Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) 2014

Oleh Deddy Arsya

Saya tiba di Bandara Hasanuddin ketika di Fort Rotterdam Landung Simatupang sedang mementaskan sebuah nomor yang menampilkan Babad Diponegoro dalam bentuk pertunjukan drama. Saya tidak sempat menyaksikannya langsung, tetapi orang-orang bilang itu karya yang bagus, ‘bikin merinding gituh’, kata seorang Makassar yang terdengar ke-jakarta-jakartaan. ‘Heran saja, tuturan, sebuah kesenian dari kultur Jawa dipentaskan di Makassar dan mendapat sambutan hangat,’ kata seorang Makassar lain.

Hampir seluruh sesi acara dipusatkan di Fort Rotterdam. Benteng luas dan kokoh berarsitektural seperti penyu yang sedang telungkup menjadi bukti bahwa kekuasaan kolonial tampak kuat di sini, menguasai tanah Celebes bagian selatan ini lebih lama dari Sumatera Barat dijajah. Dari atas dinding benteng yang tebal dengan undak-undakan di beberapa sisinya, kita bisa memandang ke arah Pantai Losari yang selalu ramai terutama pada sore-sore hari. Banyak orang duduk bersantai ‘di atap’ benteng itu. Di sudut tenggara benteng, saya lihat penjara tempat Diponegoro diasingkan. Jendela-jendelanya berjeruji besar-besar, tetapi ketika menengok ke dalam ruangan itu tidak mirip penjara sama sekali, sebab di dalamnya dilengkapi beberapa furniture yang bagus, seperti meja dan kursi serta almari yang terawat baik. Ada pula dipan bergaya lama yang dikatakan seseorang kepada saya sebagai tempat tidur Diponegoro. Berlatar ruang pengasingan Diponegoro itulah Landung mementaskan lakonnya malam itu.

Saya datang ke Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) untuk berbicara mengenai geliat komunitas sastra di Padang—mereka mengharapkan itu sebagai representasi dari wilayah barat Indonesia, sekalipun menurut pandangan saya sesungguhnya kehadiran saya tidak mungkin bisa menjadi representasi untuk wilayah seluas itu. Orang-orang di luar sana heran juga, mengapa banyak sekali pengarang lahir satu dekade belakangan ini di Sumatera Barat, tulisan mereka melintasi banyak genre dari sajak, prosa, artikel, hingga kisah perjalanan. Mengisi berbagai halaman koran dan majalah terkenal secara rutin dengan kualitas karangan yang tidak bisa dianggap remeh sebab telah memenangkan berbagai ‘award’ juga. Satu sesi dengan saya ada enam penulis dari timur: Kupang, Makasar, Kendari, Manado, Sumbawa, nama mereka berturut-turut adalah Ama Achmad, Amaya Kim, Pringadi AS, Saddam HP, Ran Jiecess and Louie Buana. Komunitas sastra di daerah-daerah timur itu tampak bergairah sekali dari pembicaraan mereka. Terutama di Makassar dan Kupang, anak-anak muda antusias dengan sastra, berkumpul secara rutin membicarakan tulisan-tulisan mereka, memberi apresiasi yang luas bagi mereka yang berhasil, menerbitkan tulisan-tulisan anggota komunitas dalam bentuk berkala maupun buku dengan biaya patungan, menyiapkan acara rutin yang intens untuk terus menumbuhkan gairah berkarya. Dan lebih banyak lagi. Mereka bersemangat sekali membicarakan komunitas di daerah mereka sendiri.

