Langkisau Bukit Painan
Oleh Deddy Arsya
langkisau bukik langkisau
tanang aie di talao
tangiang kampuang maimbau
taganang si aie mato
langkisau bukik painan
batampek mandi pincuran madang
elok ka rantau denai bajalan
kok lai tabangkik batang tarandam
badabualah ombak mahampeh
batu kureta mamanciang ikan
kok lai mujua bundo malapeh
ayam pulang ka pautan
Elly Kasim menyanyikan lagu itu di sekitar tahun 80-an. Begitu lirih dan pilu. Saya mengunjungi kota kecil dalam lagu itu. Juga bukit itu: Langkisau. Dari atas bukit itu kita bisa melihat kota Painan yang kecil, indah dan menawan. Ada terlihat pantai berpasir putih, Batu Kureta, yang melekuk agak ke Barat Daya. Di ujung lekuk yang lain, arah ke Selatan, terlihat pelabuhan kapal.
Painan memang hanya sebuah lekuk, sebuah teluk. Sebelum tahun 70-an, pelaut-pelaut Bugis banyak berdatangan ke kota itu, bermigrasi secara besar-besaran. Pelaut-pelaut yang terkenal petualang itu bermukim dan menciptakan hidup. Konon, di lepas pantai Painan, hasil laut seperti ikan banyak dan tak tergarap. Dan mereka datang untuk mengadu peruntungan sebagai nelayan. Ada beberapa di antara mereka yang kawin dengan penduduk asli. Di Painan masih akan kita temukan beberapa orang peranakan Bugis yang tersisa.
Namun di sekitar tahun 70-an, pelaut-pelaut Bugis yang terkenal handal itu mulai menyusut kehadirannya di kota kecil itu. Bahkan setelah tahun itu, mereka terkikis habis. Lenyap entah ke mana. Entah peristiwa apa pula yang menyertai kelenyapan mereka. Konon, sebuah kerusuhan meletus, kapal-kapal mereka dibakar dilepas pantai. Menurut cerita, pelaut-pelaut Bugis yang datang melaut dan tinggal di pesisir pantai kota kecil itu konon punya kapal-kapal besar, bagan dan pukat yang lebih mutakhir, dan nelayan-nelayan pribumi kalah saing. Lalu konflik terjadi dan merebak ke seluruh kota. Orang-orang Bugis diusir pergi dan tak diizinkan lagi tinggal.
Painan—dan beberapa kota kecil lain di Pesisir seperti Tarusan, Salido, dan Indrapura (yang terletak lebih ke Selatan)—memang terkenal sebagai bandar-bandar transit sejak dahulu, entrepot-entrepot pantai yang ramai dikunjungi pialang asing dan pribumi. Apalagi sejak kegagalan Belanda membangun logi di Tiku dan Padang pada abad ke-17, kota-kota kecil di Pesisir Selatan itu semakin menjadi penting. Di lepas pantai Painan, di pulau Cingkuk misalnya, ada berdiri sebuah benteng, awalnya saaya piker itu benteng Belanda, ternyata Portugis yang punya. Hal ini menandakan kota ini pernah dijadikan pusat dagang bagi.
Painan dan daerah-daerah lain di pesisir bagian selatan itu demikian menawan dan elok dengan keindahan alamnya. Tapi mungkin acap tak banyak memberi peruntungan bagi penduduk yang tinggal di sana. Seperti daerah lain di ranah Minang, banyak penduduknya yang memutuskan bertolak, meninggalkan keindahan dan keelokan itu, menuju tanah lain.
Seperti sajak Sutan Takdir Alisjahbana, "aku tinggalkan tasik yang tenang tiada beriak".
Painan memang kota yang tenang. Ombak pantainya lebih lembut dan tak seberdebur ombak Pantai Purus misalnya. Mungkin lebih tepatnya kota ini lamban. Ia mendekati kota mati. Di hari Sabtu, kota ini akan tambah sepi. Anak-anak sekolah yang meramaikan kota kecil ini biasanya telah pulang ke daerah-daerah pinggiran Painan seperti ke Bayang, Tarusan, Batangkapeh, Kambang, Belaisalasa, ... Di tengah kelambanan serupa itu, seseorang dan banyak orang lainnya ingin ke Jawa atau ke daerah-daerah lain yang lebih menjanjikan dinamika. Mereka ingin mencari peruntungan, merubah nasib. Menggeliat. Sebab Painan dan dearah-daerah lain di sekitarnya tidak menjanjikan itu. Painan hanya kota kecil, sebuah transit yang penuh kenangan.
Dan anehnya, orang-orang yang berangkat itu selalu akan pulang. Nanti. Mengabarkan hasil pencarian selama merantau. Mereka mungkin tak pernah mencintai Jakarta, Batam, Semarang, Surabaya, atau... kota-kota lainnya yang ketika akhir lebaran tiba akan lebih sering mengadakan razia para pendatang gelap. Ah, pendatang gelap. Bagaimana istilah ini dirumuskan kepada mereka, penduduk sebuah negara, yang tengah berada di dalam negaranya sendiri? Entahlah.
Elly Kasim bernyanyi. Dan jauh di Jawa sana ada yang terus merindukan kampung halaman. Apalagi RRI pusat, di hari-hari tertentu akan menyiarkan program “Minang Maimbau” yang menyiarkan lagu-lagu Minang ternama.
Dan aneh agaknya: kita disuruh berangkat, tapi sekaligus selalu dipanggil untuk pulang.



Comments
Post a Comment