Jalur Alternatif

Oleh Deddy Arsya

Di kota-kota besar, pemimpin kelompok pemuda berkelahi memperebutkan wilayah parkir. Tetapi di tempat kami, di pinggiran kota kecil yang sesekali ramai, pemuda-pemuda saling menikamkan pisau karena pembagian hasil retribusi jalur alternatif yang tidak adil.

Jalur alternatif memang populer di negeri yang sering dilanda macet. Ada desas-desus bahwa jalan tol akan dibangun sejauh ratusan kilometer melintangi provinsi. Tetapi pembangunan itu urung terlaksana mungkin karena persoalan pembebasan tanah atau sebab-sebab lain yang dirahasiakan. Dengan ketiadaaan jalan tol, macet barangkali akan terus terjadi. Truk-truk besar pengangkut minyak yang gemuk-besar akan saling berdesak-desakkan di jalan raya dengan mikrolet atau sepeda motor yang kecil. Kemacetan ini memungkinkan jalan alternatif tetap eksis. Dan selama jalan alternatif masih populer, selama itu pula, pemuda-pemuda setempat, akan punya penghasilan mingguan, atau bahkan harian pada waktu-waktu tertentu.

Jalan alternatif itu dipakai hanya sekali seminggu, di hari ketika pasar di jalan utama tengah ramai-ramainya. Pasar yang juga ramai sekali seminggu. Sekali seminggu pula, para pengendara yang tidak ingin terlibat macet mencari jalan-jalan tikus itu. Tetapi, ketika perayaan-perayaan hari besar seperti lebaran, atau pada libur panjang, jalur alternatif itu dipakai hampir setiap hari. Tetapi di dunia ketiga memang tidak ada kemudahan yang tidak butuh ongkos.

Maka setiap pengendara yang ingin menikmati kemudahan dengan mengambil jalur alternatif itu harus membayar restribusi di setiap perempatan di mana pemuda-pemuda setempat senantiasa berjaga-jaga.

Dan perkelahian pecah akibat uang. Pemerintah negeri setempat sesungguhnya bisa mengatur kesimpang-siuran pungutan ini, misalnya, dengan mengumpulkan seluruh hasil pungutan pada satu kas. Hasilnya kemudian dibagi-bagikan kepada setiap kelompok pemuda, atau dipergunakan untuk pembangunan negeri yang bersangkutan. Tetapi, negara kadang-kadang saja bergerak tepat dan cekatan.

Negara tidak hadir. Tetapi apa guna negara--yang dalam sejarah kita selalu ingin hadir itu--ditampilkan? Elite-elite lokal sesungguhnya bisa berperan. Para penghulu bisa menyelesaikan kisruh anak kemenakan. Tetapi apa mau dikata, elite lokal juga telah lama terdesak oleh perannya sendiri, dan titahnya hanya tinggal gelembung sabun yang bisa dengan gampang diletuskan hanya dengan ujung jarum.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini