Kapal-kapal Dai Nippon di Laut Kita

Oleh Deddy Arsya
Ketika dunia perkapalan dan pelayaran kita sedang berada di masa-masa gelap seperti sekarang, buku ini memang patut untuk dibaca. Penetrasi Lewat Laut: Kapal-kapal Jepang di Indonesia Sebelum 1942, diterbitkan Penerbit Ombak tahun ini (2011). Dalam buku ini, Gusti Asnan mendiskusikan bagaimana Jepang menjadi kekuatan besar dalam dunia perkapalan dan pelayaran di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara sebelum tahun 1942.
Kapal-kapal Jepang pernah menjadi momok yang ‘menggigilkan lutut’ pemerintah kolonial karena dikhawatirkan akan menghancurkan dominasi perusahaan pelayaran pemerintah Belanda di Hindia masa itu (KPM), tetapi di sisi lain kapal-kapal Jepang ‘dicintai’ penumpang-penumpang pribumi karena keramahan pelayanannya.
Jauh sebelum armada militer Jepang menginvasi Indonesia, kapal-kapal Jepang telah lebih dulu melakukan penetrasi ke wilayah kita. Setidak-tidaknya sejak industri perkapalan Jepang bangkit pasca-Restorasi Meiji, secara bergelombang, perusahaan-perusahaan perkapalan Jepang telah membuka jalur pelayaran ke dan di Nusantara. Kapal-kapal komersil mereka menghubungkan satu pulau dengan pulau lain, bahkan yang terpencil dan tidak dijangkau oleh kapal-kapal komersil Belanda. Penetrasi kapal-kapal mereka ini pula dicurigai menjadi cikal-bakal untuk melakukan penetrasi secara militer di kemudian masa.
Bagaimana Jepang membangun dunia perkapalannya hingga mampu menyaingi bahkan mungkin menghancurkan dominasi perkapalan Eropa di Nusantara sebelum tahun 1942?
Kapal-kapal Ramah dan Murah
Sebagaimana yang terjadi di atas kereta api, “politik apartheid” juga dialami penumpang pribumi di atas kapal Belanda. Di atas kapal Belanda, penumpang-penumpang pribumi juga mendapat perlakukan yang berbeda dari penumpang-penumpang kulit putih. Sekali pun dek-dek penumpang inlanders dan penumpang Eropa tidak dipisah, namun kecongkakan para sinyo-sinyo Belanda itu tidak serta-merta lenyap. Berada di atas kapal Belanda, orang-orang pribumi harus selalu ‘tahu diri’ dalam bersikap dan berprilaku jika tidak ingin membuat sinyo-sinyo Belanda- pucat itu marah.
Kenyataan ini akan berbeda jika menumpang di kapal-kapal milik perusahaan pelayaran Jepang. Gusti Asnan menuliskan, mengutip catatan Parada Harahap—wartawan yang melakukan perjalanan dengan kapal laut ke Jepang tahun 1933, bahwa awak-awak kapal Jepang ramah dan mau berbaur dengan penumpang-penumpang Melayu. Kapten kapal, misanya, bersedia makan bersama dan berbincang-bicang dengan siapa pun dan dari kelas mana pun di atas kapal. Begitu pun dengan anak buah kapal, “semuanya ramah dan saling menghargai” (p. 177). Inilah di antaranya yang menyebabkan pribumi lebih senang naik kapal Jepang dibandingkan kapal Belanda.
Selain keramah-tamahan pelayanan, kapal-kapal Jepang juga banyak dilirik penumpang pribumi karena ongkosnya yang jauh lebih murah dari kapal-kapal Belanda. Sebagai perbandingan misalnya, dicatatkan Gusti Asnan, tarif pengangkutan barang dari Batavia ke Padang naik kapal Belanda sebesar 24 yen, sementara naik kapal Jepang dengan bawaan barang yang jauh lebih berat hanya dikenakan biaya sebesar 12 yen. Begitu pun dengan harga sewa kamar, di atas kapal Jepang lebih murah dibandingkan sewa kamar di kapal Belanda.
Kenapa ini terjadi? Gusti Asnan menulis, bahwa kapal-kapal Belanda terlalu mewah, makanan dan cara pengurusannya senantiasa seperti orang berpesta (p. 174). Kemewahan ini justru menaikkan tarif sewa yang tidak mampu dijangkau oleh kantong kebanyakan pribumi. Di samping itu, tingginya biaya yang dikeluarkan perusahaan perkapalan untuk menggaji awak dan kru kapal, mau tidak mau berimbas pada tarif sewa. Sementara kapal-kapal Jepang jauh lebih sederhana. Mengutip Parada Harahap lagi, Gusti Asnan mencatatkan bahwa, kapal-kapal Jepang itu “tidak luxues, tetapi baik, sederhana, dan menarik hati serta bersih....”
