Mencetak Pasar

Oleh Deddy Arsya

Bagaimana pasar-pasar informal menggusur kapasitas institusional?

Di kota-kota kecil dunia ketiga, kita akan tahu, tanpa perlu terkejut ketika tiba-tiba saja hidup kita telah dikelilingi pasar-pasar tak resmi: kaki lima yang berbiak bagai kurap di pantat, misalnya, atau lapak-lapak pedagang yang terkembang menjelang magrib di sebuah sudut jalan dan akan bubar menjelang fajar.

Ada sebuah penelitian sejarah ekonomi yang ditulis peneliti asing, juga tentang sebuah kota yang asing. Penelitian tersebut kira-kira berbicara mengenai bagaimana ekonomi informal berkembang di Kota Lima, sebuah kota di Amerika Latin, kota dunia ketiga seperti kita.

Di Kota Lima, perkembangan ekonomi ‘tak legal’ itu mengalahkan ekonomi formal. Pasar-pasar tak resmi, yang berupa kumpulan pedagang kaki lima, berkembang di hampir setiap sudut kota, mengalahkan, menutupi, kelangsungan pasar-pasar resmi yang lansung di bawah otoritas pemerintah.

Pasar-pasar resmi lengang, tidak diminati pedagang, pun para pembeli. Kenapa ini bisa terjadi?

Sang peneliti, di antaranya menguraikan penyebabnya: di kota itu, untuk tetap berada di jalur resmi membutuhkan banyak prosedur. Salah satunya sulit sekali mengurus izin usaha. Proses birokrasi yang berbelit-belit, dengan begitu banyak meja, yang mana di setiap meja orang harus membayar retribusi—yang lebih mirip sogokan—untuk memudahkan urusan.

Sementara, di sisi yang berbeda, ekonomi informal tidak memerlukan pengurusan izin yang berbelit-belit serupa itu. Pada wilayah ekonomi informal, perizinan hanya berupa membayar ‘ongkos’ kepada penguasa-penguasa informal setempat—para preman atau kepala kelompok pemuda. Dengan perizinan yang mudah itu, pada akhirnya, wilayah informal lebih diminati.

***

Di Padang, atau barangkali di kota-kota kecil dan menengah pada umumnya di Indonesia, ekonomi informal itulah yang juga berkembang pesat. Dewasa ini kita merasakannya, tetapi barangkali sejarahnya telah lama ada. Sebagaimana di Kota Lima, di jalan-jalan kota kita ini, kaki lima berbiak dengan perkembangan yang mencengangkan. Para pedagang dari jenis apa pun mereka, berkumpul menciptakan pasar-pasar ‘kaget’ di banyak lokasi.

Orang-orang, para pedagang, lebih memilih menggantungkan hidup dengan berjualan di lapak-lapak di tepi jalan raya ketimbang harus menyewa ruko-ruko ‘berizin’ yang harganya melangit. Jika pun ada pasar resmi, di mana negara berhak mengambil retribusi di sana, harga sewa untuk tiap petaknya nyaris tidak terjangkau pedagang kelas bawah. Pun, terkadang pasar-pasar resmi lebih tidak menjanjikan karena lokasinya yang tidak strategis, atau karena akses ke sana tidak mudah bagi calon konsumen.

Menyiasati kesulitan-kesulitan tersebutlah—kita akan sadar betapa pedagang-pedagang di kota kita ini kreatif—mereka bisa menciptakan pasar sendiri. Di halaman sebuah sekolah dasar yang tutup pada malam hari misalnya, atau di parkiran sebuah bank yang tutup setelah ashar. Ada saja tempat-tempat yang mereka ciptakan sebagai ‘pasar’. Barangkali ini yang dikatakan Marx Weber sebagai ‘tangan-tangan yang tak tampak’, tetapi dengan tangan-tangan misterius seperti itulah ekonomi lebih sering mampu bergerak.

Jadilah kini, ekonomi informal itulah yang menggerakkan ekonomi kota ini, ekonomi kita. Para wirausahawan menciptakan pasar bagi diri mereka sendiri. Dan warga kota, menikmatinya, karena pasar-pasar itu menawarkan harga murah, akses yang dekat sehingga mudah dijangkau pembeli, walau kadang-kadang setengah orang juga dibuat menggerutu karena tidak jarang keramaiannya menimbulkan macet.

***

Dalam kajian ilmu sosial, ada prasyarat yang harus dimiliki sebuah masyarakat bagi pertumbuhan ekonomi. Salah satunya, dan yang terpenting, adalah ‘motivasi untuk berprestasi’. Weber menghubungkan motivasi ini lahir dari ide-ide keagamaan—ajaran protestan bagi masyarakat barat, atau nilai-nilai konfusisme bagi masyarakat Tionghoa. Kesalehan seseorang, dalam kedua ajaran itu, dinilai dari ‘keberhasilan’ mereka di dunia. Keberhasilan yang pemaknaannya lebih dekat ke kesuksesan material.

Tetapi, untuk menilai masyarakat kita ini, kita tidak perlu jauh-jauh mengambil perbendaharaan. Barangkali, motivasi untuk berprestasi lahir dari keadaan-keadaan yang sederhana belaka, dari kehidupan keseharian: karena dorongan untuk menghidupi keluarga, ingin mendapat tempat di tengah masyarakat yang materialistis ini, atau untuk mencukupi keperluan sendiri belaka di tengah labrakan ekonomi uang. Kesemuanya itu, mendorong orang untuk berusaha mendapatkan kekayaan.

Motivasi untuk berprestasi (tesis ini persisnya diajukan Davis McClelland—seorang sosiolog Amerika abad kita kini) menemukan jalan keluar terbaiknya melalui kegiatan kewirausahaan. Masyarakat dengan motivasi untuk berprestasi tinggi akan menghasilkan usahawan yang lebih giat dan selanjutnya akan menghasilkan perkembangan ekonomi yang lebih cepat.

Namun, Everet Hagen, sosiolog lain, menyebutkan bahwa ada aspek lain yang juga dapat menstimulasi perkembangan ekonomi lebih jauh. ‘Kepribadian inovatif’, begitu tulisnya Hagen, dapat menerobos benteng stagnasi. Kepribadian macam itu, dalam menghadapi kebuntuan ekonomi, akan melahirkan lapangan hidup bagi dirinya sendiri. Dalam praksisnya, akan melahirkan kaki lima-kaki lima, ekonomi-ekonomi informal, yang lepas dari kuasa negara. Kepribadian inovatif menciptakan usahawan-usahawan yang menciptakan pasarnya sendiri.

***

Hanya saja, tidak selamanya, yang terjadi di dunia kita ini seperti yang diuraikan para teoritikus. Masyarakat di dunia ketiga menghadapi banyak kendala untuk menyalurkan motivasinya yang tinggi untuk berprestasi. Apa yang akan terjadi jika muncul situasi di mana kebutuhan untuk berprestasi itu berlimpah, tetapi jalan keluar untuk menerjemahkannya menjadi kewirausahaan berhambat atau tidak ada sama sekali? Misalnya, ketiadaan lapangan usaha yang memadai, ketiadaaan modal yang cukup, atau sebagaimana yang terjadi di Kota Lima, bahwa negara tidak menstimulasi gairah ekonomi tetapi malah menghancurkannya dengan birokrasi yang berbelit-belit, atau kisruh pasar yang berkepanjangan?

Lebih sering, tidak adanya ruang penyaluran motivasi akan menyebabkan krisis aspirasi. Krisis aspirasi dan harapan itu menimbulkan pasifisme, apatisme, atau dalam kondisi tertentu dapat menularkan aktivitas revolusioner seperti kerusuhan, huru-hara, demonstrasi dengan kekerasan, dan lain hal sebagaimana yang sering terjadi dalam masyarakat negara ketiga pada umumnya.

Perkembangan pesat ekonomi informal di kota kita ini telah menunjukkan bahwa motivasi warga kota sesungguhnya tinggi untuk berprestasi. Anggapan-anggapan purba mengenai etos kerja masyarakat kita yang rendah, tidak ingin maju, dan justifikasi sejenisnya, sudah harus dibuang dari perbendaharaan kita. Tinggal bagaimana wilayah-wilayah usaha diperluas, dan pemerintah mempermudah ruang untuk berusaha bagi masyarakatnya sendiri.

Jika pemerintah tidak melakukan itu, masyarakat toh akan menciptakan pasarnya sendiri juga dengan caranya sendiri pula.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini