Parang yang Jatuh

Oleh Deddy Arsya

Seusai hujan semalam, jalan tanah setapak itu tentu akan menjadi licin. Beberapa genangan tentu juga akan terbentuk. Sementara rumput-rumput di sisi kiri dan kanan jalan akan kembali menegang dan segar setelah disangai panas cukup lama. Musim kemarau mungkin telah berakhir oleh hujan itu.

Pagi itu seekor tupai, seperti tengah merayakan pergantian musim, terlihat melompat dari batang marapalam menuju pohon aur yang rimbun di bibir jalan. Titik-titik air bergeraian jatuh dari dahan-dahan aur yang bergoyang. Beberapa rantingnya yang telah mati ikut jatuh.

Di sisi kiri jalan setapak itu berbatas lembah yang agak curam, dibatasi semak dan belukar tipis. Sementara di sisi kanannya berbatas bukit-bukit berderet panjang. Di jalan setapak itu nanti, jalan setapak yang dari waktu ke waktu terasa semakin mengecil oleh semak belukar yang tumbuh di sisi-sisinya, beberapa saat lagi Sainal akan berjalan. Bocah itu kini pergi mengambil karung plastik ke kolong rumah disuruh ayahnya. Rumah anjung di kaki bukit itu, yang di sisi belakangnya seekor sapi tengah bergelung di dalam sebuah kandang. Rencananya bocah itu akan ke rimba pagi ini bersama ayahnya. Sudah lama mereka tak ke parak (kebun) nun yang berada jauh di puncak rimba sana. Mungkin pala dan kopi telah ada yang masak, pinang sudah bisa diambil, maka karung plastik itu dipersiapkan sebagai tempatnya nanti.

“Tukar bajumu dengan yang lebih buruk!” seru ayah bocah itu sebentar tadi.
”Uni juga ikut?”
”Tentu.”
”Tapi Uni tak bisa memanjat.”
”Tak apa, biarkan nanti ia mengumpulkan buahnya saja di bawah.”
”Apa Ibu juga ikut?”
”Ah, tidak usah. Biarlah Ibumu di rumah saja.”
”Bagaimana kalau Ibu ikut?”
”Tidak usah. Siapa yang akan memberi makan ayam nanti kalau Ibu ikut? Ibumu jalannya juga lambat. Baik kita saja yang pergi.”
”Tapi Uni jalannya juga lambat….”
….
”Minta pada Ibumu supaya dibungkuskan nasi untuk kita.”
”Uni jadi ikut?” kata Sainal, nyinyir.
”Panggillah ia segera!” perintah ayahnya.
Nanti Sainal akan berjalan di depan sekali. Sesekali ia akan menoleh ke belakang. Ayahnya yang berada belakangnya menyandang ransum yang berisi air dan nasi. Sementara Delima berjalan lambat, tertinggal jauh dari Sainal yang telah lebih dulu melesat.
”Sainal, jangan cepat-cepat!” seru Delima yang kepayahan.
Sainal menoleh ke belakang. ”Uni, cepatlah!” katanya pula
”Berhenti dulu! kata Delima membalas.”
….
”Ayah, Sainal tak mau berhenti! Biarkanlah dia tersesat, perutnya di robek-robek beruang nanti. Biarlah harimau memakan kepalanya sampai tak tersisa. Dan babi hutan mengamuk-amuk di pahanya,” kata Delima lagi setengah berteriak.

Sang ayah diam saja. Hanya tangannya yang memegang parang hitam itu terlihat cekatan menyibakkan semak sepanjang jalan.

Tak lama, kini Sainal mau berhenti, mungkin sudah lelah sendiri. Sementara beberapa ekor murai terdengar berkicau-kicau rendah di dahan-dahan damar yang bergesekan. ”Masih jauh, Yah?” Delima membalas kicau murai. Ia memang baru sekali ini ikut ke parak mereka di puncak rimba itu. Ia duduk begitu saja melepas lelah di tanah yang berumput tebal dan masih basah. Menghadap ke lembah, dan matanya menatap jengah ke bawah. Pantatnya lembab oleh sisa hujan semalam. Ia mengipas-ngipaskan bajunya untuk mengundang angin. Tiba-tiba Sainal mendekat dan menyejutkannya. Delima terperanjat. Delima berang:
”Ayah, Sainal tidak berotak!”

Sainal tertawa. Dengan marah, Delima mencubit. Tepat di paha adiknya itu. Membiru. Mata Sainal berair hendak menangis. Delima mengangkat dan menggoyang-goyangkan kedua telunjuknya sambil tertawa ke arah adiknya yang menahan sakit.

Delima sudah sekolah enam. Beberapa bulan lagi akan masuk tsanawiyah. ”Tapi Ema tak pandai mengaji”, katanya pada ibunya suatu kali. Nila (teman sebangkunya) akan masuk SMP, katanya pula.

”Ema masuk SMP sajalah, Bu?”
Tapi SMP jauh. Nun di kota kecamatan sana.

Sedang Sainal sudah pula kelas dua kini, hanya belum pandai-pandai juga membaca. Mungkin tidak bisa naik ke kelas tiga, kata gurunya pada sang ayah ketika sekali bertemu di Pekan Raba’a. ”Tapi Sainal pandai menambah dan mengurang, Yah!” kata Sainal pula membela diri. ”Pak Guru yang tak pandai mengajar. Dia orangnya pemarah!”

Ibu Sainal tergelak memperhatikan cara anaknya itu berbicara, seperti beruang mabuk, bibirnya memonyong.

Keluarga itu tinggal jauh dari koto (perkampungan). Di koto mereka belum punya rumah sendiri. Dulunya sebelum berpondok di tepi bukit, keluarga itu tinggal di rumah gadang kaum ibu. Setelah Delima lahir, mereka memutuskan turun dari rumah gadang, dan berpondok di tepi bukit itu. Berladang kulit manis dan gardamunggu. Mereka juga memelihara lusinan ekor ayam, dan seekor sapi yang disabitkan rumputnya setiap hari oleh sang ayah. Sebab Sainal belum pandai menyabit rumput. Sebab Sainal seorang yang kidal. Sabit kidal belum lagi dipesan dari Pekan Raba’a.

Tiga petak sawah kecil-kecil berjenjang yang sekarang ditanami padi adalah sawah pusaka milik kaum dari pihak ibu. Tak seorang pun dari saudara ibu yang mau mengerjakan sawah di lereng bukit yang jauh dari koto itu. Babi-babi yang merenggut-patahkan padi dan menggali habis ketela pohon, kera-kera yang menyerang buah kakao dan pisang tanpa ampun…. Sementara sawah-sawah yang dekat dengan koto adalah sawah tadah hujan pula, yang hanya bisa ditanami ketika musim hujan tiba. Saudara-saudara Ibu-Sainal yang semuanya laki-laki pergi merantau ke Pekanbaru dan Palembang. Mamak (paman) Sainal yang merantau ke Papua sudah sepuluh hari raya tak pulang-pulang. Hanya berkirim baju sesekali pada Sainal dan Delima menjelang hari raya. Begitu pula parak pala yang lebih jauh lagi, nun di puncak rimba. Ayah Sainal saja kini yang mengerjakannya.
Sekali, terbersit pula oleh lelaki paruh baya itu keinginan untuk pergi ke Batam, atau mencari pekerjaan ke Malaysia seperti banyak orang di koto. Sepulang dari sana, bisa membangun rumah—di koto, di koto tentu! Sekali terbayang pula Delima kalau sudah besar nanti. Keluarga mana yang mau meminangnya kalau mereka tidak punya rumah di koto? Di mana helat akan dilangsungkan? Di mana kawin akan digelar? Mereka tak akan mungkin selamanya tinggal di sini, di bukit ini. Tetapi keinginan itu cepat-cepat lenyap oleh kesibukannya berladang dan beternak ayam dan sapi. Di mana tumbuh, di situ disiangi—begitu adatnya hidup, kata sang ayah sekali.

