Hamka dan Nasib Sebuah Roman

Oleh Deddy Arsya

Tenggelamnya Kapal van der Wijck ditulis tahun 1938. Usia Hamka 31 tahun ketika. Tentang usianya itu Hamka menyebutnya sebagai “... masa darah muda cepat alirnya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa.”

Novel ini memang cerita masa muda yang sentimentil: kasih tak sampai. Sebagaimana karya sezamannya, novel ini menggunakan model penuturan yang banyak dipakai pada kurun itu: bahasa mendayu-dayu dengan pola surat-menyurat. Bercerita tentang Hayati dan Zainuddin yang dipisahkan perbedaan kultural dan adat-istiadat yang mengekang. Tokoh-tokoh novel ini dibunuh satu-satu untuk mengakhiri cerita. Hayati tenggelam dalam kecelakaan kapal van den Wijck di Samudra Hindia. Sementara Zainuddin mati merana dalam penyesalan.

Novel itu kemudian dimuat berturut-turut di majalah Pedoman Masyarakat, majalah yang dipimpin Hamka sendiri. Pada tahun 1939, novel ini diterbitkan dalam bentuk buku dan laku luas di pasaran. Orang mengelu-elukan Hamka sebagai pengarang besar karena novel ini. Sepuluh tahun kemudian novel ini dicetak ulang, mengindikasikan betapa larisnya novel ini di pasaran. Pada cetakan ke delapan, tahun 1961, Hamka menulis pendahuluan untuk novel itu, semacam pengantar:

Salah seorang pembacanya, yang tidak kita tahu siapa, sekali bertanya “bilakah lagi Tuan akan membuat cerita sebagai Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan yang lain-lain itu?” Pertanyaan itu logis saja muncul, sebab setelah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck meledak, Hamka nyaris tidak ‘mampu’ menulis roman yang ‘sama memikatnya’ dengan itu. Pembaca mungkin kecewa pada pengarang pujaannya.

“Bagaimanakah saya akan menjawab pertanyaan itu,” kata Hamka kemudian menjawabnya dalam pengantar itu, “karena cita-cita masih tetap besar dan tinggi, sedang usia telah bertambah dan zaman telah berubah.” Mungkin jawaban Hamka semacam apologia, tetapi mungkin juga tidak.

Ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam kalimat itu: 1) usia yang bertambah dan 2) zaman yang telah berubah. Perguliran usia mengubah karya seorang pengarang, begitupun zaman. Usia berkaitan dengan diri yang di dalam. Sedang perguliran zaman berkaitan dengan gerak yang ada di luar diri pengarang itu. Yang pertama adalah soal psikologis pengarang, yang kedua adalah soal sosiologis. Tetapi, keduanya bukannya tidak saling memberi anasir; pengaruh-mempengaruhi adalah hal yang semestinya membentuk keduanya. “Khayal dan sentimen zaman muda kian sehari kian terdesak oleh pengalaman-pengalaman, terutama di dalam sarang-tapisan ‘Revolusi’”, kata Hamka lagi pada pengantar yang sama.

Tetapi, tidak sampai setahun setelah pengantar itu dibuat, Hamka dicerca sampai terduduk. Pada 1962, Bintang Timur, organ Lembaga Kebudayaan Rakyat mulai mengeluarkan artikel-artikel secara rutin untuk menghantam Hamka. Tenggelamnya Kapal van der Wijck menjadi sasaran tembak yang empuk. Novel ini dianggap hasil plagiasi dari novel pengarang Prancis, Jean-Baptiste Alphonse Karr, yang berjudul Sous les Tilleuls yang terbit pada tahun 1832. Polemik berlangsung panjang dan berlarut-larut. Opini kalayak pembaca terbelah: yang mengamini plagiasi dan yang membantah. Dicerca habis-habisan, Hamka terdesak, dan merilis pernyataan: mungkin saja seorang pengarang terpengaruh pengarang lain.

Novel ternyata bisa mengantarkan dua nasib yang saling bertentangan terhadap pengarangnya: dielu-elukan pada suatu kurun dan dicerca habis-habisan pada kurun yang lain. Tenggelamnya Kapal van der Wijck telah memberi dua nasib yang berbeda itu kepada Hamka.

Tetapi, Tenggelamnya Kapal van der Wijck tetap menjadi karya fenomenal, diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah sampai hari ini. Dari roman itu pula sebuah film lahir dengan judul yang sama baru-baru ini. Dan, olehnya, Hamka masih tetap dikenang sebagai pengarang.

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini