Kain dari Bugis dan Sajak-sajak Lain
Kain dari Bugis
Seorang Arab penjual peniti
Berkali-kali mendatangi rumahmu
Sebuah pincalang terdampar di utara Tiku, katanya
Ada kain yang lebih lembut dari ujung rambut nona
Lebih harus dari meranti atau kulit lansano
Tapi tak ada kau di situ
Kau dibawa samun dari Ujung Gurun
Ke sana ke Bukit Tajadi kampung padri
“Ibu, Ibu, aku bawa untukmu
Khusus yang paling baru
Kain yang membelakangi matahari turun
Kain dagangan para lanun.”
Seorang Arab pedangan semat
Dengan mata besar bulat dan bibir pepat
Alisnya damar keras dan arang hitam
Berkali-kali lewat di halaman rumahmu
Melambaik-lambaikan selendang itu
Bagai manik-manik pada ekor tenggiri
Berkilat-kilat dari jauh tampak saja sekali
Tapi tak ada kau di situ
Kau dibawa karavan Pauh Lima
Naik Sitinju ke Tigabelas Kota
“Ibu, Ibu, ini aku tawarkan
Kain pembalut deritamu
Selendang manyang selendang dunia
Sehelai dua boleh kau coba.”
Seorang Arab yang rambutnya keriting coklat
Mendatangi ibuku berabad-abad setelah kamu
Setelah pabrik besi di Bekasi berdiri dan kain kami
Didatangkan dari Tanah Abang sebulan sekali
Tapi tak ada kau di situ
Kau kini ditumpuk bersama ribuan kodi kordurai warna susu
Kau kini ada dalam truk kontainer melintar Selat Sunda itu
Apakah dia masih jua berseru
Dari halaman itu:
“Ibu, Ibu, belilah agak sehelai dua
Biar akan sempurna manis lenggokmu.”
Koin Sepuh Emas
Aku abwakan istriku koin sepu emas
Tiga gulden abad kedelapanbelas
“Belilah beras kami ini!” kata kolektor itu
Dia melemparkan dencingan pada tanganku
Loji-loji kompeni terban di pinggir bibirnya
Buaya-buaya raksasa melubangin kanal si sela-sela giginya
Dan seluruh kota seketika itu juga terendam hingga ke mercusuar
In koni sepuh emas, tak perak, atau tembaga
Kakek buyutku menambangnya berabad silam
Di hutan-hutan yang tak terdaki oleh kalian
Di hutan yang bermalam-malam ditembusnya
Dengan ini parang, parang berduri dari anyam pandan
Yang dipegang dengan punggung tangan
Parang yang dilehermu hendak ditebaskan
Ah, kalian, museum dunia baru yang sendirian
Yang buta peta dan yang tahu hanya berdiam
Kalian memangkas kata sifat seperti aspal jalan membunuh manusia
Sementara aku ingin menumbuhkannya di tiap ujung kalimat
Ah, kalian, yang menggigil di hadapan hayat
Aku bawakan istriku koin sepuh emas
Tiga gulden abad kedelapanbelas
Aku bawakan dia dengan kantong plastik ini
Kantong plastik dari pabrik dunia baru kalian
Yang sepi tiada berkawan.
Perdebatan tentang Belacu
Kau sebut dia marekan
Kain kasar dari pesisiran
Belacu kadang dia ucapkan
Aku kata biarkan
Dia sutra dari daratan
Kau kata dia ikan putih
Ke lambung kapal tersisih
Aku kata diam jahanam
Dia kerapu dari palung lautan
Kau bilang dia loyang
Sekali sepuh tembaga melayang
Aku kata apa kau bilang?
Dia emas terakhir penambang
Kau sebut dia pahit empedu
Bagai racun dikerongkonganmu
Aku kata tak apa, Cinta
Kau manis paling pangkal
Si tebu udang
Seorang Arab penjual peniti
Berkali-kali mendatangi rumahmu
Sebuah pincalang terdampar di utara Tiku, katanya
Ada kain yang lebih lembut dari ujung rambut nona
Lebih harus dari meranti atau kulit lansano
Tapi tak ada kau di situ
Kau dibawa samun dari Ujung Gurun
Ke sana ke Bukit Tajadi kampung padri
“Ibu, Ibu, aku bawa untukmu
Khusus yang paling baru
Kain yang membelakangi matahari turun
Kain dagangan para lanun.”
Seorang Arab pedangan semat
Dengan mata besar bulat dan bibir pepat
Alisnya damar keras dan arang hitam
Berkali-kali lewat di halaman rumahmu
Melambaik-lambaikan selendang itu
Bagai manik-manik pada ekor tenggiri
Berkilat-kilat dari jauh tampak saja sekali
Tapi tak ada kau di situ
Kau dibawa karavan Pauh Lima
Naik Sitinju ke Tigabelas Kota
“Ibu, Ibu, ini aku tawarkan
Kain pembalut deritamu
Selendang manyang selendang dunia
Sehelai dua boleh kau coba.”
Seorang Arab yang rambutnya keriting coklat
Mendatangi ibuku berabad-abad setelah kamu
Setelah pabrik besi di Bekasi berdiri dan kain kami
Didatangkan dari Tanah Abang sebulan sekali
Tapi tak ada kau di situ
Kau kini ditumpuk bersama ribuan kodi kordurai warna susu
Kau kini ada dalam truk kontainer melintar Selat Sunda itu
Apakah dia masih jua berseru
Dari halaman itu:
“Ibu, Ibu, belilah agak sehelai dua
Biar akan sempurna manis lenggokmu.”
Koin Sepuh Emas
Aku abwakan istriku koin sepu emas
Tiga gulden abad kedelapanbelas
“Belilah beras kami ini!” kata kolektor itu
Dia melemparkan dencingan pada tanganku
Loji-loji kompeni terban di pinggir bibirnya
Buaya-buaya raksasa melubangin kanal si sela-sela giginya
Dan seluruh kota seketika itu juga terendam hingga ke mercusuar
In koni sepuh emas, tak perak, atau tembaga
Kakek buyutku menambangnya berabad silam
Di hutan-hutan yang tak terdaki oleh kalian
Di hutan yang bermalam-malam ditembusnya
Dengan ini parang, parang berduri dari anyam pandan
Yang dipegang dengan punggung tangan
Parang yang dilehermu hendak ditebaskan
Ah, kalian, museum dunia baru yang sendirian
Yang buta peta dan yang tahu hanya berdiam
Kalian memangkas kata sifat seperti aspal jalan membunuh manusia
Sementara aku ingin menumbuhkannya di tiap ujung kalimat
Ah, kalian, yang menggigil di hadapan hayat
Aku bawakan istriku koin sepuh emas
Tiga gulden abad kedelapanbelas
Aku bawakan dia dengan kantong plastik ini
Kantong plastik dari pabrik dunia baru kalian
Yang sepi tiada berkawan.
Perdebatan tentang Belacu
Kau sebut dia marekan
Kain kasar dari pesisiran
Belacu kadang dia ucapkan
Aku kata biarkan
Dia sutra dari daratan
Kau kata dia ikan putih
Ke lambung kapal tersisih
Aku kata diam jahanam
Dia kerapu dari palung lautan
Kau bilang dia loyang
Sekali sepuh tembaga melayang
Aku kata apa kau bilang?
Dia emas terakhir penambang
Kau sebut dia pahit empedu
Bagai racun dikerongkonganmu
Aku kata tak apa, Cinta
Kau manis paling pangkal
Si tebu udang



Comments
Post a Comment