Kapal-kapal yang Membawa Pelacur dan Tukang Cukur
Lancarnya hubungan antar daerah di Indonesia, serta mulusnya lalu-lintas ke Jepang sendiri, mengimplikasikan hal lain. Gelombang imigrasi orang-orang Jepang ke Indonesia menjadi tak tertahankan. Ini punya koneksi dengan kenyataan bahwa Restorasi Meiji yang melanda Negeri Matahari Terbit itu telah mendorong industrialisasi. Kota-kota bermekaran, pertumbuhan penduduk meledak, dan urbanisasi adalah jalan yang mutlak. Akibatnya, untuk mendukung agenda restorasi ini berjalan lancar, pemuda-pemuda dikirim ke luar negeri sebagai imigran. Imigran laki-laki kebanyakan berprosesi sebagai pedagang keliling, germo, dan penjual obat-obatan—di periode lain kebanyak menjadi tukang foto dan tukang cukur. Sementara yang perempuan, terkhusus perempuan-perempuan muda, didrop untuk menjadi pelacur. Tentu saja, tanpa lalu-lintas transportasi laut yang lancar dan memadai, proses imigrasi ini tidak akan berjalan dengan semarak.
Gelombang pelacur dan ‘tukang cukur’ Jepang pernah meramaikan kota-kota Nusantara. Mereka mendatangi kota-kota penting di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan bahkan Sulawesi. Sumatera Barat, di antaranya pernah menjadi tempat yang cukup kondusif bagi imigran perempuan asal Jepang. Kota-kota pantai barat Sumatera menjadi ‘ruang hidup yang basah’ bagi pelacur-pelacur dari Jepang ini. Tercatat, pada kurun waktu tertentu, jumlah pelacur Jepang di kota-kota pantai Sumatera Barat cukup signifikan. Pada tahun 1896, catat Gusti Asnan, terdata ada 75 orang pelacur Jepang di Sumatera Barat. Jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mereka di Batavia yang hanya 45 orang, Semarang 3 orang, atau Surabaya yang juga 3 orang. Jumlah paling banyak terdapat di Sumatera Timur, 209 orang, ini barangkali karena di kawasan itu terdapat perkebunan-perkebunan yang luas.
Buku Ini dan Historiografi Indonesia
Karya sejarah tentang Jepang di Indonesia didominasi oleh karya-karya sejarah yang bercorak politik dan militer. Sehingga periode yang dikaji pun kebanyakan periode penjajahan Jepang di Indonesia. Pada pelajaran sejarah di sekolah maupun pada kebanyakan buku sejarah tentang Jepang di Indonesia, misalnya, hanya memokuskan perhatian pada periode 1942-1945, dari kedatangan armada militer Jepang hingga Indonesia merdeka.
Padahal, jauh sebelum itu, orang-orang Jepang telah ramai menjalin kontak dengan Nusantara. Hal ini memungkinkan masyarakat di kawasan ini mempunyai pengalaman bersentuhan dengan masyarakat dari Negeri Matahari Terbit itu. Beberapa suku di Indonesia bahkan punya kedakatan yang khusus dengan Jepang. Orang Minangkabau, misalnya, hingga kini masih menganggap nenek moyang mereka punya hubungan darah dengan orang Jepang. Nenek moyang orang Minangkabau yang bernama Maharaja Diraja itu adalah saudara dari nenek moyang orang Jepang yang bernama Maharaja Dipang, sama-sama keturuan Iskandar Zulkarnaen.
Barulah pada tahun1990an, kajian terhadap Jepang di Indonesia sebelum periode 1942 mulai bermunculan, meskipun masih bisa dihitung dengan sepuluh jari. Melihat pada hal itu, maka kajian tentang kapal-kapal Jepang di Indonesia sebelum 1942 ini ini merupakan kajian yang cukup segar guna memperkaya historiografi Indonesia. Apalagi, ini merupakan kajian sejarah maritim, belahan ‘dunia’ yang acap diabaikan selama ini, padahal negara kita adalah negara kelautan.
Buku ini didominasi penggunaan sumber-sumber asing. Arsip-arsip berupa statistik pelayaran, misalnya, hampir seluruhnya berasal dari yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda. Tentu dominasi sumber-sumber asing ini beralasan saja, karena catatan-catatan pribumi tentang dunia perkapalan Jepang memang sulit untuk ditemukan. Namun, suara-suaru pribumi juga terdengar dari buku ini. Catatan pengalaman seorang wartawan Indonesia naik kapal Jepang, Parada Harahap, yang berjudul Dari Pantai ke Pantai: Perdjalanan ke Sumatera dan Menoejoe Matahari Terbit (Perdjalanan ke Djepang), merupakan sumber lokal yang cukup penting. Sedikit banyak, ‘suara Parada’ ini sudah dapat sedikit menggambarkan bagaimana pengalaman dan kesan-kesan dari orang Indonesia sendiri atas penetrasi asing ke negerinya. Dan ini pula sudah sedikit dapat menghindarkan buku ini untuk tidak terjerumus kepada “sejarah orang asing di Indonesia”.
Selamat membaca!
Padang, 2011-08-31



Comments
Post a Comment