Lebaran, Kebahagiaan dan Ironi
Seorang bocah laki-laki menangis terisak-isak ketika Muhammad yang hendak menuju masjid mendapatinya. Kawan-kawan sebayanya sedang berbahagia, tapi anak itu berbaju lusuh bagai tak terurus. Muhammad memanggil Fatimah dan menyeru, “beri dia baju yang bagus, dan anggap dia adikmu!” Di hari itu, memang, tak ada yang boleh tidak berbahagia.
Namun, di masa yang jauh dari kisah itu terjadi, di masa kita kini, hari raya justru adalah hari ketika kepemilikan dipamerkan, jerih pencarian selama 11 bulan dipergelarkan. Adalah juga hari ketika kita menginformasikan dan kemudian bertanya: ‘Saya telah punya ini, ini, dan ini. Anda telah punya apa?’.
Betapa menyesakkan hidup macam itu bagi mereka yang tak ada. Mereka akan merasa dicemooh oleh pameran kepemilikan itu.
Muhamad Radjab menggambarkan ini dengan hidup dalam bukunya yang terkenal, Semasa Ketjil di Kampoeng. Orang-orang yang pulang dari rantau memamerkan arloji dari emas, gigi dari emas, baju tebal dari beludru yang mahal, jas gaya betawi. Dan si saya, Si Ridjal yang malang, yang tak punya apa-apa, merasa kecil diri, merasa dicemooh atas ketidakpunyaannya itu. Merasa malu.
Orang Melayu hidup dalam bayang-bayang ‘apa kata orang’, ‘malulah awak’ atau ‘apa kata dunia’, kata Naga Bonar. Di bawah kuasa frase-frase yang tiranik ini, hidup menjadi tidak apa adanya. Diri harus dipermak terus-menerus agar sesuai kehendak orang banyak. Kadang-kadang, hidup menjadi hanya untuk memenuhi harapan sosial.
Tetapi tidakkah, malu itulah yang pula, mengantarkan orang-orang untuk giat bekerja? Perantauan untuk mencari untung dimulai, dan etos dagang berkembang, ekonomi bisa bergairah tumbuh. Untuk terbebas dari ‘malu yang tak terbagi’ itulah etos kapital tumbuh, bukan?
Justru, dalam kondisi serupa itu, bukan Etika Protestan yang menumbuhkan semangat kapitalisme sebagaimana yang terjadi di Eropa di masa lalu, sebagai dikatakan Marx Weber yang termasyur. Akan tetapi, cemoohan, pandangan dengan sudut mata, pembuangan muka yang pedih kepada ‘mereka yang tak berada’ itulah yang menyebabkan hasrat akan ‘sukses’ menjalar sampai ke ubun-ubun. Dan sukses hampir selalu diukur dengan uang, kekayaan material. Dendam itu terbawa sepanjang badan, sepanjang jalan. Dendam itu, diformulasikan sebagai ‘mambangkik batang tarandam’. Dan, huh, betapa menyesakkan tumbuh dalam masyarakat serupa itu.
Di tengah kondisi itu, orang-orang bisa lupa pada esensi kisah di atas. Bukan kepemilikan akan benda-benda yang penting, tetapi kebahagiaan kita dan orang lain yang lebih esensial. Penekanannya memang pada kebahagiaan sesama, bagaimana orang-orang sama-sama mendapat rahmat.
Maka, sesungguhnya, problemnya amat sederhana, silahkan kaya tapi kekayaanmu itu gunakan pula untuk membantu temanmu yang miskin. Tidak apa-apa kau beli baju, tetapi belilah agak banyak sedikit, agar dapat kau bagikan ke beberapa orang yang tak mampu beli, bukan malah untuk kau pakai sendiri. Barangkali, etos Islam seperti itu belaka.
Tapi Muhammad telah lama wafat, dan dunia telah lama berubah. Dan kita kini hidup di zaman yang tak mementingkan substansi semacam itu.



Comments
Post a Comment