Menuju Phobia Sekolah


Oleh Deddy Arsya 

Nun di perbatasan Pakistan-Afganistan, di mana gua-gua pada dinding gunung-gunung cadas adalah rumah. Bahtai, seorang bocah perempuan belum belasan tahun, menghabiskan hari-harinya menjagai adiknya yang masih bayi selagi ibunya pergi bekerja. Sekali, tetangganya, Abbas, bocah laki-laki yang kira-kira juga seumuran dengannya, mengusik ketenangannya. 

“Kau adalah bibi kecil yang tidak dapat pergi ke sekolah,” kata Abbas padanya. 

“Bawa aku ke sekolah, Abbas!” 

Dan dia, menjual telur yang ada di rumahnya, menjual apa saja yang mungkin, bahkan mengutang ke tempat pembuatan roti hanya agar bisa mendapatkan sebuah buku tulis sebagai syarat untuk bisa sekolah. Sekolah berkaca-kaca di matanya. Sekolah, dalam bayangannya, adalah tempat di mana dia diajarkan sebuah cerita. Cerita yang diceritakan Abbas. Tentang seorang pria yang tidur di bawah pohon dan sebuah kacang jatuh di kepalanya. Dan dia ingin cerita itu diulang, berkali-kali, “Baca lagi, Abbas!” 

Ketika Bahtai sampai di sekolah setelah melalui tantangan yang panjang, kepada guru tua yang mengajar di kelas itu dia katakan: “Ajari saya sebuah cerita!” Tapi si tua itu menolaknya, berkali-kali menolaknya, “di sini sekolah untuk anak laki-laki, pergilah ke seberang sungai itu, di mana sekolah perempuan terdapat”, kata guru tua itu. Dan Bahtai memang menemukan sekolah khusus untuk anak perempuan, dia belajar membaca sana, belajar menulis huruf-huruf yang didiktekan guru di papan tulis. 

Tetapi pelajaran itu, bagi Bahtai, bukan episode yang penting dari sekolahnya. Bagian yang penting adalah ketika dalam satu ruangan dia bertemu teman sebaya, saling bercengkerama, atau berhamburan keluar kelas ketika lonceng sekolah berbunyi. 

Bahtai, sekolah baginya adalah ‘rasa’; pipinya bersemu merah ketika untuk pertama kali duduk di sebuah bangku, ketika pertama kali ditanya gurunya, ketika pertama kali dia merasakan dirinya sekolah. 

Buddha Collapsed Out the Shame, sebuah film karya sineas berkangsaan Iran, Hana Makhmalbaf,yang diproduksi tahun 2007 itu sesungguhnya tidak utuh membicarakan sekolah. Dari judulnya, film itu adalah sebuah kritik pada Taliban dan pada Amerika sekaligus—dua kekuasaan fundamentalis. Di pusat peradaban bangsa Afgan, di mana sebuah kerajaan makmur dulu pernah ada, dengan ditandai oleh berbagai tinggalan arkeologisnya, kini runtuh jauh di dasar kebodohan sebagaimana runtuhnya patung-patung Budha di sana yang dihancurkan Taliban dengan bom. 

Tetapi, bukankah film yang baik punya banyak pintu untuk menyilakan kita masuk dari sembarang sisi yang kita mau? 

Mata yang berkaca-kaca di hadapan kata ‘sekolah’ adalah cerita yang umum belaka dari dunia kita. Dua tahun yang lalu, sebuah buku tentang itu juga terbit. Amira and Three Cups of Tea, sebuah kisah inspiratif dari kaki Himalaya, nun di Pakistan sana, di mana seorang Amerika membangun sekolah untuk anak-anak. Greg Martenson mengabdikan hidupnya untuk itu, dia cari donatur kaya raya di negerinya untuk membangun sekolah di negeri yang jauh antah-barantah. Dan anak-anak di sana berbahagia menyambut sekolah baru mereka, orang-orangtua senang, masa depan seolah-olah terbentang lempang setelah itu. 

Jauh sebelum itu, kisah-kisah mengharukan tentang sekolah juga pernah dicetak di Indonesia. Pada tahun 1983, sebuah buku bunga rampai diterbitkan LP3ES. Perjalanan Anak Bangsa, begitu judul bunga rampai yang memuat hampir 18 memoar yang berbicara tentang proses asuhan dan sosialisasi orang Indonesia. Tidak mungkin tidak, pembicaraan utamanya adalah tentang sekolah. Lingkungan sekolah begitu berkesan bagi kebanyakan anak-anak yang dikisahkan dalam buku ini, begitu tulis pengantar buku itu sebagaimana dikutip Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya tahun 1984. Masa sekolah kadang-kadang diceritakan dengan lebih panjang lebar dibandingkan dengan cerita keluarga mereka sendiri. Seorang ayah Batak, nun di pedalaman Toba, berbicara kepada anak sulungnya: “sejak nenek dari nenekmu, tak seorang pun yang pernah berusaha untuk sekolah, kaulah yang mengawalinya....“ Ibrahim Rasyad, seorang anak dari Sumatera Barat, bahkan berdagang kaki lima untuk bisa melanjutkan sekolah. Sekolah, catat Goenawan, bagai kereta besar tempat di mana orang berduyun-duyun bergantungan di atasnya dengan berbagai cara. 

