Menjemput Kembali Kejayaan Transportasi di Sumatera Barat
Oleh Deddy Arsya
Pada masa kolonial Belanda, transportasi di Sumatera Barat paling maju di antara daerah-daerah di luar Jawa. Angkutan tradisional pedati, bendi, atau kuda beban digantikan angkutan massal modern. Mula-mula kereta api, yang menjadi angkutan umum sejak 1893 di Sumatera Barat. Bukan hanya untuk mengangkut batubara atau komoditas lainnya, tetapi juga dipergunakan untuk angkutan massal manusia tidak lama setelah kemunculannya. Tidak saja sebagai alat angkut orang Belanda, tetapi pribumi telah pula diperbolehkan menikmati fasilitas ini. Sekalipun perbedaan rasial akan tampak mencolok: orang-orang Belanda berada di gerbong depan, gerbong nyaman lagi elite, sementara pribumi hanya boleh mengisi gerbong-gerbong bagian belakang, bercampur dengan kambing, sayur, dan barang-barang lain.
Lalu angkutan mobil didatangkan dari Singapura sejak 1904. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada awal 1920an telah terdapat lebih dari 3000 angkutan mobil di Sumatera Barat. Pada akhir dasawarsa yang sama jumlah mobil telah mencapai angka 7000.
Kereta api kemudian bersaing dengan bus. Kejayaan kereta api berlanjut hanya sampai tahun 1970. Banyak lokomotif telah tua. Lok-lok dan gerbong juga sudah berusia 50 tahun. Rel-rel kereta api telah tertimbun zaman, bahkan banyak yang hilang ditutup belukar, sehingga tak bisa lagi digunakan. Sementara angkutan mobil terus tumbuh, seiring terus tumbuhnya jalan raya. Bus-bus besar yang terkenal pada era 60/70an dan berakhir pada era 2000an.
Pertumbuhan jalan juga pesat. Sejak awal-awal kolonial Belanda, setelah perang padri abad ke-19, orang-orang diarak pergi rodi untuk membangun jalan-jalan. Nagari-nagari hampir seluruhnya dapat jatah dan tanggungjawab memenuhi kouta rodi. Datuk-datuk berperan sebagai tukang arak, kalau ada yang mangkir rodi, didenda, atau dipasebankan (dipenjara). Apa mau dikata, orang Minangkabau kalah perang, padri terjungkang, terpaksalah keinginan Belanda dituruti. Orang Belanda cerdik pula, disuruhnya orang rodi, dikatanya ‘untuk kemajuan anak negeri’, tetapi kenyataannya memang pihak kolonial yang lebih banyak menangguk untung. Jalan-jalan utama ditetapkan pajak jalan. Kalau membawa barang pajaknya lebih besar lagi. Istilahnya kalau di Jawa adalah ‘bea tol’, kalau di sini namanya ‘pajak jalan’. Namun, dengan cara berdarah-darah itu pertumbuhan jalan di Sumatera Barat tumbuh pesat, rata-rata jalan kita sekarang hasil terukaan kolonialisme.
Dari sisi transportasi laut, Teluk Bayur juga terkenal sebagai pelabuhan barang dan manusia. KPM, Koninklijke Paketvaart Maatschappij, perusahaan perkapalan Belanda yang terkenal pada masa kolonial melayani begitu banyak jalur pelayaran yang menghubungkan daerah-daerah di seluruh Indonesia, termasuk ke Sumatera Barat. Bahkan dua kapal Belanda diberi nama khusus dengan nama tempat di Sumatera Barat: SS Sawahloento & SS Singkara.
Kini, sulit kita untuk berbangga atas dunia angkutan kita. Di ibukota provinsi saja terminal tidak punya satupun, kalaupun ada tidak beroperasi. Sehingga terminal bayangan berseliweran, memberi kesan semberawut pada wajah kota. Ditambah lagi angkutan-angkutan liar juga marak di berbagai daerah, tidak bisa pemerintah menertibkan. Tidak jarang, alih-alih angkutan liar mengantarkan orang sampai tujuan, malah mengantarkan penumpangnya ke kematian.
