Pascakolonial, Ironi, Humor

Pascakolonial, Ironi, Humor

Catatan untuk buku puisi Odong-Odong Fort de Kock 

Puisi-puisi Deddy Arsya dalam Odong-odong Fort de Kock menunjukkan perkembangan baru yang nyaris permanen dalam puisi Indonesia mutakhir: sebuah situasi pascakolonial. Situasi ini memberikan cara pandang yang baru terhadap sejarah nasional kita, sejarah yang di masa lalu dijadikan alat legitimasi untuk rezim tertentu, Orde Lama maupun Orde Baru. Masyarakat yang telah bebas dari penjajahan Belanda, tiba-tiba merumuskan kembali jatidirinya tanpa bisa melepaskan atau menghapuskan jejak-jejak kolonialisme di dalam diri dan lingkungannya. Tetapi bagaimana ia merumuskan diri, itulah yang penting diingat dalam puisi-puisi Deddy.

Itulah cara pandang yang mengedepankan ironi dan humor. Pada tahap pertama kita kita menyangsikan kebenaran sejarah dan karenanya kita bisa bermain-main dengan fakta sejarah ini. Kehendak meragukan juga membuat kita mencari alternatif lain dari sejarah, yang dari sana kita kembali bermain-main. Langkah kedua adalah semacam lanjutan dari yang pertama, dengan humor kita menghindari keresmian dan sikap kaku terhadap sejarah. Humor membuat yang resmi dan kaku menjadi berantakan, menjadi bahan ejekan, sebentuk langkah yang juga bisa dinamakan “bersikap ironis” terhadap sejarah.

Tapi Deddy bukan hanya bersikap ironis dan humoris terhadap fakta sejarah, tetapi juga kepada setiap potongan peristiwa yang ia angkat ke dalam puisi. Sikap ini hanya mungkin ketika si penyair menjadi cukup berjarak dengan bahan-bahan puisinya. Ia telah melewati apa yang selama ini menjadi penanda umum penyair mutakhir: gampang terharu. Ia memang gampang terharu terhadap aneka potongan sejarah dan peristiwa hari ini, dan karena itulah ia menulis puisi. Tetapi ia telah memperlakukan semua ini dengan cara pandang yang menyegarkan. Ia memberi kita alternatif dalam melihat sejarah dan dunia kita hari ini, tidak dengan pemihakan atau simpati yang berlebihan, tetapi dengan meledek atau membuat semua itu sebagai bahan tertawaan seraya renungan yang berujung pada kesedihan.

Dengan demikian, dalam puisi-puisi Deddy, seluruh peristiwa hari ini selalu bisa dikembalikan atau dicari cikal-bakalnya dalam sejarah lokal dan nasional. Dengan cara begini, ia selalu menggiring kita supaya menjadi manusia yang sadar sejarah, betapa pun pahitnya sejarah itu. Ia mesti diterima sebagai bagian dari dunia kita hari ini. Dan ia telah menawarkan, yaitu tadi, cara pandang terhadap secara yang jauh dari laku mengumbar keharuan dan simpati yang berlebihan.

Tetapi, ini baru benar jika kita mengaitkan puisi dengan situasi di luar dirinya, baik masa lalu maupun masa kini. Benar jika kita melihat puisi sebagai sebuah dokumentasi sosial, sebuah cara pandang yang menjadi andalan kaum cultural studies. Lebih dari itu, kita mesti masuk ke dalam puisi-puisi Deddy, dengan memandang puisi sebagai dirinya sendiri, dengan pelbagai piranti bahasa yang menjadi kekuatannya.

Puisi-puisi Deddy tergolong puisi naratif, sejenis puisi yang mengandung tilas cerita di dalam larik-lariknya. Setiap larik dalam puisinya mengandung unsur cerita yang hanya bisa bermakna jika dikaitkan dengan larik sebelum atau sesudahnya. Dengan kata lain, puisinya adalah semacam cerita yang ditulis dengan tipografi tertentu, yang membuat rupanya menjadi puisi. Dengan begitu ia tidak mengizinkan munculnya “disonansi citraan” dalam setiap lariknya, sebagaimana pernah dimanfaatkan dengan sangat cermerlang oleh Chairil Anwar dan Goenawan Mohamad. Sebab yang dituju dari organisasi larik demi larik itu adalah sebuah “bangunan cerita” yang kita bisa masuki dari sejumlah pintu yang tersedia, yang kebetulan hanya dua: ironi dan humor.

Dalam puisi-puisi Deddy kita tergoda oleh permainan metafora atau saling-silang bunyi sebagaimana dalam puisi lirik Indonesia selama ini, tetapi yang membetot kita adalah permainan kisah yang dalam kadar tertentu ia sadap dari tradisi kaba Minangkabau, dan di beberapa bagian ia wujudkan dalam permainan semacam pantun. Permainan itu kadang-kadang menjelma sebagai penjajaran (jukstaposisi) sejumlah citraan yang hanya bisa berkaitan kalau kita sungguh-sungguh mencari kaitannya. Tumpuan utama penjajaran citraan ini bukan lagi kata atau frasa, sebagaimana tampak dalam puisi suasana Goenawan Mohamad, tetapi larik atau separuh larik yang menjadi satuan terkecil cerita. Karena itu, puisi Deddy tidak bisa ringkas, kecuali puisi-puisinya yang menyaru sebagai pantun.

Dengan sejumlah argumen ini, saya memastikan bahwa buku puisi Odong-odong Fort de Kock karya Deddy Arsya layak menjadi buku terbaik Tempo 2013. Membandingkannya dengan Museum Penghancur Bahasa karya Afrizal Malna, buku ini memberikan kesegaran yang lebih nikmat untuk puisi Indonesia mutakhir. Deddy memang tidak tergoda pada avantgardisme sebagaimana Afrizal, ia telah memperluas salah satu ciri puisi naratif dengan memasukkan situasi pascakolonial dan sikap ironis dan humoris terhadap sejarah. Saya menarik pencalonan saya untuk Museum Penghancur Dokumen sebagai buku terbaik Tempo tahun ini, tetapi tetap memasukkan buku Afrizal itu sebagai buku yang layak dibaca tahun ini, bersama Memoria karya Mario F. Lawi. Namun saya tidak memberikan argumen tambahan untuk Memoria. Cukuplah apa yang saya sampaikan pada rapat kita sebelumnya. Bagaimanapun juga puisi Afrizal memberikan kita perluasan atas cara pandang kita terhadap puisi, sebuah upaya yang tidak menyenangkan bagi pembaca yang masih betah dalam sajak suasana dan puisi lirik.

Salam.

Bandar Jaya, 26 Desember 2013

Zen Hae

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini