Gubernur atau Gubernur General?
Oleh Deddy Arsya
Tuan Gubernur mengelurkan surat edaran tertanggal 6 Maret 2017. Surat edaran itu diedarkan kepada seluruh bupati dan walikota. Surat edaran itu mengintruksikan agar pejabat-pejabat di daerah dan termasuk tentara mengawasi petani yang lalai. Petani yang menunda-nunda mengerjakan sawahnya. Diinstruksikan, 15 hari setelah masa panen, sawah sudah harus ditanami, kata surat itu. Jika kedapatan 30 hari setelah panen petani belum juga mengolah sawahnya, sawah itu hendaknya diambil-alih saja pengelolaannya. Tentaralah akan mengelolanya kemudian.
Memang aneh juga, tiba-tiba pemerentah mengeluarkan surat edaran serupa itu. Ditambah lagi, sejak kapan tentara kini merangkap jadi petani penggarap.
Tuan-tuan Pemerentah bisa apa selama ini. Lalu sekonyong-konyong hendak menggerayangi rumah tangga petani dengan surat edaran setengah memaksa itu. Petani toh berjuang sendiri selama ini. Penyuluh-penyuluh pertanian pemerentah nyaris tidak punya daya mengubah apa-apa. Para petani dikendalikan kaum kapital industri pupuk dan racun. Mereka terpapar di hadapan sebuah kekuatan yang entah apa yang bisa mempermainkan harga seenaknya. Mereka juga tidak berdaya di hadapan cuaca yang tak menentu.
Di sisi lain, ketika pemerentah mengeluarkan surat semacam itu, sama saja pemerentah melahirkan kecurigaan kepada rakyatnya sendiri, para petani yang kebanyakan miskin itu. Secara tidak langsung pemerentah menganggap petani sebagai kumpulan orang malas. Pemalas yang mesti dilecut agar rajin bekerja. Lecutannya ya surat edaran itu. Pemerintah mengira selama ini petani saban hari dari subuh sampai pukul sepuluh mengangkang-ngangkang saja di kedai kopi, lebih banyak berseloroh daripada bekerja.
Pikiran semacam itu memang aneh jika masih muncul di dunia kita yang serba mudah diakses ini. Pikiran yang sudah berlumut warisan Tuan-tuan Kolonial belaka. Petani telah menanggung beban berat, menyediakan makanan untuk perut bermilyun-milyun orang kota yang bukan petani. Termasuk menyediakan makanan bagi perut-perut buncit pemerintah, para pegawai yang ribuan banyaknya itu, yang menyusu kepada hasil panen petani.
Lalu kini Tuan-tuan Pemerentah itu menuduh para petani itu pemalas. Menempatkan mereka pada pihak yang seolah-olah bersalah kenapa swasembada tidak tercapai, kenapa beras langka, kenapa hasil-hasil pertanian sulit didapat sehingga tiba-tiba mahal. Tidakkah ini juga pikiran dari Tuan-tuan Kolonial dulu, yang banyak menumpangkan kesalahan kepada kawula jajahannya.
Betul-betul Gubernur atau Gubernur General-kah Gubernur kita itu? Memang sulit kita membedakannya sekarang. Dulu, Gubernur General Hindia Belanda, Johannes van den Bosch, pernah menerapkan sistim tanam paksa. Lalu kini Gubernur kita ingin pula masuk ke dalam bilik-bilik petani untuk suruh tanam sawah mereka segera. 'Yang mau makan banyak! Jangan bermalas-malasan saja ente! Sawah kok dibiarkan menganggur!' Mana sawah-sawah yang menganggur itu, Pak Gubernur? Yang ada, orang di mana-mana kekurangan lahan untuk berpadi. Sehingga pinggang gunung sudah habis dikelubak-i.
Orang-orang yang tidak belajar kepada masa lalu memang berpotensi mengulangi kesalahan masa lalu itu kembali. Pemerentah ternyata bisa lebih pandir dari yang kita kira.
Sudahlah, Meneer!



Comments
Post a Comment