Soal angkutan kota, di pinggiran kota sedikit, sudah saja akan susah menemukannya. Akibatnya orang terpaksa menggunakan kendaraan pribadi, terutama motor yang memang lebih mudah didapatkan dengan cara kredit. Bagi masyarakat dengan pendapatan yang lebih tinggi, banyak yang mampu membeli mobil pribadi. Namun, kepemilikan kendaraan pribadi yang terlalu banyak juga menimbulkan masalah. Motor, misalnya, rentan sekali terjadi kecelakaan. Mobil menambah kemacetan. Terutama yang terakhir, macet bukan hanya persoalan Jakarta saja sekarang, tapi sudah menjadi masalah kota-kota di Sumatera Barat pula. Hal ini dikarenakan jumlah peningkatan kendaraan pribadi tidak sebanding dengan peningkatan kapasitas jalan. Padahal semakin banyak masyarakat yang menggunakan kendaraan umum, semakin efektif pula penggunaan jalan raya. Apa mau dikatakan, ketersediaan kendaraan umum merupakan salah satu pemecahan masalah kemacetan yang dihadapi hampir semua kota besar di dunia, termasuk kota-kota di Sumatera Barat juga.
Di Padang sudah ada Bus Transpadang beberapa waktu belakangan. Namun, hanya beberapa hari pascaberoperasi, bus Trans Padang ini sudah bertabrakan pula dengan sedan. Belum seminggu, keluhan berhamburan sudah dari warga kota. “Bus penuh sesak, menunggu lebih sejam”, kata sebuah pemberitaan. Penumpang berdincit-dincit saja antara laki-laki dan perempuan, tidak ada pembatasan. Bisa-bisa nanti terjadi pula pelecehan seperti di Jakarta. Jalurnya pun pendek dan armadanya sedikit sehingga tidak representatif untuk melayani banyak warga kota. Ada pula yang menyebut sebagai gagah-gagahan, Pekanbaru berbusway, kita tidak mau kalah berbusway pula.
Sementara untuk angkutan udara, kita memang telah punya bandara internasional Minangkabau, tetapi sebagai bertaraf internasional masih cemang-cemong di sana-sini. Nyaris, seluas ini daerah kita, bandara hanya satu itu. Padahal kalau dibandingkan daerah tetangga, Jambi misalnya selain punya Bandara Sultan Thaha juga telah punya Bandara Lebai Hasan di Bungo. Riau apalagi, punya 7 bandara.
Sementara itu, kapal laut dianggap tidak efektif lagi di dunia sekarang. Pun kereta api tinggal sebagai melayani angkutan wisata dan masih ancang ke ancang untuk kembali menjadi angkutan massal.
Selain semua persoalan di atas, persoalan lain yang menghantui dunia angkutan kita sekarang yang tidak kalah menakutkannya adalah kecelakaan lalu lintas. Aspal jalan pembunuh manusia paling mematikan, apalagi di dunia ketiga seperti Indonesia. Dalam dua tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC.
Di Sumatera Barat, kecelakaan memang tidak sekarang saja terjadi. Dulu, jauh pada masa kolonial, sudah ada kecelakaan mobil sudah masuk jurang. Begitu pun kereta api. Kecelakaan terbesar terjadi pada 1944, pada zaman Jepang. Pada tanggal 25 Desember 1944, 200 orang tewas dan 250 orang terluka ketika kereta api kehilangan rem di lembah Anai Sumatra Barat. Namun, itu jelas tak sebanding dengan sekarang.
Jumlah korban tewas kecelakaan lalu lintas di Sumatera Barat selama tahun 2013 saja mencapai 595 orang dari 2.563 kasus kecelakaan. Artinya, dalam satu hari nyaris lebih dari satu orang yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Sumatera Barat. Dan itu terjadi hampir setiap tahunnya, berulang-ulang. Kalau dipikir-pikir betul, ngeri kita membayangkan hidup di dunia seperti ini.
Di Hari Angkutan Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 April ini, sudah saatnya Sumatera Barat kembali menjemput kejayaan yang pernah diraihnya di masa lalu. Terminal yang representatif memang harus ada, tidak mungkin sebuah kota modern tanpa terminal. Bus Trans Padang juga harus diefektifkan betul-betul. Rencana menjadikan kereta api menjadi angkutan massal kembali harus terus didorong. Armada angkutan umum harus terus diperbanyak, melayani rute-rute yang juga harus terus diperluas sebagaimana pentingnya memperluas jalan raya. Dan tentu, jalan raya harus menjadi teman manusia, bukan malah musuh berpedang tajam yang siap memenggal kepala siapa saja kapan pun. Maka penyediaan sarana transportasi umum yang nyaman dan aman bagi masyarakat adahal hal yang mendasak lagi urgen. Transportasi yang baik tentu akan memaksimalkan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan pemerintahan.
Selamat Hari Angkutan Nasional!
Padang, 2014-04-23



Comments
Post a Comment