Saya katakan kalau di daerah saya komunitas sastra susah berkembang, hidup dan mati begitu saja, kalau ada yang bertahan agak lama hidup bagai kerakap tumbuh di batu. Dulu, enam atau lima tahun lalu, memang pernah banyak sekali komunitas. Dua atau tiga orang berkumpul, lalu membikin komunitas. Ada juga komunitas yang anggotanya ramai sekali, mencapai puluhan orang. Rata-rata, ketika itu, penulis dari Sumatera Barat mencantumkan identitas komunitas pada kolofon setiap tulisan mereka. Tetapi, paling lama usia komunitas itu hanya dua tahun. Pernah beberapa komunitas menerbitkan tabloid atau semacamnya untuk menampung karya-karya anggotanya, tetapi yang paling berhasil hanya dua kali penerbitan, setelah itu tercagut-cagut kehabisan napas. Sekarang, sulit sekali menemukan ada orang-orang yang berkumpul dengan satu minat pada sastra secara rutin membicarakan tulisan-tulisan mereka sebelum diterbitkan atau setelah diterbitkan media massa sekalipun. Untuk membedah buku saja susah. Saya katakan, ada kejenuhan untuk berkomunitas di Padang sekarang. Orang-orang inginnya bekerja di rumah sendiri saja. Lalu ketika letih bekerja, barulah mereka pergi ‘keluar’, berkumpul-kumpul minum kopi sambil membicarakan omong-kosong, memperolok-olok keadaan, atau ‘bergosip’ soal nasib dan hari depan diri sendiri, masyarakat, hingga bangsa.

Saya tinggalkan ruang diskusi dan naik becak dari Fort Rotterdam menuju benteng Sumba Opu sore-sore hari. Begitu banyak benteng di kota ini, dulu ada sebelas, tapi yang tersisa hanya dua itu saja, kata tukang becak. Asli Makassar? tanya saya. Saya Bugis, katanya, dengan nada yang terasa ketus. Tapi saya ke sini bukan untuk melihat benteng. Masa silam adalah sesuatu yang ingin saya lupakan tapi tidak bisa. Saya ingin makan coto mangkassar yang terkenal sangat enak. Ada di Restoran Nusantara, kata tukang becak itu. Masakan Makassar kebanyakan menggunakan jeruk nipis. Teman saya dari Ambon berbisik, gampang membikin orang Makassar rusuh, timbun seluruh jeruk nipis dan jangan biarkan sebijipun beredar di pasar. Mereka akan heboh.

Di daerah saya, kebanyakan masakan bersantan dan pedas; masakan kami barangkali perpaduan keduanya, manis santan dan pedas cabai sekaligus. Orang Padang rusuh kalau santan dan cabai harganya mahal, kata saya pula menimpali. Kebudayaan kami pula adalah kebudayaan lambung, kata saya lagi mengutip Hamka pada lain kesempatan ketika saya diminta membaca sajak di sebuah restoran yang menjual masakan khas Makassar. Bagi kami, ‘Sumatera Tengah’ adalah penyebutan untuk perut, itu adalah wilayah yang utama diperhatikan. Jika ‘perut’ terganggu, ibarat semua urusan bakal menjadi kacau. Untuk menaklukkan orang Padang, taklukkan dulu perutnya, kata saya pula.

Ada banyak pengarang datang ke Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) 2014. Dari berbagai daerah, dari berbagai negara. Teman saya dari Malaysia bicara soal Datuk Kemala setengah berbisik-bisik. Di tempat kami, dia terkenal karena sastrawan negara, banyak pengarang dari daerah kami diundangnya ke Malaysia, kata saya. Tapi di Malaysia dia telah ditinggalkan, kata teman saya itu. Terlalu ‘tua’, konservatif, dan tidak bisa diterima generasi muda. Sajak-sajaknya bergaya lama dengan begitu banyak kata arkais yang tidak dimengerti generasi kami, katanya lagi. Teman saya itu penulis novel yang bagus. Saya kira, ada banyak pengarang Malaysia yang tidak kita tahu yang ternyata memiliki karya-karya yang luar biasa. Saya pikir, seperti Datuk Kemala semua karya orang di Malaysia itu, namun ternyata tidak. Ada banyak penyair yang bagus, katanya.

Ada sesi di mana empat penulis dari negara ASEAN membicarakan perkembangan dan gairah kesusastraan di negaranya masing-masing. Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Ada Linda Cristanty, Wan Nor Azriq, Marc Nair, Bryan Hosmillo. Problem di antara negara-negara ASEAN itu adalah karya-karya dari pengarang suatu negara susah diakses negara lain, begitu simpulan diskusi itu kira-kira. Toko-toko buku di suatu negara jarang sekali menjual karya-karya pengarang negara lain sesama negara ASEAN. Jadi, seringkali kita buta terhadap perkembangan sastra di Singapura atau Filipina atau Malaysia misalnya. Kalau pun kita mengenal kesusastraan negeri-negeri jiran itu, hanya segelintir saja dan tidak representatif menggambarkan perkembangan kesusastraan di negera yang bersangkutan, tetapi malah sering terjadi salah paham, seperti kasus Malaysia itu tadi dengan Datuk Kemala-nya.

Ada banyak sesi sebenarnya, dengan berbagai topik dan menghadirkan banyak pembicara dari berbagai daerah dan negara. Pada daftar acara yang bertemakan Finding Sincerity ini, festival yang berlangsung 4-7 Juni 2014 ini mengetengahkan beberapa sesi diskusi. Ada forum mengenai komunitas sastra enam kota (yang saya diminta berbicara), forum tentang pengarang-pengarang dari Indonesia Timur, topik mengenai sastra dan perubahan politik, pembicaraan mengenai Baharuddin Lopa sebagai pejuang Hak Azazi Manusia, tentang terorisme di media Indonesia, kolaborasi sastra pengarang lintas negara, sastra rempah-rempah dan kuliner, juga ada beberapa bedah buku di antaranya buku sejarah bertajuk Takdir, The Biography of Prince Diponegoro yang ditulis Peter Carey dan novel Eka Kurniawan yang baru terbit, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.

Pada malam penutupan, saya duduk di cafe besar di depan Fort Rotterdam, tidak jauh dari Pantai Losari yang terkenal itu. Cafe itu ramai sekali, tumpah-ruah oleh manusia yang hendak menghabiskan malam Minggu. Cafe itu terkangkang pada laut Ujung Pandang. Di lepas pantai, beberapa pulau kecil tampak menyala dengan cahaya; di pulau itu ada restoran, hotel, bungalo, lengkap sudah sebagai kota kecil yang hendak dijadikan destinasi wisata, kata seorang teman. Bagaimana cara ke sana? tanya saya. Naik perahu dari pelabuhan nun di sana, katanya menunjuk arah ke tenggara. Orang-orang di sini kadang menggerutu kenapa laut harus didam pemerintah kota, padahal tanah di sini masih luas dan belum terkelola. Di samping itu, pulau-pulau kecil di lepas pantai Makassar masih cukup banyak yang belum berpenghuni yang dibiarkan terlantar. Singapura atau Belanda yang memiliki tanah yang sempit barangkali wajar jiwa mereka mendam laut. Tapi kita? kata teman saya setengah sangsi.

Ujung Pandang, yang kini bernama Makassar itu, seperti sebuah tempat salon yang setiap hari buka. Ada saja yang terus bersolek diri di dalamnya. Pulau buatan, gedung-gedung belasan tingkat, jalan-jalan baru yang didam dengan semen dari PT. Bosowa, komplek perumahan real estate, hotel-hotel baru yang menjamur. Dari kota itu menuju Bandara Hasanuddin terentang jalan tol puluhan kilometer panjangnya. Makassar adalah Jakarta-nya Indonesia Timur, kata seseorang di cafe. Dari cafe besar itu, musik menghentak-hentak memainkan lagu dari Jakarta. Lagu daerah di mainkan di kedai-kedai kopi di pinggir jalan saja oleh pemuda-pemuda yang patah hati, kata seseorang lagi mencemooh. Di lapangan luas di dalam Fort Rotterdam, tidak jauh dari cafe itu, orang-orang membacakan sajak disaksikan banyak orang. Saya belum pernah menyaksikan acara pembacaan puisi disaksikan orang begitu ramai.

Hampir pukul dua dini hari, tapi di sepanjang Pantai Losari, keramaian belum mau berkurang, orang-orang seperti terkena epidemi ‘imsomnia’.

Padang, 2014-06-12

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini