Menumpang Biduk Bocor Bernama Marxisme
(Tanggapan atas tulisan “Pelajaran Marxisme di Sekolah” dan “Pelajaran Marxisme bukan Solusi”)
Oleh Deddy Arsya
Tulisan Heru Joni Putra di rubrik ‘Opini’ koran ini tanggal 30 Maret 2012, “Pelajaran Marxisme di Sekolah” mengetengahkan wacana tentang kapitalisme yang mewabah di tengah masyarakat manusia. Wabah itu menjangkiti hinnga ke kalangan pelajar dan mahasiswa. Implikasi dari wabah kapitalisme itu, menurut Heru, semakin menyuburkan kerakusan di kalangan pelajar, hasrat mengonsumsi yang tiada terhentikan, dan hedonisme. Untuk itu, oleh Heru, marxisme diperkenalkan sebagai juru selamat: marxisme sebaiknya diajarkan disekolah, karena marxisme dianggap dapat menangkal laju kapitalisme menular ke pelajar. Tulisan Heru ini ditanggapi oleh Novelia Musda, “Pelajaran Marxisme bukan Solusi” tanggal 05 Juni 2012 di rubrik dan koran yang sama. Di mana tulisan ini menguraikan bahwa tidak perlu marxisme dimasukkan ke sekolah. Gagasan itu hanya menambah kusut otak pelajar. Apalagi, marxisme sebagai ideologi memiliki banyak sisi somplak, seperti menggiring pada materialisme, memiskinkan spiritual, dan menurunkan beberapa ideologi berbahaya seperti komunisme dan ateisme. Tulisan ini akan menanggapi kedua tulisan di atas.
Menumpang pada marxisme sama seperti menumpang pada biduk bocor. Ibarat diri akan karam. Di Sumatera Barat, sejak Magas memperkenalkan ideologi marxisme sebagai ideologi pembebasan dari penderitaan penjajahan, ideologi itu tidak pernah bisa diterima secara utuh oleh masyarakat. Marxisme mulai dapat berterima secara signifikan setelah bertranformasi ke dalam berbagai bentuk ideologi lain, termasuk berafiliasi dengan Islam seperti yang dicobakan oleh Datoek Batoeah. Pada tahun 1920an itu, misalnya, beberapa orang di Minangkabau bahkan juga mencobakan memasukkan pelajaran marxisme ke kalangan pelajar sekolah menengah. Pelajar Sumatera Tawalib pada periode itu banyak yang gandrung pada ideologi ini, apalagi gurunya Datoek Batoeah juga seorang marxis yang hampir fanatik. Akan tetapi, penentangan dengan giat dilancarkan dari banyak kalangan, baik dari kalangan pelajar sendiri, maupun dari kalangan gurunya, terutama yang paling keras adalah Haji Abdul Karim Amarullah. Jika sekarang ideologi itu (betapa pun baiknya ideologi ini tampaknya, yang telah bertransformasi menjadi neo-marxis sekalipun) hendak dimasukkan lagi ke sekolah, bahkan menjadi salah satu mata pelajaran pula, kita hanya mengulang sejarah yang nyata telah jelas hasilnya. Kita hanya akan menuai penentangan demi penentangan.
Masyarakat di mana pun, memang mudah antipati terhadap yang asing. Masyarakat kebudayaan paling sulit melepaskan yang lama ketimbang menerima yang baru. Maka dari itu, kita sesungguhnya tidak perlu mencari jauh-jauh ke perbendaharaan asing. Apalagi bersandar pada ideologi yang tidak bisa lagi diandalkan sebagai penyelemat. Idigium orang Minangkabau lainnya tentang kerja seperti itu sama dengan “bataduah di bawah batang aua” (berteduh di bawah batang aur). Batang aur jika dilihat dari jauh memang nampak rimbun dan meneduhkan, tetapi ketika kita telah berada di bawahnya, kita ternyata tetap basah. Belum lagi, ular dan kala biasanya banyak bersarang di rumpunnya yang siap menggigit dan memantak kita.
Musda bisa jadi benar, mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah sudah banyak, bahkan sudah lebih dari cukup, apalagi ditambah pula dengan les-les yang tidak berkeruncingan. Bikin ruwet otak. Jangankan untuk menjernihkan, memasukkan marxisme malah akan membikin semakin kusut akal. Cukup-lah orang-orang kampus saja yang belajar itu, mahasiswa filsafat saja yang menyuntuk-nyuntukkan diri terhadap itu. Kalau pun pelajar kita ingin pula terlibat belajar marxisme, biarlah kesadaran mereka sendiri yang membuat mereka mempelajarinya.
Sementara untuk menangkal kerakusan, hedonisme, hasrat konsumtif, kita memang lebih dari cukup hanya memanfaatkan yang telah ada saja. Misalnya, mengoptimalkan pelajaran agama, budi pekerja, atau BAM.
Heru mungkin tidak sepenuhnya hendak memasukkan marxisme sebagai bagian dari pelajaran di sekolah, baik sebagai pelajaran inti maupun pelajaran ekstrakurikuler. Saya menganggap tulisannya adalah sebuah sentilan belaka bagi dunia pendidikan kita. Tulisan Heru, di sisi ini, bisa menjadi refleksi bagi kita bahwa kadang kita memang patut putus asa memandang dunia pendidikan hari ini. Di sekolah diajarkan pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, pendidikan BAM, dan pendidikan untuk pembangunan moral lainnya. Namun, yang diajarkan di sekolah itu tidak berhasil menjadi nilai-nilai yang siap dipraktekkan. Para pelajar tetap saja sulit menjadisederhana. Pelajaran budi pekerti dekat dengan hapalan demi untuk memenuhi jawaban ujian. Ironis jika kata ‘budi’ harus didefinisikan, pengertian tenggang rasa mesti dihapalkan. BAM juga tidak beranjak dari tataran teoritis yang berupa hapalan pula, tidak berpijak pada konteks zaman, lepas dari realitas. Di buku pelajaran bicara soal mamak, dunia sekarang tak butuh mamak lagi. Bicara tentang pusaka, pusaka sudah tergadai di mana-mana. Pelajaran agama juga begitu, tak jauh berbeda.
Dalam konteks seperti inilah tulisan Heru lahir, sebagai sebuah usulan untuk mencari praksis yang lain ketika yang praksis yang ada dianggap tidak lagi ampuh menyelesaikan masalah kita.Tulisan Heru menjadi semacam kritik untuk memperbaiki pengajaran moral di sekolah. Meneruskan Heru, barangkali, untuk zaman kita yang dikuasai benda-benda seperti sekarang, bukan marxisme (yang malah justru berafiliasi pada materi) yang menjadi penangkalnya. Kita bisa mantapkan pelajaran agama, dengan dimodifikasi menjadi lebih berafilisasi ke pengajaran untuk zuhud. Pelajaran agama mestinya tidak lagi bertumpu pada pembelajaran yang ritualistik. Hidup sederhanya juga ibadah, juga sesuatu yang harus dipelajari dan dilatih. Melawan diri sendiri untuk tidak memperturutkan hasrat membeli juga sebuah jihad. Rakus adalah dosa besar. Hak kita akan benda-benda hanyalah apa yang menjadi kebutuhan kita. Di luar itu, tidak. Dan lain sebagainya. Tidakkah dalam Islam, semangat revolusioner dalam melawan kerakusan juga tidak kalah besar ketimbang marxisme. Islam bilang, “celakah para pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya”. Narasi Islam yang seperti itu jika dikontekstualisasikan jelas merujuk sebagai kecaman pada kapitalisme, kepada kerakusan manusia. Orang Minangkabau juga tidak mentoleril kerakusan, bahkan mengutuknya. Ada kata ‘akok’, yang berarti semuanya ingin dipunyai, rakus. Kita tidak boleh ‘akok’. Terminologi ini jelas berkonotasi buruk, sangat buruk dalam masyarakat kita.
Padang, April 2012



Comments
Post a Comment