Tetapi, sekolah ternyata tak selamanya ditatap dengan penuh haru. Di Jepang, sekolah pernah menjadi begitu menakutkan, bagai monster ia meneror kejiwaan anak-anak Jepang. Tak berapa lama setelah dibom atom, pengambil kebijakan pendidikan percaya bahwa negara yang telah hancur-lebur itu harus dibangkitkan segera, sekolah harus berada di garda terdepan, kapan perlu dengan sistem yang keras. Usaha itu mungkin berhasil di satu sisi, Jepang kemudian menjadi negara industri besar. Namun, ada implikasi lain yang justru mulai disadari belakagan. Majalah Time awal Januari 1983 melaporkan, masih sebagaimana dikutip Goenawan, 50.000 anak-anak Jepang ternyata ‘Phobia Sekolah’. Seorang anak 13 tahun menyendiri di kamar gelap karena takut dibawa ke sekolah. Lewat dari setahun ia tak pergi ke sekolah, ia menerima makanannya lewat celah yang ada di bawah pintu. Ia akan membentak keras-keras bila ada orangtua yang mendekat. Di pinggiran Tokyo, seorang ibu membunuh anaknya, lalu membunuh dirinya sendiri, karena putus asa melihat anak laki-lakinya menderita ‘phobia sekolah’, dan tak bisa lagi diharap sukses. Sebab di Jepang bahkan hingga akhir tahun 1980an, sukses berarti harus melewati jenjang sekolah dengan bagus sekali, bila perlu si anak tiap kali harus mengguyur kepalanya bila kantuk tiba, buat menahan diri menghadapi ulangan besok. 

Kini, optimisme akan dunia pendidikan bertabur di sekeliling kita. Ujian Nasional dikawal dengan penuh harapan agar kelak melahirkan generasi yang bagus, tidak korup, dan cemerlang. Bahkan dalam ujian nasional yang telah berlangsung, beberapa siswa diamankan karena mencontek, digiring bagai seorang terpidana. Para siswa seakan-akan dihadapkan pada ‘kriminalisasi’atas dirinya sendiri. Dalam beberapa bulan sebelum ujian, para peserta ujian juga ramai-ramai diarak ke majlis-majlis zikir seakan-akan amuk-gelombang telah menghadang di depan. Para motivator juga didatangkan ke sekolah-sekolah seakan-akan badai besar menanti. Lalu, les-les diadakan saban waktu, pelajar harus siap-sedia, target kelulusan ditetapkan batas minimumnya. Dan sekolah, dengan begitu, mengumbar optimisme tetapi di sisi lain juga memproduksi ketakutan demi ketakutan. Maka jangan-jangan, kita sedang mengulang apa yang dilakukan Jepang puluhan tahun yang lalu, menjadikan sekolah bagai penjara yang mematikan jiwa anak didiknya, menciptakan epidemi baru bernama ‘phobia sekolah’. Tidak, tidak, semoga saja tidak. 

Orang-orang di Jepang telah lama sadar, cara mereka melahirkan generasinya lewat sistem pendidikan tak ada bedanya dengan cara mereka memproduksi robot, memproduksi mobil, memproduksi teve, meproduksi ponsel di pabrik-pabrik. Setelah dirakit, mereka akan diujicobakan, layak atau tidak masuk ke pasaran. Ujicoba, ujian besar, itulah yang menentukan nasib dan masa depan robot. Tapi manusia bukan teve, bukan ponsel. Sekolah tak punya hak menentukan masa depan. Ujian, apa pun namanya, tidak bisa menjadi penentu hari esok. 

Ibrahim Rasyad dari Sumatera Barat itu tahu, bukan pelajaran sekolah yang diingatnya dalam kisahnya itu, bukan butir-butif ilmu itu yang dibawa terus setelah mereka dewasa. Goenawan mengutipkan, “sedikit sekali anak-anak yang mengisahkan pendalamannya atau dorongan hatinya kepada suatu cabang ilmu”. Justru yang didapat adalah hal-hal lain di luarnya. Goenawan sekali lagi bisa jadi benar di sini, yang menjadi isi memang tidak teramat penting, yang lebih penting ialah pertumbuhan diri dalam proses di kelas itu. Aljabar, fisika, biologi, atau apa pun namanya yang dipelajari, mungkin dengan gampang akan dilupakan kelak, tapi pengalaman akan proses dalam kelas itu tak bisa dibunuh dengan mudah—karena ia mengandung gairah. Ya, hanya gairah, tapi gairah itulah yang menumbuh-kembangkan pikiran, yang akan membangkitkan daya mencari. Tanpa itu, sekolah nonsense! 

Nun di gua-gua cadas di perbatasan Pakistan-Afganistan. Dua orang bocah Afgan berjalan beriringan. “Bahtai, apa kau belajar cerita lucu?” Kata Abbas. “Tidak, tidak ada seorang pun yang mengajariku, aku belajar sendiri!” kata Bahtai menjawab dengan pipi yang masih bersemu merah. 

Padang, 2012-04-18

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini