Mati dalam Kematian Inisiatif

Oleh Deddy Arsya 

Sebagian mengutuk Nero, tetapi aku mengutuk bangsa ... Setiap bangsa menciptakan Nero-nya sendiri pula Apakah itu “Caesar” atau “Khorru” namanya – sama saja 

(dari sajak seorang penyair Baalbek Lebanon awal abad ke-20) 


Tahun 1955, Beverley M. Bowie, staf majalah National Geographic, bersama fotografernya, J. Baylor Roberts, datang ke Indonesia. Mereka berkeliling, mendatangi negeri-negeri Nusantara yang berada di khatulistiwa itu, menjelajahi lebih dari 16.000 kilomoterpanjang dan lebar kepulauan Indonesia. 

Sekali mereka singgah ke sebuah dusun di daratan tinggi nun di Sumatera, tak jauh dari Bukittinggi. Mereka menyaksikan, sekelompok orang yang didominasi oleh anak-anak sedang membangun sekolah. Sekitar 60 bocah berkumpul  di bantaran sungai yang berumput. Mereka berjejer dalam satu barisan panjang yang berawal dari lokasi penggalian di sisi sebuah bukit. Mereka memindahkan bebatuan dari satu orang ke orang berikutnya, menumpuk bebatuan tersebut di samping gubuk beratap seng yang tak berdinding dan berlantai. Bocah-bocah itu, sebagaimana ditulis Beverley dalam sebuah terbitan National Geographic pada tahun yang sama, berkumpul setiap akhir pekan selama dua bulan terakhir untuk membangun sekolah mereka dan akan terus melanjutkannya selama satu tahun hingga selesai. 

Di Padang, setelah menuruni daratan tinggi arah ke pantai barat, Beverley dan fotografernya bertemu Haroun el-Raschid, mantan Hakim Ketua Sumatera. Haroun, begitu catat Beverley, kini menjabat sebagai kepala sekolah hukum yang didirikannya di Padang bersama lima guru lainnya. “Gaji bulanannya tidak akan mencukupi untuk membeli sebuah ban mobil,” demikian catat Beverley. 

Semangat yang sama, tulis National Geographic ketika itu, akan ditemui hampir di seluruh daerah di Indonesia. Ke mana pun Anda pergi, ke kota-kota atau ke dusun-dusun paling pelosok dari negeri Indonesia ini, akan Anda lihat, energi-energi anak muda yang berlebih, “mereka yang berjalan dengan kepala tegak, bangga, dan melangkah selincah penari”. Beverley menulis: “orang-orang yang saya temui di seluruh Indonesia berupaya sebaik mungkin, melawan segala rintangan, untuk membantu diri sendiri dan negara mereka agar tumbuh menjadi dewasa.” 

Tahun 1955, usia Indonesia memang masih terlalu muda. Bangsa yang belia itu masih tertatih-tatih bagai rusa patah kaki ditembak senapang pemburu, sementara zaman mengejarnya bagai harimau yang kuat dan segar. Ekonominya karut-marut, kemelut politik diwariskan oleh satu dekade agresi mantan penjajah, revolusi, dan perang saudara. Dalam suasana serupa itu, masyarakat barangkali sadar, negara masih menata diri.  Untuk itu, pemerintahan yang masih muda belia itu harus dibantu. 

Pemilihan umum pertama, pada tahun itu juga, dapat menjadi contoh yang lain tentang partisipasi. Di desa dan kelurahan, nyaris tidak ada anggota KPU atau Panwaslu sebagaimana sekarang. Masyarakat membikin TPS-nya sendiri, membikin kotak suara, menjadi pengawas sekaligus. Negara tidak selalu hadir di segala tempat, negara lebih sering hadir sebagai ‘spirit’. Negara hadir sebagai ‘yang tak tampak’, tetapi menggerakkan. 

Tapi partisipasi kalayak yang menyala-nyala itu, sebagaimana disebut Samuel Huntington, bisa berubah dengan sangat cepat. Kadang negara sendirilah yang mengubahnya. Juga untuk kasus Indonesia. 

Tidak sampai tiga tahun setelah National Geographic menerbitkan laporannya itu, di Sumatera Tengah pemberontakan meletus. Pada penambahan hitungan tahun yang sama pula, pemberontakan itu digagalkan. Di daerah lain, berbagai huru-hara tidak lebih sepi. Kecamuk perang dirasakan di banyak tempat, dan negara keluar sebagai pemenang. Lalu pemerintah, si negara, yang diwakilkan tentara pemenang perang, mengusai hingga ke bilik-bilik pribadi rakyatnya. Mengawasi dengan mata yang lebih awas dari angin. Si negara hadir nyata, untuk mengatur dengan detil. 

Seorang Minangkabau, Taufik Abdullah, pulang kampung tidak lama setelah pemberontakan di Sumatera Tengah itu berhasil dipadamkan. Dia menulis kisahnya sendiri dengan hampir setengah haru. Kedatangannya, ke tanah kelahirannya itu, harus dilaporkan kepada pejabat setempat seakan-akan dia adalah orang asing. Gelagatnya diawasi dengan ketat. Jangan-jangan dia akan mempengaruhi rakyat untuk memberontak lagi. Jangan-jangan dia bagian dari musuh yang menyusup. “Jangan-jangan”, kata itu lalu begitu sering muncul, diarahkan kepada rakyatnya sendiri oleh negara. 

Lalu sebuah peristiwa besar lainnya terjadi tidak lama setelah itu. Pemberontakan lagi, kali ini dilakukan oleh (konon) kaum komunis. Negara tampil lagi menjadi hero. Lalu berubah menjadi pengawas yang lihai, lebih lihai dari sebelumnya. Rakyat diawasi dengan ketat, bahkan menggunakan sistem administrasi-birokrasi yang legal. Lurah, RW, hingga ke RT adalah perpanjangan tangan negara untuk mengawasi, mengatur untuk manut. Dan ‘cap’ rakyat sebagai penjahat ditebar dengan menejerial yang sempurna. 

Tentara masuk ke desa-desa paling pelosok. Termasuk ‘ABRI masuk desa’, yang dulu juga pernah saya rasakan ketika kecil, lebih merupakan bagaimana kekuasaan ingin hadir dan dirasakan di struktur politik negara paling bawah, daripada sebuah usaha mendekatkan tentara dengan rakyat yang sering didengung-dengungkan penguasa. 

Semua bertumpu pada kekuasaan yang legal, pemerintah yang sah. Penyelesaian senantiasa harus diserahkan kepada ‘pejabat yang berwenang’. Jika yang tidak berwenang ikut mengurus, akan dikira mengambil wewenang, menyalahi prosedur kekuasaan. 

Apa yang kata Weber, “tangan-tangan yang tak nampak” hampir-hampir tak boleh ada. Tangan-tangan yang tak tampak itu telah lama dicap oleh kekuasaan sebagai berbahaya. Urusan rakyat harus diketahui sedetil-detilnya oleh kekuasan, tidak ada yang boleh tak tampak, semuanya harus tampak. “Tamu harap lapor 2 x24 jam”, adalah sisa-sisa yang masih bisa kita temukan sekarang bagaimana negara mencurigai rakyatnya sendiri dengan ketat. 

Lalu apakah yang akan diharapkan dari negara yang seperti itu? 

Negara perlahan-lahan melenyapkan inisiatif rakyatnya sendiri. Masyarakat kehilangan semangat untuk menyelesaikan persoalannya karena diawasi dan ‘tak dibiarkan sendiri’. Daya kreasi padam, apatis, dan kehilangan inisiatif. Negara ada, hadir, dan mengatur dengan kuat, untuk apa lagi kita terlibat? Terbentuklah mentalitas rakyat yang biasa diarak, masyarakat yang biasa digerakkan baru bergerak. Mentalitas yang berbahaya bagi kemajuan sebuah negara, yang Ali bin Abuthalib pernah mengutuknya: Sekelompok masyarakat yang banyak menuntut tapi tak bisa memberi apa-apa, yang mengandalkan penguasa turun-tangan, dan mati dalam kematian inisiatif. 

Nah, ketika kekuasaan yang tidak percaya pada kemampuan rakyatnya sendiri untuk mengatur dirinya itu terjungkang, kesempatan luas terbuka bagi masyarakat untuk berinisiatif sekarang. Namun, mental menyerahkan nasib diri pada kekuasaan negara, mental yang telah terbentuk demikian lama itu, masih butuh waktu panjang untuk melenyapkannya. Sejarah telah membuatnya mengkristal; mengendap dan mengeras. 

Maka apa mau dikata, ketika sekarang kita masih harus mengadukan hal yang kecil-kecil kepada pemerintah. Hal kecil-kecil yang di tahun 1955 barangkali akan dikerjakan sendiri oleh masyarakat secara bergotong-royong: got yang tersumbat di halaman rumah, sekolah yang dindingnya somplak, jembatan kayu yang rusak, jalan di pinggiran desa yang tidak juga beraspal.... 

Di sisi lain, mentalitas birokrasi yang terbiasa mengatur itu juga masih sulit untuk dihilangkan. Presiden masih harus berbicara tentang masyarakat agar mendatangi puskesmas, masa orientasi siswa harus berjalan tanpa kekerasan, ibu-ibu dan bapak-bapak ikutlah KB.... Hal kecil-kecil yang sesungguhnya tidak perlu diurus Presiden langsung.

Padang, 2013

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini