhirnya prajurit-prajurit dari kesatuan itu memutuskan naik gunung. Mereka mendatangi kisah-kisah gelap yang ditebarkan orang-orang tua di kampung sunyi itu. Kisah-kisah yang meletus dari bibir janda-janda yang ditinggal mati suami; perempuan–perempuan yang dengan putus asa menyebut diri mereka janda walau tak ada yang pasti tentang hidup-mati (yang suami mereka naik ke rimba-rimba sebagai pemberontak dan belum kembali).
Mereka bercerita tentang puncak-puncak pucat, goa-goa, dan lembah yang konon menyimpan orang sakti. Tentang kisah-kisah lama yang menakjubkan. Tentang seorang syeh yang bisa berjalan di atas air, yang terbang dengan selembar lontar, … ah, ah, ah, entah.
Di malam-malam tertentu. Di hari-hari “baik” yang tak berketentuan. Kemunculan si orang sakti itu dapat dirasakan. Lewat perhitungan bulan, rasi, gelombang awan, gelombang lautan, dan matahari. Dan entah. Prajurit-prajurit dari kesatuan itu tak bisa memahami. Dalam wujud yang tak pernah bisa dipastikan, dan tak terpahami. Semua penuh isyarat. Gerutu burung hantu, kulik elang, pucuk-pucuk yang rukuk (ah, seperti kedatangan malam seribu bulan yang dinantikan). Begitulah cerita orang-orang tua dan perempuan-perempuan janda di kampung sunyi itu kepada prajurit-prajurit dari kesatuan dengan wajah dingin seperti ketakutan.
***
SEKALI, di satu lekuk rimbaraya, seorang prajurit dari kesatuan itu menembak jatuh … entah apa. Mungkin orang, mungkin jin, atau fatamorgana? Seorang pemberontak, seorang pemberontak! Begitu lapornya. Mana tubuhnya? Mana jasadnya?!” bentak komandannya.
Tapi si prajurit datang dengan bibir yang bergoyang-goyang. “Tak ada, tak ada, Pak!” Plak! Tangan besar komandan mendarat di pangkal telinga “Ajaib, ajaib, ajaib, Pak!” Plak! Tangan besar komandan mendarat di pangkal lainnya. “Ketika sampai di tanah, tubuhnya berubah penuh bulu, rahangnya membesar, dan lenyap. Seperti ditelan bumi, Pak!”
“Pandir!” bentak si tuan komandan.
“Tapi, benar?” si tuan mulai merendahkan bunyi.
Hi, ngeri, hi nyeri.
Prajurit-prajurit pucat itu, yang kurang makan dan selalu dibentak tuan komandan (si tuan yang hampir mati karena kecemasan), memutuskan terus naik. Mendatangi yang entah, yang berwujud atau gaib. Ajaib, ajaib! Berhari, berbulan, berpanas, berhujan. Berteman siamang, ayam hutan, erang beruang, lipan, kuau ….
Hingga kesabaran prajurit dari kesatuan itu habislah sudah. Makanan terkandas. Tiada juga bersua ilmu. Ilmu abadi mengembalikan peluru!
***
DI BULAN ke sekian, entah bila, orang-orangtua di kampung kami tak dapat menjelaskan. Prajurit-prajurit itu akhirnya memutuskan kembali, ke barak mereka di tepi kampung arah ke kota. Dengan dada penuh kecewa dan tubuh penat tiada tara. Membawa keyakinan baru: Ilmu tak tertembus peluru hanya cerita-cerita tahayul, mitos-mitos purbani yang tak pernah ada, yang disebarkan orang-orang tua dan para janda yang penuh dendam dan celaka.
Di bulan ke sekian, entah bila, orang-orang tua kampung kami tak dapat menjelaskan, meskipun kami selalu bertanya kapan—sebab bagi kami, kejadian mesti ditandai bila dan masanya. Tetapi mereka berkata: pernah ada!
“Seorang perempuan tidak begitu muda. Mungkin seorang dari janda-janda. Mengetuk lembut kantuk prajurit jaga di gerbang muka. Entah dari mana asalnya, tak seorang dari prajurit-prajurit itu yang tahu. Mereka tiada peduli lagi pada segenap waspada sebagai tentara. Sebab si perempuan ternyata pintar pula menari. Hi hi hi,” begitu kata salah seorang dari orang-orang tua kampung kami.