Hari minggu, Sainal dan Delima tak bersekolah. Maka mereka dibawa pergi memungut pala ke rimba oleh sang ayah. Parak pala jauh di puncak. Sudah lama tak diterangi. Tentu telah bersemak tinggi. Beberapa hari sebelumnya, Delima minta dibelikan buku cetak Matematika. Kata gurunya, setiap orang harus punya buku cetak. Kalau tidak ada, tak boleh belajar. Sementara itu, buku gambar Sainal juga sudah habis pula. Pensilnya entah hilang ke mana. Sainal tak pandai menjaga barang miliknya sendiri. Kaos kaki tinggal sebelah. Sepatunya sudah jebol di tengah.

Mata sang ayah berkaca-kaca. Panas matahari mulai tajam. Dua ekor siamang terlihat bergayut-gayut dan saling berkejaran dari satu cabang batang pulai ke cabang batang pulai lain. Seperti ingin kawin. Sesekali keduanya meraung lirih, mengisyaratkan musim hujan akan tiba.

Setelah penat lepas, sang ayah berdiri lebih dahulu. Sekerat dahan lansano lapuk terbang melayang ke arah dua ekor siamang itu. Serasa melayanglah pula cemas itu semuanya. Tak kena. Dua ekor siamang itu tak bergeming sedikitpun. Sainal ikut berdiri selanjutnya. Ia hendak melempari siamang-siamang itu pula seperti apa yang dilakukan ayahnya. Tapi tak ada yang hendak dilemparkannya. Ia lalu hanya bersorak-sorak mengusir dua siamang itu. Kedua siamang tetap tak terganggu.

Kali ini Delima berjalan paling depan. Jalannya lebih cepat. Dia masih marah pada adiknya, wajahnya cemberut. Sainal berada di belakangnya. Sesekali Sainal melesat maju ke depan untuk menghalangi jalan Delima. Mereka dahulu-mendahului. Sainal menyerempet. Jalan setapak itu licin. Tubuh mereka bertubrukan. Delima mulai tersenyum lagi. Sainal makin menjadi-jadi. Digodanya terus kakaknya itu. Sekarang perempuan seorang itu ”mengamuk”. Digelitiknya adiknya habis-habisan. Mereka ganti-berganti menggelitik. Delima tersandung pohon jirak mati. Sainal tertawa besar. Ayah mereka tertinggal di belakang, mencari-cari daun sirih yang tadi sebelum pergi sempat dipesan sang istri. Sang istri yang sudah ”berisi” pula. Ia sudah dua bulan lebih tak datang bulan.

Delima meringis, seperti ingin menangis. Kuku jempol kakinya patah dan mengeluarkan darah. ”Uni sendiri yang salah,” kata Sainal membela diri dari tatapan mata kakak perempuannya yang berang dan mulai berair. Sainal mencoba hendak menolong. Tapi Delima mengabaikan tangannya. Ia tetap marah. Lukanya tidak terlalu parah.

Mereka berjalan lagi. Sekarang Sainal yang berada paling depan. Diam. Sepanjang jalan. Uwi-uwi terdengar memecah sunyi sebentar dari balik semak. Lalu hilang lagi. Seragam sekolah Sainal sudah minta diganti. Pantat celananya sudah dua kali ditambal ulang sang ibu. Sepatunya yang sebelah lagi juga sudah jebol di tengah. Sainal, sepatu sekolah jangan dibawa bermain bola! kata sang ibu suatu kali. Sementara baju sekolah Delima juga sudah terlalu kecil. Jelas saja lekuk susunya yang mulai tumbuh. Rok merahnya juga sudah pendek. Resleting belakangnya sudah tidak berfungsi. Terpaksa pakai semat. Kalau nanti masuk tsanawiyah, tentu harus pula membeli seragam baru.

