'Halaman Belakang' Pariwisata Kita

Oleh Deddy Arsya

Ubud barangkali adalah tempat paling ‘berbudaya’ di Bali. Turis-turis yang datang ke sini [dianggap] lebih necis-parlente dan intelek. Agenda-agenda wisata yang ditawarkan di sini juga kebanyakan agenda-agenda kelas menengah terdidik: pameran dan pertunjukan segala jenis seni tradisional Bali, museum-museum bagi pecinta patung-lukisan-musik, fesitval para pengarang dan pembaca, bengkel-bengkel fotografi & film, sajian kuliner-kuliner kelas dunia, selain keindahan alam rural-pedesaannya tentu saja...

Seminggu lamanya saya berada di desa ini dalam agenda mengikuti sebuah festival para pengarang dan penulis internasional yang belakangan ini begitu terkenal, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Selama seminggu itu pula, saya lalu-lalang di jalan raya Ubud yang ramai dan di jalan Monkey Forest dengan simpang-siur turis setiap hari. Saya menginap di salah satu penginapan yang berlokasi di jalan yang terakhir disebutkan. Resort dengan bau dupa yang senantiasa mengepul dari puri-puri yang berdiri tegak di empat penjuru angin; harum kamboja yang tumbuh besar di tengah-tengah kawasan itu yang bunganya dipunguti tiap pagi; kompleks penginapan yang dihiasi patung-patung ‘dewa’ gajah dan monyet di tiap sudut, dan pelayan-pelayan ramah yang mengucapkan 'good morning' saban pagi dengan pakaian tradisional yang anggun.

'Halaman Belakang' Pariwisata Kita

Saya menempati sebuah kamar paling belakang di mana tembok tidak begitu tinggi membatasi kompleks penginapan itu dengan perumahan penduduk; pantat resort itu langsung berbatasan dengan pantat sebuah rumah warga--'halaman belakang Bali': dapur dari sebuah rumah, tandas/jamban yang terpisah dari bangunan utama dengan sebuah pompa-manual penarik air tanah, kebun kecil tak begitu terawat dengan beberapa batang pohon pisang yang umbinya sekaligus sebagai tempat pembuangan sampah, sebuah gudang dengan tumpukan genteng dan peralatan pertukangan...

Setiap pagi, saya menguping orang-orang di rumah itu berbicara dengan bahasa setempat yang tidak saya mengerti. Kadang kami saling melempar senyum dengan ramah. Penghuni rumah itu: seorang perempuan setengah baya, dengan koyo di kedua sisi keningnya, setiap pagi pula terlihat mengepang-dua rambut anak perempuannya yang masih sekolah dasar. Kadang saya melihatnya sedang bekerja mencat dinding sebuah toko cendramata, di hari lain saya melihatnya sedang memegang kuas untuk mencat pagar sebuah boutique di jalan utama. Sementara suaminya, seorang lelaki kurus tinggi dengan kumis tipis yang kalem, lebih sering saya temukan sedang menyorong-nyorongkan selembar kertas-karton bertuliskan ‘TAXI’ (bersama belasan orang lainnya yang melakoni pekerjaan serupa) kepada setiap turis yang lewat di ujung jalan raya Monkey Forest menuju pertigaan jalan raya Ubud. Sekali saya berpapasan dengannya yang sedang bersama segerombol kuli yang akan menggali saluran air di sepanjang jalan Monkey Forest. “Hallo Mas, masih lama di Ubud?” sapanya.

Pemandangan itu, ‘ruang belakang yang rapuh’, itu adalah Bali yang tidak ingin diingat/dilihat banyak orang. “Saya malah tidak kepikiran hendak menulis tentang Bali dari sisi yang itu,” kata seorang teman Bali saya. “Kenapa?” tanya saya. “Takut merusak citra pariwisata Bali!” jawabnya lama. Citra pariwisata Bali yang selama ini membentuk isi kepala kita tentangnya memang ada di jalan raya Ubud, jalan Monkey Forest, atau di jalan-jalan utama mana pun, atau di pusat-pusat destinasi wisata yang begitu banyak berserak di pulau para dewa yang selalu riuh oleh turis itu. Bali dalam citra serupa itu adalah Bali yang eksotik lagi sensual. Bali yang ‘ditampilkan’ di depan pintu toko cendramata, di depan bar dan restoran, di depan pintu spa—di mana pramusaji dan pramuniaga dengan ramah menyambut. Bali yang ditampilkan di ruang-ruang penuh penonton pertunjukan kesenian; atau di pura-pura tempat perayaan-perayaan yang padat dari tahun ke tahun. Citra sensualitasnya dipertegas oleh foto-foto perempuan bertelanjang dada di atas pintu-pintu toko, replika-replika penis di toko-toko cendramata, dan lukisan-lukisan eksotik Bali yang menampilkan kehidupan pedesaan tradisional Bali dengan perempuan-perempuan berdada terbuka yang dijual di galeri-galeri yang tersebar di banyak tempat di sana...

Jika kita terus ‘menelusuri’ jalan-jalan itu, kita sesungguhnya sedang menikmati Bali yang 'direkontruksi' oleh "...para pejabat kolonial, ahli-ahli etnologi, artis, pelancong dan wartawan, yang terus memperkuat citra-citra yang membentuk Bali tradisional," demikian kata Henk Schulte Nordholt dalam sebuah artikel bertajuk "Penciptaan Bali Tradisional: Etnografi Kolonial dan Reproduksi Birokrasi”. Bali, katanya pula, telah lama dicitrakan sebagai tempat "... yang ramah tenang tanpa masalah ... alam subur serta upacara-upacara warna-warni yang seolah-olah menimbulkan kesan bahwa kehidupan Bali merupakan serangkaian pesta berkepanjangan.” Dan citra itu tidak hadir sekonyong-konyong, tetapi telah dibentuk jauh-jauh masa, sejak 1930an, ketika orang-orang Barat mencitrakannya sebagai “tempat istimewa yang tepat untuk orang-orang asing yang romantis yang mencari surga di Timur”. Citra yang diciptakan sejak zaman kolonial itu dilanjutkan dengan bersemangat oleh Orde Baru kemudian, yang amat menyokong industri kepariwisataan, dan diteruskan pula kini oleh Kementerian Pariwisata dengan jejaring dinas-dinasnya. Oleh sebab itu, tidak perlu heran jika citra itu mengeras hingga kini dalam ruang ingat kita, “Bali sekarang malah sinonim dengan keindahan dan sensualitas (wanita telanjang dada), bakat seni (setiap orang Bali berwatak seni), campur sekelebat-sekelebat kebudayaan eksotik," kata Henk lagi.

Juga Ubud, yang berada di pedalaman Bali selatan itu, tidak ‘menjadi’ begitu saja seperti yang kita persepsikan sekarang atasnya. Dia diproduksi, diciptakan, dicitrakan, bukan oleh dirinya sendiri, tetapi oleh sekelompok kecil—tetapi berpengaruh—artis-artis dari Barat, menjelang akhir dasawarsa 1920an, yang memilih tinggal di pulau Bali dan mengambil prakarsa untuk “melindungi seni artis-artis pribumi terhadap dekadensi dan degenerasi”. Walter Spies dan Rudolph Bennet, dua diantaranya yang menyolok dari kolompok ini, menjadikan “desa Ubud menjadi tersohor sampai di dunia internasional,” demikian tulis Henk pula. Dan kini pun masih, bahkan semakin tersohor. Sekalipun suara-suara lain dari citra yang telah terbentuk selama ini tentang Ubud, atau tentang Bali secara umum itu, hadir juga, tetapi suara-suara itu akan segera terhalau dari langitnya.

Tetapi bagi saya yang udik, Ubud yang sebenarnya, tetaplah 'di halaman belakang' yang reyot dan rentan itu, yang saya saksikan tiap pagi, yang justru lebih menarik daripada destinasi-destinasi pusat turis yang ramai itu, pun festival penulis dan pengarang internasional yang tengah saya hadiri yang menjadi salah satu icon wisata Ubud satu dasawarsa belakangan ini. Sebab di halaman belakang itulah Bali atau Ubud tampak sedang melakukan ‘perlawanan diam-diamnya’, menolak citra ‘tenang tanpa masalah’ sebagaimana yang dilekatkan padanya selama ini:

Di Bali selatan itu, tempat sawah-sawah luas terbentang di masa lalu, yang memungkinkan Bali menjadi pengekspor besar, "orang-orang kaya dari Jakarta telah membeli banyak tanah untuk membangun villa di sini. Mencuci uang hasil korupsi mereka. Lalu ketika pemerintah daerah melarang pembelian tanah oleh orang dari luar Bali, mereka (orang-orang kaya dari Jakarta itu) membelinya atas nama penduduk setempat sebagai modus...," kata seorang driver, seorang Bali, ia tengah merujuk berita televisi tentang korupsi seorang jenderal di kepolisian baru-baru ini.

Keterlibatan investor dari luar untuk mengambil peran dalam ekonomi turisme di Bali sesungguhnya telah mulai gencar sejak 1990an, tulis Henk dalam tulisannya yang lain bertajuk Bali: Sebuah Benteng Terbuka. Dengan terbukanya kran investor itu, Bali telah mengalami proses transisi yang mencengangkan dari masyarakat agraris menuju masyarakat ekonomi urban-turisme. Beberapa tumpak sawah telah dijadikan heritage yang dilindungi dunia karena ketakutan akan ancaman kepunahan sawah.

Sementara data-data statistik mencatat sebanyak 50 sampai 70% orang Bali menopangkan hidup kepada pariwisata, tetapi kita tidak tahu seberapa aman angka itu untuk melepaskan koyo dari kedua sisi kening masyarakatnya. "Anak-anak muda di sini [justru] lebih memilih mengumpulkan uang di kapal-kapal pesiar mewah yang berlayar ke Eropa atau Amerika. Mereka bekerja sebagai pelayan restoran atau bartender dengan gaji yang dibayarkan dalam Dolar. Ketika merasa telah mengumpulkan uang yang cukup, mereka akan pulang, bermimpi membangun villa atau resort di atas tanah keluarga, untuk sekaligus mengelolanya kemudian, dan hidup dari sana. Ada juga yang memilih membuka toko cendramata, boutique, bar atau restoran di jalan-jalan pusat turis. Sekalipun hanya sedikit di antara mereka yang berhasil," kata seseorang lain, driver juga, seorang Bali juga. “Bar, restoran, boutique- boutique itu, juga tempat spa, villa dan bungalo, setengahnya dimiliki dan dikelola orang asing,” katanya pula, “lalu anak-anak gadis di sini, yang kebanyakan keluaran sekolah pariwisata, bekerja sebagai pelayan untuk mereka.”

Kenyataan-kenyataan rentan itu mungkin akan lebih mewakili saya, sebab dia adalah juga kenyataan ‘diri’ saya, yang juga datang dari ‘kampung pariwisata’ nun di daratan tinggi sana, dengan alam yang tidak kalah indah bagai dalam lukisan mooi indie, tempat di mana tenun-tenun eksotik dihasilkan begitu menawan, ukiran-ukiran pada kayu diproduksi di bengkel-bengkel para seniman ukir tradisional, rumah-rumah tradisional dari abad-abad silam masih banyak yang tegak berdiri, dan ... para turis berdatangan dengan bus-bus pariwisata untuk melihat semua itu dengan terpesona dan takjub seraya berkata “betapa sabar orang-orang ini, betapa telaten mereka, betapa indah!”. Tetapi tetap saja, realitas hidup kebanyakan orang berada di ‘ruang belakang’ dari semua itu: komoditas-komoditas pertanian yang berayun-ayun di tengah ketidakpastian harga, cabai yang busuk akibat hujan terus-menerus turun atau berdaun keriting kala musim panas tiba, lobak yang habis berlubang-lubang dimakan ulat & siput ... gagal panen yang terus mengancam dari tahun ke tahun, anak-anak muda yang kabur ke rantau-rantau yang jauh tempat di mana ‘emas’ dapat ditambang dengan lebih mudah.

Pandai Sikek, 2016

Comments

Tulisan yang paling ramai dibaca minggu ini