“Jadilah pesta kecil-kecilan di ruang belakang barak kesatuan. Birahi melonjak-lonjak, kelelakian memberontak ke otak. Perempuan itu lemas tak berdaya dipreteli seperti menyiangi bayam, tahu kalian. Hi hi hi.” Kami, si kalian, yang ketika itu masihlah anak-anak.
“Waktu singkat, birahi padat, tuan komandan nanti membentak. Prajurit-prajurit sentak,” orang tua itu melanjutkan, “tetapi bukan tuan komandan yang datang menyentak, hanya pemberontak-pemberontak yang merompak. Mulanya gerbang muka yang mereka rompak. Letusan besar beberapa kali terdengar. Gudang amunisi terbakar. Dada-dada yang tertikam sangkur. Kepala-kepala yang berlepasan. Peluru dan mortar membuat nganga besar, mentetak-retak apa yang tampak, tahu kalian. Hi hi hi.”
“Tuan komandan, tuan komandan…” masih terdengar jeritan dari prajurit-prajurit yang ketakutan.
***
KETIKA fajar bangkit, pemberontak-pemberontak berdada busung dan kepala mendongak itu telah menyisir seluruh lekuk barak. Mereka menyeret dan mengumpulkan jasad prajurit-prajurit musuh satu persatu di satu tempat.
Di antara jasad prajurit-prajurit yang bergelimpangan, terdapat jasad perempuan penari. Tubuhnya penuh bekas luka. Tangan perempuan itu terkepal, seperti menggenggam. Entah apa, entah siapa, entah ada, entah tak. Dari liang kepalnya itu, warna merah mengalir membentuk garis putus-putus, menetes setitik demi setitik. Warna merah itu, mungkin darah, jelas darah.
Kata orang-orangtua di kampung kami, seorang dari pemberontak itu menghampiri jasad perempuan. Siapakah ia? Prajurit itu tak bernama. Ia mangalihkan pandangannya ke jasad prajurit-prajurit musuh lainnya yang bergeletakan mati. Sejenak, ia alihkan lagi pandang ke jasad perempuan itu lagi, lebih dekat. Ia bersihkan luka-luka di wajah perempuan itu. Ia sibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Dan ia memeluknya. Seperti memeluk ibunya sendiri.
Dan tiba-tiba, tahu kalian, tanpa bisa dibendung, ujung parang yang dipegang prajurit pemberontak tak bernama itu mengalirkan darah. Merah—jelas darah. Mula-mula di satu titik, kemudian muncul titik lain. Membuat garis, menjadi alir.
Dan ia takjub. Siapa pun yang menyaksikan pasti takjub. Sambil mengacungkan parangnya, prajurit tanpa nama itu berkata: “Angku Syeh telah merestui perjuangan kita, Angku Syeh, Angku…!”
“Angku … !” Ia melolong panjang.
Ujung parangnya itu terus mengalir darah. Tiada henti. Hingga membasahi hulu parang, membasahi tangan si pemegang.
Pemberontak lainnya ikut takjub. Mereka memandang nanar ke arah kawannya itu, ke arah parang yang mengalirkan darah, yang berkilau merah.
Mereka berlarian menadahkan tangan, seperti meminta keberkatan pada sedikit warna merah dari parang yang mujarab itu.
Ajaib!
Mereka benar-benar membayangkan tak akan tertembus peluru.
Dan kalian tahu, tahu kalian, seiring matahari bangkit, tubuh mereka lantas berubah penuh bulu. Rahang mereka membesar. Mereka merengsek, merangkak masuk hutan. Menyeret jasad prajurit-prajurit musuh sambil bersorak: Anjing Djuanda, Anjing Djuanda!1
Perempuan penari ikut lenyap mereka bawa serta. Entah ke mana, ke dalam rimba. Perempuan itu membawa sesuatu dalam genggamannya. Entah kelamin siapa?
Orang-orang tua di kampung kami tak berani menjawabnya.
Padang, 2010
1 Anjing Djuanda, makian yang konon sering dikeluarkan prajurit-prajurit PRRI untuk menyebut prajurit APRI (TNI), Djuanda adalah nama Perdana Menteri Indonesia pada masa itu (1958-1961).
RIAUPOS > January 23, 2011



Comments
Post a Comment