Kening sang ayah berkeringat. Ransum yang disandangnya terasa makin berat saja. Matahari makin meninggi dan menyengat. Sunyi lama tak pecah. Hingga beberapa saat kemudian Sainal bersuara lagi: ”Yah, setelah menerima lapor, orang akan jalan-jalan ke Bukittinggi!”

”Uni saja yang pergi, Yah. Sainal tidak akan pandai sendiri. Sainal suka mabuk kalau naik mobil,” kata Delima memotong cepat.

”Uni kan dulu sudah pernah pergi?” bantah Sainal pula.

Sang ayah diam saja. Di tangannya ada setumpuk daun sirih. Daun-daun sirih itu lalu diserahkannya ke Sainal. Sainal memasukkannya ke dalam saku celananya yang besar sambil bersungut-sungut tak terima kalimat kakak perempuannya.

Sang ayah mulai berpikir untuk menjual sapi. Tapi induk sapi mereka sedang mengandung. Sebentar lagi sudah akan melahirkan. Kalau saja jalan-jalan akhir tahun ajaran itu bisa ditunda, tentu Sainal dan Delima bisa pergi berdua. Memang sudah lama sekali mereka tak pernah berjalan-jalan lagi, sejak kelas tiga dahulu pernah pergi ke Pagaruyuang melihat istana raja (kata orang di koto, istana itu kini sudah terbakar di sambar petir). Sainal bahkan tak pernah jalan-jalan ke mana pun juga. Tak tahu negeri di luar sana.

”Kalau libur nanti, kita akan jalan-jalan ke Padang. Ibu juga ikut kita bawa. Di Padang ada laut. Di Bukittinggi sama saja dengan di tempat kita, dikelilingi bukit juga,” bujuk sang ayah.
”Tapi Rosia katanya pergi, Yah. Nini bahkan sudah membayar. Tak ada teman-teman Delima yang tidak pergi,” bantah Delima pula.

”Khaidir tidak ikut!” Sainal balik membantah.
”Dari mana waang tahu?” Delima berang, hendak mencubit perut adiknya. Tak kena. Sainal mengelak. Mencibir. Merasa mengalahkan kakaknya.

Terlihat dari kejauhan, beberapa batang pala sudah tampak dan berbuah. Hanya tak lebat sepertinya. Pinang pun sudah masak—tapi pinang terlalu murah kini. Memang sudah cukup lama mereka tak ke parak. Parak terlalu jauh. Tak terpikirkan kenapa ada terukaan yang sedemikian jauhnya dari koto. Kata orang, Niniak mereka terlambat datang ke daerah ini. Sehingga tanah yang jauh dari perkampungan saja yang masih tersisa. Sementara tanah yang lebih dekat dengan perkampungan telah lebih dulu diteruka orang.

Matahari sudah tegak di atas kepala ketika mereka sampai. Sainal lalu berlari hendak memanjat segera seketika mereka sampai. Delima menanti saja di bawah, mengumpulkan setiap buah pala yang dijatuhkan adiknya. Sementara ayah mereka sibuk menebang batang kopi mati untuk dijadikan galah pengait buah pinang, membersihkan dan menerangi parak. Setelah menyerahkan galah pengait itu pada Sainal, sang ayah akan menebas semak-semak yang mulai tinggi dan telah melilit batang-batang pala, pinang, dan beberapa batang kopi.

Perut Delima mulai terasa lapar. Ransum ayahnya yang tampak. Sebelah kaki Sainal menginjak dahan pala yang lapuk. Menggema bunyi ’gedebukkk’

Parang hitam meluncur lepas ke semak dalam.

Padang-Pesisir, ‏2008-9

Padang Ekspres, Maret 8, 2009

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini